Aliran Jabariyah merupakan salah satu sekte dalam ilmu kalam Islam yang muncul pada abad ke-2 Hijriah. Kata jabara berarti memaksa, sehingga Jabariyah dipahami sebagai paham yang menekankan bahwa segala perbuatan manusia sudah ditentukan secara mutlak oleh Allah, tanpa ruang bagi kehendak bebas.
Tokoh awal yang sering dikaitkan dengan Jabariyah adalah Jahm bin Shafwan, yang hidup pada masa akhir Dinasti Umayyah. Ia menegaskan bahwa manusia tidak memiliki daya dan kehendak, melainkan sekadar menjalani apa yang telah digariskan Tuhan.
Doktrin Utama Jabariyah
Pokok ajaran Jabariyah adalah peniadaan ikhtiar manusia. Menurut mereka, manusia hanyalah wayang dalam pentas semesta, sementara dalangnya adalah Tuhan. Segala tindakan manusia, baik kebaikan maupun keburukan, merupakan kehendak Allah semata. Konsekuensinya, tidak ada kewajiban moral yang melekat pada manusia, karena ia tidak memiliki pilihan bebas.
Pandangan ini lahir sebagai reaksi terhadap aliran Qadariyah yang menekankan kebebasan manusia. Jabariyah ingin menjaga kemurnian tauhid dengan menegaskan kemahakuasaan Allah. Namun, dalam praktiknya, pandangan ini menimbulkan problem serius: jika manusia tidak memiliki kehendak, bagaimana mungkin ia dimintai pertanggungjawaban atas dosa dan kesalahan?
Kritik Filosofis dan Teologis
Banyak ulama klasik menolak pandangan Jabariyah karena dianggap menabrak ayat-ayat Al-Qur’an yang menekankan ikhtiar manusia. Misalnya, QS. Ar-Ra’d: 11 menyatakan: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Ayat ini jelas menegaskan adanya peran aktif manusia dalam menentukan nasibnya.
Selain itu, fatalisme Jabariyah dianggap menghapus akal dan usaha. Jika semua sudah ditentukan, maka usaha manusia tidak lagi bermakna. Pandangan ini berpotensi mendukung kekuasaan zalim, karena rakyat bisa dipaksa menerima ketidakadilan sebagai takdir Tuhan. Dalam sejarah, paham Jabariyah pernah digunakan oleh penguasa untuk melegitimasi kekuasaan absolut, dengan dalih bahwa segala kebijakan adalah kehendak Allah.
Implikasi Sosial Fatalisme
Dalam konteks sosial, Jabariyah berbahaya karena melahirkan budaya pasrah. Masyarakat yang meyakini bahwa kemiskinan, ketidakadilan, atau penderitaan adalah takdir mutlak tanpa ruang ikhtiar cenderung pasif. Hal ini bertentangan dengan semangat Islam yang menekankan usaha, doa, dan amal saleh. Fatalisme dapat melemahkan motivasi untuk memperjuangkan keadilan sosial dan kesejahteraan.
Sebaliknya, Islam mengajarkan keseimbangan antara takdir dan usaha. Aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, misalnya, mencoba menawarkan jalan tengah: manusia memiliki kebebasan terbatas, namun tetap berada dalam lingkup kehendak Tuhan. Dengan demikian, tanggung jawab moral tetap terjaga, sementara keyakinan akan kekuasaan Allah tidak dikurangi.
Perspektif Modern
Dalam pemikiran Islam kontemporer, Jabariyah sering dikritik karena tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat modern. Fatalisme dianggap menghambat kemajuan, karena meniadakan peran manusia sebagai subjek perubahan. Sebaliknya, pandangan yang menekankan ikhtiar manusia lebih sesuai dengan semangat pembangunan, demokrasi, dan keadilan sosial.
Namun, Jabariyah tetap penting dipelajari sebagai bagian dari sejarah intelektual Islam. Ia menunjukkan bagaimana umat Islam bergulat dengan pertanyaan mendasar tentang hubungan antara kehendak Tuhan dan kebebasan manusia. Kritik terhadap Jabariyah membantu kita memahami bahwa tauhid tidak harus berarti meniadakan ikhtiar, melainkan menegaskan bahwa usaha manusia tetap berada dalam kerangka kehendak Allah.
Kesimpulan
Pandangan Jabariyah, meski lahir dari niat menjaga kemurnian tauhid, justru menimbulkan dilema etis dan sosial. Dengan meniadakan kebebasan manusia, Jabariyah mengikis tanggung jawab moral, melemahkan motivasi sosial, dan berpotensi mendukung kekuasaan zalim. Kritik terhadap Jabariyah menegaskan kembali martabat manusia sebagai makhluk yang berusaha, berikhtiar, dan bertanggung jawab atas pilihannya.
Menolak fatalisme Jabariyah bukan berarti menolak takdir, melainkan menegaskan keseimbangan antara kehendak Tuhan dan usaha manusia. Dengan demikian, kebebasan tidak lagi terkekang, melainkan menjadi jalan menuju keadilan, kesejahteraan, dan kemuliaan hidup.

