Opini

Komunikasi Nonverbal, Budaya Pop, dan Kritik Sosial

6 Mins read

Di Indonesia, protes tidak selalu turun dalam bentuk barisan massa, spanduk raksasa, atau pidato keras di depan gedung pemerintahan. Sering kali, kritik paling tajam justru bergerak dalam senyap, menjelma gesture, simbol, estetika visual, meme, atau koreografi budaya pop yang menyusup melalui celah sempit kebebasan berekspresi.

Negara ini, dengan sejarah panjang sensor formal maupun informal, telah melahirkan generasi yang mahir menyampaikan ketidakpuasan tanpa mengucapkan satu kata pun. Dan dalam lanskap digital yang makin padat gambar, sorot kamera, serta ritus viral, komunikasi nonverbal menjadi bahasa kedua politik Indonesia.

Tulisan ini menelusuri dinamika itu: bagaimana masyarakat Indonesia memakai komunikasi nonverbal dan ekspresi budaya pop sebagai kritik sosial yang canggih. Dari demonstrasi mahasiswa sampai meme TikTok; dari simbol warna sampai ekspresi tubuh; dari panggung konser sampai gaya busana; dari ironi hingga parodi.

Indonesia bukan negara totalitarian, tetapi tidak pula steril dari sensitivitas pemerintah terhadap kritik. Undang-Undang ITE, regulasi penyiaran, serta ketidakpastian batas kebebasan berpendapat telah menciptakan kultur kehati-hatian. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah warga dilaporkan ke polisi karena unggahan media sosial yang dianggap menghina pihak berwenang.

Dalam konteks seperti itu, komunikasi nonverbal tumbuh sebagai strategi bertahan hidup. Ia menjadi titik temu antara publik yang ingin bersuara.

Di jalanan, kritik sering hadir sebagai visual, bukan verbal. Dalam demonstrasi misalnya, poster-poster dengan ilustrasi absurd, meme karakter kartun, atau parodi gaya meme Twitter justru lebih viral dan berdampak daripada orasi formal. Banyak di antaranya tidak menyebut pejabat atau institusi secara eksplisit, tetapi maknanya terang bagi siapa pun yang membaca konteksnya.

Namun, bukan hanya demonstrasi. Pola yang sama berulang di ruang digital dan ruang budaya pop. Bahasa tubuh, simbol warna, ironi estetika, dan peminjaman ikon budaya populer menjadi wadah kritik yang lebih sulit disensor, karena berada di wilayah ambiguitas. Pada titik ini, nonverbal bukan hanya pelengkap, tetapi justru inti dari strategi komunikasi politik publik.

Berbeda dari era orba ketika simbol politik dikelola ketat dan ruang ekspresi amat terbatas, generasi digital Indonesia bergerak lincah antara berbagai platform visual. Instagram, TikTok, dan X (Twitter) menjadikan publik terbiasa membaca sinyal nonverbal secara instan: dari ekspresi wajah seseorang di video hingga nuansa warna dalam unggahan infografis.

Salah satu contoh paling mencolok adalah meme politik. Meme bukan sekadar humor internet; ia adalah bentuk komunikasi visual yang bekerja melalui asosiasi budaya pop. Ketika sebuah kebijakan pemerintah dianggap tidak masuk akal, publik tidak perlu menyusun esai panjang: cukup memasangkan foto pejabat tertentu dengan potongan dialog film, cuplikan sinetron, atau tangkapan layar anime dan pesan pun tersampaikan.

Baca...  Awal Mula Pergunjingan

Di Negeri ini, meme politik bekerja dalam cara yang unik: ia bukan hanya sindiran, tetapi juga kode sosial yang menghubungkan pengalaman kolektif publik terhadap negara. Mengapa orang tertawa atau marah pada meme tertentu? Karena mereka sudah menyimpan memori bersama tentang janji politik, kegagalan program, atau inkonsistensi kebijakan.

Dalam kasus tertentu, ekspresi wajah pejabat menjadi objek kritik nonverbal itu sendiri. Sebuah tatapan, senyum yang dianggap sinis, gestur tangan yang terasa menggurui semua direproduksi, diperbesar, dianalisis, kemudian diedarkan ulang sebagai bentuk “komentar politik” visual. Publik tidak perlu berbicara banyak; cukup membubuhi caption singkat, dan sisanya dibiarkan ditafsirkan sendiri.

Hal yang sama terjadi pada ekspresi nonverbal warga biasa. Video seseorang yang melempar pandangan skeptis saat mendengar pernyataan pejabat bisa langsung viral. Bahasa tubuh menjadi argumen politik.

Era digital mengubah cara kita “berbicara” soal negara: diskusi politik tidak lagi bergantung pada debat panjang, tetapi pada kemampuan membaca tanda.

Ketika pakaian menjadi pernyataan politik

Selain itu, protes kreatif sering muncul melalui pilihan kostum. Dalam beberapa demonstrasi, peserta mengenakan cosplay tokoh film, karakter kartun, hingga pakaian satir yang menyindir kebijakan tertentu. Visual-visual ini sering mendapat liputan media lebih luas daripada tuntutan text-heavy yang dibacakan lewat orasi.

Contoh lain muncul dari para seniman dan musisi. Bila di Amerika Serikat para artis sering memakai pakaian hitam untuk menandai solidaritas gerakan #MeToo, di Indonesia simbol serupa muncul dalam bentuk berbeda: aksesori pita hitam, busana serba gelap, atau visual panggung yang meredup.

Pakaian menjadi bahasa. Warna menjadi kritik. Dan dalam budaya pop Indonesia, estetika busana sering bicara lebih keras daripada pernyataan resmi.

Budaya pop Indonesia punya dinamika tersendiri: fandom besar, musisi yang dekat dengan isu sosial, dan koreografi panggung yang semakin teatrikal. Dalam ekosistem ini, kritik politik sering muncul bukan dalam lirik, melainkan dalam gestur dan atmosphere.

Beberapa musisi indie pernah menyelipkan adegan panggung simbolis lampu yang meredup ketika menyebut isu tertentu; visual grafis yang menampilkan siluet kota penuh polusi; atau penggunaan topeng anonim untuk menandai tekanan terhadap kebebasan berekspresi. Gestur kecil ini kadang lebih mengena daripada slogan verbal.

Di ruang digital, fandom K-pop Indonesia juga punya sejarah memobilisasi simbol-simbol nonverbal untuk aksi politik. Ketika protes besar terjadi di berbagai kota, banyak akun fandom mengubah foto profil menjadi warna tertentu sebagai bentuk solidaritas. Ini bukan aksi verbal, tetapi kekuatan branding visual fandom memperluas jangkauan pesan politik ke ribuan pengikut.

Baca...  Rasa Bebas Atau Hampa ? Tanggapan Dibalik Fenomena Agnostic Style

Fenomena ini menunjukkan bahwa budaya pop bukan sekadar hiburan. Ia menjadi arena politik alternatif di mana tanda-tanda kecil-warna, foto profil, bentuk lightstick, atau potongan video fancam dapat menjadi alat negosiasi antara publik dan negara.

Gesture kolektif di ruang demonstrasi

Aksi protes di Indonesia telah menunjukkan bahwa tubuh manusia itu sendiri sering menjadi instrumen kritik yang paling jujur. Ketika mahasiswa duduk bersila di depan polisi, memegang tangan satu sama lain, atau membentangkan kedua tangan kosong sebagai tanda bahwa mereka tidak membawa senjata, mereka sedang berkomunikasi secara nonverbal: “Kami tidak mengancam tetapi juga tidak takut.”

Kontras antara massa demonstran yang duduk tenang dan aparat yang berjajar dengan tameng memberi pesan kuat tanpa perlu satu kalimat pun. Pers menghadirkan citra itu ke publik, dan visual itulah yang membentuk opini.

Simbol lain muncul dari praktik “diam kolektif”sebuah momen hening yang diorganisir untuk menandai duka atau protes. Diam itu sendiri adalah retorika. Ia menahan negara di ruang yang tidak nyaman, karena tidak ada kata yang bisa disensor atau dibantah.

Beberapa aktivis juga memanfaatkan koreografi kecil: mengangkat satu bunga di atas kepala, memegang lilin, atau menyalakan flashlight ponsel. Semua ini adalah bentuk kritik lembut yang justru semakin kuat karena tidak diucapkan.

Indonesia punya tradisi satir yang panjang. Dari Warkop DKI hingga teater tradisional yang menyindir penguasa, humor telah menjadi medium aman untuk menyampaikan kritik. Di era digital, humor mengambil bentuk baru: parodi budaya pop.

Misalnya, ketika kebijakan tertentu dianggap aneh atau membingungkan, publik merespons dengan video TikTok yang memakai lagu-lagu trending, lengkap dengan gaya joget atau ekspresi dramatis. Kadang lucu, kadang sinis, tetapi tetap menyimpan pesan politik.

Parodi ini bekerja karena ia memanfaatkan ruang nyaman budaya pop lagu viral, soundbite lucu, gaya speechless, atau filter wajah untuk membungkus kritik. Negara sulit menindak kritik yang disampaikan dalam bentuk tarian atau lipsync, tetapi publik tahu persis masalah apa yang sedang diangkat.

Ironi juga muncul dalam penggunaan karakter budaya populer. Misalnya, menyandingkan pejabat publik dengan karakter anime yang ekspresinya menggambarkan kebingungan atau kegagalan, atau memakai adegan film Marvel untuk menyindir dinamika politik lokal. Parodi seperti ini bukan sekadar candaan; ia memperlihatkan kecerdasan publik dalam memanfaatkan simbol global untuk membicarakan isu nasional.

Keindahan komunikasi nonverbal terletak pada ambiguitasnya. Ia tidak pernah menyatakan sesuatu secara terang-terangan, sehingga sulit ditangkap sebagai pelanggaran hukum atau etika. Namun, publik yang berada di konteks sosial-politik yang sama segera memahami maksudnya.

Baca...  Kritik Terhadap Gus Miftah

Ambiguitas ini menciptakan ruang aman: ruang di mana kritik politik bisa hidup tanpa berhadapan langsung dengan represi.  Banyak isu politik sensitif seperti korupsi, konflik agraria, atau keadilan hukum diangkat melalui visual, simbol, dan metafora. Kritik itu tetap menyengat, tetapi tidak memberikan titik serang yang jelas bagi pihak yang ingin membungkamnya.

Di sinilah publik Indonesia menunjukkan kemampuan retorika visual yang luar biasa. Mereka membangun pesan melalui cluster simbol yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang “masuk” dalam konteks. Negara bisa membaca, tetapi tidak bisa menuduh. Publik bisa berbicara, tetapi tetap aman.

Kritik nonverbal di era polarisasi

Namun, perkembangan ini juga memunculkan tantangan. Di era polarisasi, simbol nonverbal dapat dengan mudah direbut, dipelintir, atau dipakai untuk menyudutkan kelompok lain. Meme yang awalnya ditujukan sebagai kritik terhadap pemerintah dapat direinterpretasi sebagai serangan terhadap kelompok tertentu atau sebaliknya.

Selain itu, kecepatan viral membuat pesan nonverbal sering dilepaskan dari konteks. Sebuah gestur atau foto bisa ditafsirkan berbeda oleh dua kubu politik yang saling berseberangan. Tidak ada satu versi kebenaran yang absolut, dan inilah risiko dari komunikasi yang bergantung pada visual: ia sangat kuat, tetapi juga sangat rapuh.

Meskipun begitu, kemampuan publik Indonesia memainkan tanda-tanda nonverbal justru menunjukkan kecanggihan literasi media mereka. Di negara dengan sejarah panjang sensor dan politisasi retorika, masyarakat mengembangkan bahasa tersendiri bahasa yang lentur, ironis, penuh humor, namun tetap tajam.

Kritik di Indonesia bergerak seperti air: mengalir mengikuti bentuk wadahnya, mencari celah sekecil apa pun untuk meluap. Ketika ruang verbal dibatasi, kritik mengalir lewat visual. Ketika pernyataan dianggap terlalu berisiko, publik menulis dengan simbol. Ketika kata-kata bisa disalahartikan, tubuh mengambil alih. Dan ketika semua saluran formal terasa tertutup, budaya pop dengan segala kegilaan dan kelenturannya menjadi ruang alternatif untuk berbicara.

Inilah keunikan Indonesia: negara yang besar, beragam, dan penuh suara, tetapi suara-suara itu sering memilih whisper daripada teriakan. Bukan karena takut, tetapi karena whisper itu justru lebih cerdas, lebih aman, dan kadang lebih mematikan.

Komunikasi nonverbal dan ekspresi budaya pop tidak sekadar pelengkap dalam diskusi politik Indonesia. Mereka adalah jantungnya bahasa yang lahir dari kreativitas, kecerdikan, dan naluri bertahan. Bahasa yang tidak bisa dipenjara. Bahasa yang terus hidup, bahkan ketika kata-kata mulai tumpul. Dan dalam sunyi yang ramai itu, kritik menemukan bentuk terbaiknya.

21 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Islam Malang dan Alumni PP Darurrahman, Pangarangan, Sumenep, Alumni PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
Articles
Related posts
Opini

Menertawakan Kesombongan Intelektual

3 Mins read
Kadang saya merasa dunia ini terlalu sibuk berpikir. Semua orang ingin menjelaskan sesuatu, membenarkan sesuatu, bahkan menafsirkan sesuatu. Kita hidup di tengah…
Opini

Bencana Sumatra, IMM Bekasi Tuntut Perhatian Serius dan Solusi Komprehensif

1 Mins read
Menyikapi kondisi pulau Sumatra khususnya provinsi Sumatra Utara (Sumut), terkait bencana alam dan krisis bahan bakar minyak (BBM) yang terjadi saat ini…
Opini

Modalitas Muraqabatullah Meredup, Jurang Idealita dan Realitas Organisasi Pengelola Zakat Semakin Membesar

3 Mins read
“…Dan adalah Allah Maha mengawasi segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab [33]: 52) Tata kelola lembaga yang baik (Good Governance) merupakan fondasi yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
BeritaPolitik

GP Parmusi Ajak Proaktif Kawal Pemulihan Bencana Sumatera

Verified by MonsterInsights