Esai

Kontestasi Teologi dalam Penafsiran Sifat Tuhan: Studi atas Sekte-sekte Islam

4 Mins read

Ayat-ayat sifat telah menjadi salah satu titik paling sensitif dalam sejarah penafsiran Al- Qur’an. Di sinilah perbedaan teologi Sunni, Syiah, dan Muktazilah tampak paling terang. Namun, tidak semua kelompok memahami teks “secara lurus”.

Muktazilah, misalnya, tidak mengklaim mengikuti makna literal; mereka justru meyakini bahwa makna yang benar harus dicapai melalui akal dan takwil rasional. Sementara sebagian mufassir Sunni berusaha menyeimbangkan antara makna lahiriah dan tanzih (penyucian Tuhan dari penyerupaan),

Syiah Imamiyah menjadikan riwayat Ahlul Bait sebagai pusat otoritas dalam menakwil ayat mutasyabihat. Perbedaan ini bukan sekadar kajian teks, tetapi mencerminkan bagaimana setiap aliran memformulasikan konsep ketuhanan dan hubungan manusia dengan Tuhan.

Dalam tradisi Syiah, Abu al-Hasan al-Qummi (Tafsir al-Qummi) terkenal sebagai mufassir yang sangat berbasis riwayat Imam, beliau juga menegaskan penolakannya terhadap tajsim dalam ungkapannya: ويبقى الوجه؟ الله اعظم من ان يوصف Hal ini terlihat pada bebrapa penafsiran beliau misalnya, QS. Al-Fajr (89):20, وجاء ربك والملك صفا صفا al-Qummi melewati unsur antropomorfis(جاء ربك) dan hanya menafsirkan kata ملك.

Hal serupa terjadi pada QS. Al-Hadid (57):29 (يد الله) dan QS. Al-Hadid (57):4 (استوى على العرش), di mana beliau tidak memberikan penafsiran atas frasa antropomorfisnya. Pada QS. Ṭaha (20):5, الرحمن على العرش, al-Qummi juga tidak menafsirkan bagian antropomorfis, dan hanya memberi makna pada kata استوى.

Al-Baqarah (2):15 yang memuat وجه الله menunjukkan kecenderungan lain: al-Qummi tidak menyinggung sisi mutasyabihat ayat, tetapi beralih kepada pembahasan fikih tentang arah salat sunnah dan fardhu.

Dalam QS. Al-Mujadalah (58):1, سمع الله, al-Qummi kembali tidak membahas unsur antropomorfis, melainkan menitikberatkan pada asbab al-nuzul dan hukum ẓihar. Kedua ayat ini menunjukkan bahwa al-Qummi tidak banyak menafsirkan bagian antropomorfis, melainkan berpindah ke pembahasan lain yang terkait dengan ayat tersebut.

Berbeda dengan ayat-ayat sebelumnya, pada QS. Al-An‘am (6):103 dengan frasa يدرك الابصار, al-Qummi melakukan pentakwilan dengan memaknai kata يحيط (menemukan dengan melihat) sebagai يحيط (meliputi). Pada ayat ini terlihat bahwa al-Qummi memberikan penakwilan terhadap bagian antropomorfis.

Baca...  Perbedaan Penafsiran QS. Al Maidah Ayat 44 Perspektif Syiah dan Khawarij

Pada QS. Al-Qaṣaṣ (28):88 yang memuat الا وجهه, al-Qummi menafsirkan bahwa segala sesuatu akan fana kecuali agama Allah. Beliau mengartikan وجه الله sebagai agama Allah dan menambahkan bahwa dalam menempuh agama tersebut, Imam Ahlul Bait menjadi perantara atau jalan menuju Allah yang kekal. Pada ayat ini terlihat bahwa al-Qummi mengaitkan pemaknaan ayat antropomorfis dengan doktrin teologisnya.[1]

Muḥsin al-Kashani dalam Tafsir al-s}afi menggunakan riwayat Imam sebagai rujukan otoritatif, tetapi tetap menekankan transendensi Allah. QS. Al-A’raf: 54 ثم استوى على العرش ditakwil sebagai pengaturan dan dominasi Allah atas alam semesta, bukan posisi fisik.

Istilah seperti “tangan” dan “wajah” dijelaskan secara simbolik: tangan berarti kekuasaan, wajah berarti dzat yang abadi.[2] Dengan cara ini, tafsir literal yang menyerupakan Allah dengan makhluk ditolak, namun tetap menghormati riwayat Imam. Tafsir al-Kashani menunjukkan keseimbangan khas Syiah Imamiyah, menjaga makna ayat mutasyabihat tanpa kehilangan pijakan teologis.

Imam Al-Syaukani dalam Fath al-Qadir menyoroti istilah “kursi” dalam QS. Al-Baqarah: 255 وسع كرسيه السماوات والارض , Beliau menampilkan beragam pendapat ulama, dari literal yang memahami kursi sebagai nyata, hingga majazi yang menafsirkannya sebagai ilmu atau kekuasaan Allah. Al-Syaukani memilih pendekatan salaf, meyakini keberadaan kursi Allah tanpa mempertanyakan bagaimana bentuknya (bila kayf), sebab hakikatnya termasuk perkara gaib yang hanya Allah ketahui.[3]

Penjelasan serupa tampak dalam tafsirnya terhadap QS. Al-A’raf: 54 mengenai firman Allah  ثم استوى على العرش di mana Al-Syaukani menampilkan hingga empat belas pendapat ulama mengenai makna istawā sebelum menegaskan bahwa yang paling kuat adalah pendapat salaf: Allah benar-benar beristiwa’ di atas ‘Arsy tanpa menanyakan bagaimana bentuk atau hakikatnya.[4]

Baca...  Selain PS Hizbul Wathan Muhammadiyah, Ini Klub Bola sebagai Dakwah Keagamaan

Dengan prinsip bila kayf, Syaukani menolak dua kecenderungan ekstrem sekaligus tasybih yang menyerupakan Allah dengan makhluk, dan takwil berlebih yang memalingkan makna dari zahir lafaz serta menggarisbawahi bahwa istiwa’ bukanlah keberadaan fisik yang dapat dibayangkan atau diukur, melainkan sifat ketuhanan yang hakikatnya hanya Allah sendiri yang mengetahuinya.

Dalam tradisi Sunni, Abu Ishaq al-Tha’labi menekankan makna majazi dari istilah “wajhullah” yang muncul dalam berbagai ayat seperti QS. Al-Baqarah: 115 فاينما تولّوا فثمّ وجه الله, Al-Raḥmān ويبقى وجه ربك dan QS. Al-Qasas كل شيء الا وجهه Menurut al- Tha’labi, “wajah” tidak menunjuk bentuk fisik, melainkan kedekatan, perhatian, dan pengetahuan Allah terhadap hamba-Nya.

Tha’labi juga mengutip ulama terdahulu yang menafsirkan Wajhullah sebagai arah kiblat, yang dimaksudkan sebagai simbol pemuliaan syariat, bukan batasan fisik Allah. Bahkan dalam kondisi seseorang tidak mengetahui arah kiblat, shalat tetap sah, menunjukkan keluasan rahmat Allah.[5]

Ar-Razi, ketika menafsirkan ayat “فاينما تولّوا فثمّ وجه الله mengawali pembahasannya dengan mengutip sejumlah riwayat sahih tentang praktik shalat pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah, shalat sunnah di atas tunggangan ketika safar, hingga kasus salah menentukan kiblat saat gelap yang menurutnya menjadi konteks naqli paling kuat untuk memahami keluasan arah ibadah dalam ayat tersebut.

Kemudian menelaah makna Wajhullah melalui pendekatan semantik yang ketat dengan menawarkan empat ihtimal: kepemilikan (seperti penyandaran rumah atau arah kepada Allah), tujuan atau orientasi hati sebagaimana QS. al-An’am: 79, keridaan Allah, dan Dzat Allah namun bukan dalam arti fisik.

Seluruh kemungkinan ini diseleksi melalui prinsip tanzih, yakni penyucian Allah dari kemiripan dengan makhluk, sehingga penafsiran literal yang berpotensi menyeret pada tajsim dan tasybih ditolak. Karena itu, ar-Razi memilih makna metaforis seperti “tujuan”, “niat”, atau “keridaan Allah”.[6]

Baca...  Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Hukum dan Ketentuan Sifat Tuhan

Dengan demikian, tafsir ar-Razi memadukan riwayat, bahasa, dan rasionalitas teologis untuk menjaga agar ayat ini tetap selaras dengan kemurnian akidah.

Dalam teologi Mu’tazilah, tauhid bukan hanya percaya Allah Esa, tetapi juga menjaga-Nya dari segala bentuk keserupaan dengan makhluk. Qaḍi ‘Abd al-Jabbār menafsirkan QS. Al-Qiyamah 22-23 وجوه يومئذ ناظره الى ربها ناظرة dengan menolak pemahaman harfiah, karena Allah tidak memiliki bentuk fisik dan tidak terikat ruang.

Ayat ini ditakwil sebagai wajah- wajah orang beriman bersinar karena mengharapkan rahmat dan pahala Allah, bukan melihat dzat- Nya.[7] Penafsiran ini menegaskan bahwa konsep tauhid versi Mu’tazilah sangat menekankan penyucian Allah dari sifat-sifat fisik dan inderawi.

Secara keseluruhan, baik tafsir Syiah, Sunni, maupun Mu’tazilah menegaskan bahwa ayat- ayat sifat tidak menunjukkan Tuhan secara fisik.

Masing-masing menggunakan metode berbeda simbolik, majazi, literal yang dikontrol, atau takwil rasional namun tujuan mereka sama: menjaga kemurnian tauhid, menegaskan transendensi Allah, dan tetap menunjukkan bahwa Allah Mahasuci selalu dekat dan menerima ibadah hamba-Nya di mana pun mereka berada.

[1]Abu al-Hasan ’Ali bin Ibrahim al-Qummi, Tafsir Al-Qummi, Edisi Ketiga, vols. 1–2 (Qom, Iran: Dar al-Kitab li al- Tiba‘ah wa al-Nashr, 1404).

[2]Mulla Muhsin Fayd al-Kashani, Al-Safi Fi Tafsir al-Qur’an (Tehran, Iran: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1419), 3:186- 187.

[3]Imam al-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir (pustaka azzam, n.d.), 2:93.

[4]Imam al-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir (pustaka azzam, n.d.), 4:100-101.

[5]Abu Ishaq Ahmad ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Tha‘labi, Al-Kashf Wa al-Bayān ʿan Tafsīr al-Qurʾān (Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004).

[6]Fakhr al-Din Muhammad ibn Umar al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir Aw Mafatih al-Ghaib (Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990).

[7]al-Qadi ’Abd al-Jabbar, Tanzih Al-Qur’an ’an al-Mata’in, Edisi Pertama (Maktabat al-Nafidza, 2006).

2 posts

About author
Penulis
Articles
Related posts
Esai

Mengupas Pendekatan William Montgomery Watt dalam Kajian Kenabian Muhammad

4 Mins read
William Montgomery Watt (1909–2006) adalah salah satu figur orientalis yang paling penting dan ilmuwan terkemuka dalam bidang Islamic Studies. Berasal dari Skotlandia,…
Esai

Implementasi Nilai Ta'awun dalam QS. Al-Maidah Ayat 2 melalui Perspektif Tafsir Local Wisdom

8 Mins read
Implementasi Nilai Ta’awun dalam QS. Al-Maidah Ayat 2 melalui Perspektif Tafsir Local Wisdom Oleh: Aida Fithriyyah 07020324007 Annur Karomatul Umamah 07020324011 Abstrak…
Esai

Fenomena Umat Muslim yang Sering Menyepelekan Ibadah di Balik Kemudahan Rukhsah

2 Mins read
Islam sebagai salah satu agama yang bukan hanya sebagai hukum yang mengikat tentang syariat, tetapi Allah SWT memberikan rasa kasih sayang kepada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
BeritaPolitik

GP Parmusi Ajak Proaktif Kawal Pemulihan Bencana Sumatera

Verified by MonsterInsights