Kuliahalislam.Rida artinya menerima segala yang terjadi dengan senang hati karena segala yang terjadi itu merupakan kehendak Allah. Dengan kata lain, rida adalah tidak menentang hukum dan Qada ( ketentuan) Allah. Di dalam sebuah Hadis Qudsi ( hadits yang maksudnya berasal dari Allah, lafalnya berasal dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam) disebutkan : “Barangsiapa yang tidak rida dengan Qada dan Qadar-Ku hendaklah ia mencari Tuhan selain daripada Aku”, (H.R At-Tabrani).
Lebih tinggi dari peringkat rida di atas adalah rida dalam arti gembira menerima segala keputusan Allah. Peringkat rida seperti itu sama dengan apa yang dikatakan oleh Zunnun al-Misri :”Rida ialah kegembiraan hati dalam menghadapi Qada Tuhan”. Ruwaim ( Sufi abad pertengahan) juga memberikan pengertian yang sama yaitu rida adalah menghadapi ketentuan Tuhan dengan rasa girang”. Rabi’ah al-Adawiyyah pernah ditanyai tentang rida, yakni kapan seorang hamba menjadi orang yang rida. Rabi’ah menjawab, ” Bila kegembiraannya di waktu ditimpa bencana sama dengan kegembiraannya di kala mendapat karunia”.
Rida pada peringkat pertama merupakan makam bagi seorang Sufi, sedangkan rida pada peringkat kedua adalah Hal, yang merupakan karunia Allah. Rida mencerminkan puncak ketenangan jiwa seseorang. Pendirian orang yang telah mencapai makam rida tidak akan terguncang oleh apa yang dihadapinya karena baginya segala yang terjadi di alam ini tidak lain adalah kekuasaan Allah yang merupakan kordat dan idarat ( kehendak-Nya) yang mutlak.
Segalanya itu harus diterima oleh manusia dengan rasa tenang dan gembira karena itu ialah pilihan Allah yang berarti pilihan yang terbaik. Ibnu Ata’ ( Sufi abad pertengahan) mengatakan rida adalah pandangan batin terhadap kekadiman pilihan Allah untuk hamba-Nya, karena Dia telah memilih kau untuk hamba-Nya itu dengan pilihan yang terbaik.
Dalam sejumlah makam yang dijalani seorang Sufi, makam rida lebih tinggi dari makam sabar karena dalam pengertian sabar masih terkandung pengakuan adanya sesuatu yang menimbulkan penderitaan, sedangkan bagi orang yang telah berada pada makam rida, dia tidak lagi membedakan antara apa yang disebut musibah dan apa yang disebut nikmat. Semuanya itu diterimanya dengan rasa senang karena semuanya adalah hasil perbuatan Allah.
Tumbuhnya rida di dalam hati didahului oleh tumbuhnya Mahabbah ( cinta). Kecintaan kepada Allah menyebabkan hati rida kepada-Nya. Imam Abu Hamid Al Ghazali membuat perumpamaan mengenai tumbuhnya rida dari cinta yaitu laksana seseorang yang sedang dimabuk asmara.
Suatu ketika dia sedang asyik memikirkan buah hatinya. Pada saat itu tidak tampak olehnya orang lain selain buah hati yang sangat dirindukannya itu. Meskipun dipanggil, dia tidak mendengar panggilan itu karena hatinya telah terpaut sepenuhnya kepada kekasihnya itu. Demikian pula dengan orang yang sedang asyik bercinta dengan Maha Kasih yaitu Allah.
Semua yang datang dari Allah niscaya menyenangkan hatinya. Kalbunya terasa lega dalam menghadapi ketentuan Maha Kekasih-Nya itu. Istri Fatah bin Sukhruf al-Mausili ( Sufi dari Mosul, Irak) pada suatu hari tersandung kakinya ke batu sehingga terkelupas kukunya. Orang Bertanya kepadanya ” Tidakkah Ibu merasa sakit?. Ia menjawab : ” Kelezatan pahala yang mendahului kalbuku telah menghilangkan rasa sakit di kakiku”.
Sahl at-Tusturi, salah seorang Sufi satu kali ditimpa oleh suatu penyakit tetapi ia mengobati orang lain. Orang bertanya kepadanya,: “Megapa tuan mengobati orang lain sedangkan tuan sendiri masih sakit?”. Dijawabnya : “Jentikan Kekasih tidak terasa sakitnya”. Orang yang telah tertanam sikap rida di dalam kalbunya akan memandang segala sesuatu itu indah dan menyenangkan.
Sabda Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam : “Sesungguhnya Allah dengan nikmat dan keagungan-Nya telah menjadikan kesenangan dan kegembiraan pada rida dan yakin. Ia pun menjadikan kesedihan dan kedukaan pada ragu dan kedongkolan” (HR. At-Tabrani). Keridaan hamba terhadap ketentuan Tuhannya bukan tidak berbalas.
Allah akan membalasnya dengan rida-Nya, seperti firman Allah Allah yang artinya : ” Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu sebaik-baiknya makhluk”. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka adalah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhannya “, (Q.S 98 : 7,8).
Meskipun seseorang merasa rida terhadap segala ketentuan Allah, itu tidak berarti dia harus harus rida pula menerima segala kekufuran dan kemaksiatan. Menurut Imam Ghazali, hal itu harus dipandang dari dua segi yaitu kufir serta maksiat itu adalah Qadar Allah yang merupakan kodrat-Nya yang tidak diperintahkan oleh Allah.
Karena itu, kekufuran dan kemaksiatan tidak boleh diterima dengan rida. Dengan kata lain, kekufuran dan maksiat merupakan Qada Allah tetapi Allah sendiri tidak rela hamba-Nya berbuat kekufuran dan maksiat. Allah memerintahkan hamba-Nya menjauhi kekufuran dan maksiat sebagaimana tertulis dalam kitab-kitabnya yang diturunkan.

