Pendahuluan
Di zaman modern sekarang terdapat ruang ruang ruang dimana harus memposisikan diri kita sebaik mungkin, ketika kita mendengar kata sistem modern pasti tidak luput dari media sosial yang merujuk pada tiktok, youtube, instagram, dan X dengan berbagai fitur-fitur unik dan menarik di dalamnya.
Konten vidio dakwah di platform tersebut itu adalah kehidupan religius masyarakat modern. Tidak hanya konten vidio, terdapat juga diskusi keagamaan di kolom komentar, dan postingan-postingan dengan berbau agama juga menyertakan di dalamnya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa agama mengalami transformasi sosial, persis yang dikatakan oleh tokoh sosiologi tafsir diantaranya durkheim, weber dan turner, bahwa agama dapat beradaptasi dengan perubahan struktur sosial masyarakat. Tetapi tidak sedikit orang yang menganggap konten-konten di sosial media sekedar hiburan semata, tanpa sadar bahwa dibaliknya adanya pergeseran adanya praktek beragama dan menafsirkan teks keagamaan.
Agama, Algoritma, dan Otoritas
Konsep Durkheim mengenai agama sangat berkaitan erat dengan pandangannya bahwa agama merupakan bagian dari fakta sosial. Artinya, ia percaya bahwa fakta sosial lebih mendasar daripada fakta individu.
Agama dipandang oleh durkheim sebagai fakta sosial yang bersifat kolektif, memiliki fungsi sosial, dan menciptakan solidaritas masyarakat. Batas sakral di agama yang tidak boleh di permainkan di antaranya ayat-ayat suci, hadist nabi, kutipan ulama yang tidak boleh di sandingkan dengan meme, iklan dan gosip artis.
Sosial media menjadi tafsir teks agama yang mudah di akses, dan juga lebih rawan di permainkan. Banyak fenomene-fenomene yang terjadi yang ramai akibat algoritma dan daya tarik visual, fenomena ustadz viral misalnya memperlihatkan otoritas keagamaan di tentukan oleh ilmu dan skill dalam bermedia sosial.
Pandangan Kritis
Weber menegaskan bahwa nilai-nilai keagamaan dapat menjadi dasar pembentukan rasionalitas dalam tindakan sosial dan kehidupan ekonomi masyarakat. Dalam pandangan Weber, rasionalisasi merupakan proses di mana tindakan sosial semakin diatur oleh pertimbangan logis dan sistematis, menggantikan tindakan yang didasarkan pada tradisi atau perasaan spontan.
Pemikiran ini berakar pada analisis Weber tentang tindakan sosial, yang menurutnya tidak dapat dipisahkan dari makna subjektif yang dimiliki oleh pelaku dalam interaksi sosial. Suatu tindakan disebut sosial apabila individu memiliki tujuan yang jelas dan dapat dipahami secara rasional oleh orang lain.
Menurut Weber modernisasi merupakan bentuk konkret dari proses rasionalisasi. Fenomena ini ditandai oleh meningkatnya dominasi tindakan dan struktur sosial yang rasional, disertai dengan melemahnya tindakan yang bersifat tradisional. Dengan demikian, rasionalisasi dalam pemikiran Max Weber bukan sekadar proses teknis yang berkaitan dengan efisiensi, melainkan juga perubahan mendasar dalam orientasi nilai, struktur sosial, dan cara manusia memahami dunia.
Di sosial media banyak kreator yang memposting ber temakan agama konten pangjang dan juga konten pendek (vidio pendek), potongan ayat disertai kata-kata motivasi, bahkan fatwa dengan bentuk vidio pendek. Fenomena itu menunjukkna bentuk baru dari penafsiran dan pemaknaan teks agama.
Weber menerka bahwa adanya kebangkitan religiusitas baru di dalam masyarakat modern. Didalam kondisi yang serba rasional dan digital masyarakat masih mencari nilai-nilai spiritual. Inilah yang menjelaskan mengapa banyak konten yang berbau agama banyak diminati di sosial media. Masyarakat ingin menemukan nilai dan makna spiritual di tengah-tengah teknologi yang berkembang pesat.
Dengan ini dikatakan cara beragama di era digital perpaduan antara rasionalitas dan kebutuhan makna. Agama tampil lebih ringkas dan cepat untuk manusia memenuhi kebutuhan spiritual.
Ritual Virtual
Bagi Turner, ritual adalah bentuk interaksi sosial yang dinamis dan transformatif, yang difasilitasi melalui pertukaran simbol agama. Ritual adalah instrumen yang kuat baik pada tingkat supernatural (sakral) dan sosial (profan).
Dengan beralihnya ke zaman teknologi maka ditemukannya transisi ritual keagamaan, ritual keagamaan bergeser menjadi ritual virtual seperti tadarrus online, do’a bersama via zoom dan google meet, hingga live streaming kajian keagamaan. Meskipun kegiatan tersebut tanda adanya kehadiran fisik pengalaman spiritual tetap di rasakan. Fenomena ini menunjukan sosial media bisa menjadi wadah baru untuk ruang sakral baru dengan dikelola dengan baik mengikuti syariat dan etika yang sepatutnya.
Praktik ritual keagamaan secara online menjadi kebiasaan baru masyarakat dan aplikasi online menjadi wadah untuk menjaga kesatuan sosial antar ummat beragama
Penutup
Konten-koenten yang mengandung unsur agama di sosial media youtube, instagram, tiktok, facebook, bahkan x bukan sekedar hiburan. Tetapi arena baru bagi transformasi agama, pemaknakan ayat suci, penafsiran agama dan identitas religius perlu di pertimbangkan ulang.
Seperti yang dikatakan oleh durkheim bahwa agama selalu mencerminkan kehidupan sosial masyarakatnya, maka cara kita beragama di sosial media harus mencerminkan wajah spiritual masyarakat digital saat ini.
Maka dari itu jangan anggap remeh konten agama. Dibaliknya terdapat peluang dakwah, ilmu, pembelajaran, dan juga risiko penyempitan makna. Untuk saat ini tugas kita bukan menolak perubahan, tetapi membaca, memaknakan, menafsirkan, dan menuntun dengan kesadaran kritis agar agama masih sama yakni menjadi sumber kebaikan digital disaat ini.
Referensi
Putra, Ahmad. “Konsep Agama Dalam Perspektif Max Weber.” Al-Adyan: Journal of Religious Studies 01, no. 01 (2020)
Jati, W.R. “Agama & Spirit Ekonomi: Studi Etos Kerja Dalam Komparasi Perbandingan Agama.” Al Qalam 30, no. 2 (2013): 264–82
Harisan Boni Firmando, M.Si, Sosiologi Agama Dari Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: Bintang Pustaka Madani), 2021, Hlm. 84-85
Fahmi, M. R. (2023). Ritual Online: Praktik Keberagamaan Warga Indonesia pada Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Alwatzikhoebillah: Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, Humaniora, 9(2), 494-502.

