Jangan-jangan Kita Sendiri Adalah Iblis Itu
Bayangkan sebuah gugatan mengapa Tuhan yang Maha Kuasa membiarkan kejahatan merajalela? Mengapa iblis tetap dibiarkan hidup, sementara manusia terus tenggelam dalam penderitaan? Pertanyaan ini bukan sekadar tema lama dari kitab suci atau teks filsafat, melainkan pertanyaan yang masih hidup sampai sekarang di jalanan, di ruang sidang, di layar gawai, bahkan di hati orang yang merasa putus asa melihat ketidakadilan.
Iblis dalam imajinasi keagamaan sering dianggap makhluk penggoda. Namun dalam kacamata sosial, iblis bisa dibaca sebagai simbol keserakahan, korupsi, kekuasaan yang zalim, dan ketidakpedulian. Bukankah yang merampok dana bansos di tengah pandemi lebih layak disebut iblis ketimbang makhluk gaib yang tak terlihat? Bukankah yang menghancurkan hutan Papua demi nikel, lalu meninggalkan rakyatnya tanpa ruang hidup, juga sedang memainkan peran iblis?
Dengan pemaknaan ini, gugatan iblis kepada Tuhan adalah gugatan manusia terhadap sistem yang membiarkan keburukan bercokol. Seperti kata filsuf Hannah Arendt dalam karyanya Eichmann in Jerusalem, “Keputusan untuk tidak berpikir adalah akar dari kejahatan yang paling banal.” Kejahatan besar justru sering lahir bukan dari monster gaib, melainkan dari manusia biasa yang memilih diam dan tunduk.
Indonesia hari ini hidup dalam paradoks. Kita bangga sebagai bangsa religius, dengan rumah ibadah megah berdiri di setiap sudut kota. Namun pada saat yang sama, praktik korupsi, ketidakadilan hukum, dan kemiskinan terus berlangsung. Ketika seorang pejabat berdoa khusyuk tetapi mencuri uang rakyat, bukankah itu pertanyaan telak tentang di mana Tuhan berpihak?
Tentu saja, pertanyaan ini bukanlah tuduhan pada Tuhan, melainkan tamparan bagi manusia. Gus Dur pernah berkata, “Tidak penting apa agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Gugatan keadilan hari ini menguji apakah iman kita hanya berhenti di simbol, atau benar-benar menjadi kekuatan etis bagi masyarakat?
Demokrasi yang Disandera
Fenomena politik hari ini memperlihatkan betapa rapuhnya demokrasi kita. Pemilu yang seharusnya pesta rakyat berubah menjadi pasar kekuasaan. Uang menjadi penentu suara, dinasti politik menutup pintu regenerasi, dan hukum dipelintir demi kepentingan penguasa.
Di ruang-ruang inilah gugatan “iblis” menemukan relevansinya. Jika keadilan terus dipermainkan, lalu rakyat miskin dibiarkan tanpa perlindungan, maka pertanyaan sederhana muncul: apakah benar Tuhan berpihak pada yang lemah, ataukah Tuhan sudah lama ditinggalkan dari ruang politik kita? Lagi-lagi, bukan Tuhan yang bersalah, tetapi manusia yang tega mengusir nilai ketuhanan dari praktik bernegara.
Yang lebih menyedihkan, banyak lembaga agama justru bungkam. Mereka sibuk mengurus ritual, tetapi sering diam ketika berhadapan dengan kejahatan struktural. Padahal, keheningan itu justru menguatkan dominasi iblis sosial yang menindas.
Maka agama yang hanya fokus pada ritus, tetapi membiarkan kezaliman, sejatinya telah kehilangan ruh keadilan. Gugatan iblis di sini menjadi kritik tajam: apa gunanya doa berjamaah jika kemiskinan dibiarkan? Apa arti khutbah panjang jika umat tetap menderita karena harga beras melambung atau akses pendidikan semakin sempit?
Generasi Muda dan Gugatan Baru
Generasi muda hari ini tumbuh dengan skeptisisme. Mereka tidak puas dengan jawaban “semua ini ujian dari Tuhan.” Mereka ingin jawaban nyata: bagaimana menghadapi krisis iklim? Mengapa koruptor terus bebas? Mengapa hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas? Pertanyaan-pertanyaan ini sejatinya adalah bentuk gugatan iblis dalam wajah baru: gugatan terhadap sistem yang gagal menjamin keadilan.
Seperti diingatkan Albert Camus dalam The Rebel, “Manusia memberontak bukan karena ia menolak eksistensi, tetapi karena ia menolak ketidakadilan yang dianggap normal.” Generasi muda pun memberontak dengan caranya lewat kritik di media sosial, gerakan lingkungan, hingga aksi jalanan. Itu adalah bentuk gugatan yang lahir dari nurani.
gugatan iblis di zaman ini adalah mengingatkan kita pada tanggung jawab moral. Jangan terlalu cepat menyalahkan takdir ketika kejahatan terjadi. Lebih jujur bila kita bertanya apa peran manusia dalam melanggengkan keburukan? Apakah kita hanya diam melihat politik uang, ataukah kita ikut melawan? Apakah kita hanya pasrah melihat hutan digunduli, ataukah kita berjuang untuk melindunginya?
Dengan demikian, gugatan iblis adalah panggilan etis: berhenti menyalahkan Tuhan, mulailah mengoreksi diri. Seperti kata Al-Ghazali, “Orang yang menuduh setan sebagai penyebab dosanya ibarat seseorang yang menuduh pencuri, padahal pintu rumahnya dibiarkan terbuka.”
Menuju Iman yang Membumi
Iman bukan sekadar keyakinan pada hal gaib, melainkan keberanian menghadirkan nilai-nilai ilahi dalam kehidupan sosial. Kejujuran, keadilan, kasih sayang semua itu seharusnya menjadi “tangan Tuhan” yang nyata lewat tindakan manusia.
Kalau kita hanya berdoa tanpa peduli pada lingkungan, bukankah itu sama saja dengan mengabaikan Tuhan dalam kehidupan nyata? Kalau kita hanya beribadah tanpa peduli pada nasib buruh, nelayan, atau petani, maka kita sedang menjadikan ibadah sebagai tameng dari gugatan moral. Kierkegaard, filsuf eksistensial Kristen, pernah menegaskan, “Subjektivitas adalah kebenaran.” Artinya, iman sejati bukan hanya teori, melainkan keberanian hidup dalam kebenaran etis sehari-hari.
Gugatan iblis kepada Tuhan bukanlah ajakan untuk menolak iman. Justru sebaliknya, ia adalah peringatan bahwa iman tanpa refleksi kritis mudah jatuh menjadi kebutaan. Zaman sekarang membutuhkan keberanian untuk bertanya: di tengah krisis iklim, ketidakadilan hukum, dan korupsi yang merajalela, apakah kita masih beriman hanya di bibir, ataukah kita menghadirkan iman dalam keberpihakan nyata pada yang lemah?
Jawaban akhirnya sederhana jangan takut pada gugatan. Takutlah justru bila kita berhenti bertanya, sebab di sanalah iblis sejati menang ketika manusia berhenti melawan keburukan dan memilih berdiam diri.

