KULIAHALISLAM.COM – Dalam kehidupan setiap berkeluarga proses Internalisasi nilai-nilai luhur berjalan secara dinamis dialektis, secara hierarkis maupun heterarkis, secara monologis maupun dialogis.
Orang tua memberikan nasehat, motivasi, ajaran, dan nilai luhur kepada anak-anaknya, anak-anak secara biologis, ideologis dan lainnya. Begitupun seterusnya hingga sampai ke generasi-generasi kebawahnya. Proses internalisasi berjalan secara otoriter diktator, dimana orang tua memiliki kekuasaan, kewenangan dan otoritas tanggung jawab tertinggi dalam setiap pilihan, cara berfikir dan interaksi, lebih-lebih aktivitas dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat sehari-harinya.
Pun, juga internal kristalisasi nilai-nilai luhur, ajaran dan nasehat dalam keluarga berjalan secara demokratis dinamis, dimana orang tua memiliki karakter demokratis, dialogis, setara dan humanis. Dengan kata lain, orang tua dalam merawat, menjaga dan mendidik anak-anaknya, generasi dibawahnya dan anggota keluarga dekatnya dilakukan dengan cara demokratis, orang tua hanya memberikan beragam pilihan, otonomi dan kebebasan secara terukur batasan moralitas agama dan etika mulia kepada setiap anak-anaknya untuk berekspresi kreasi, bekerja dan berkarya dalam menjalani aktivitas kehidupan bermasyarakat sehari-harinya.
Karena itu, dari beragam pola itu memiliki karakter, identitas, jatidiri dan konsekuensi yang khas dalam membentuk kepribadian, mental, moralitas dan martabat nasib hidup umat manusia di masa kini dan masa depan kelak. Baik yang berjalan secara efektif, populis dan berkelanjutan, atau maupun berjalan secara dinamis, dialogis, berkemajuan.
Dalam pandangan agama Islam, setiap umat manusia memiliki kedudukan yang utama dan mulia dalam kehidupan. Sebab, manusia memiliki peran fungsi dan harkat martabat yang mulia, luhur secara alamiah dan naluriah katana diberikan potensial akal fikiran, hati nurani, hawa nafsu dan kehendak bebas lain. Baik dalam memenuhi kebutuhan hidup individual dan interaksi sosial bermasyarakat. Namun ketika umat manusia sudah hidup berkeluarga maka tugas, fungsi dan tanggung jawab tersebut akan semakin spesifik dalam menjalankan peran setiap aktivitas kehidupan.
Orang tua berperan merawat, menjaga, dan mendidik anak-anaknya, lebih-lebih mencari nafkah, membiayai dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Orang-orang tua merawat anggota keluarga. Begitupun anak-anaknya merawat dan menghormati orang tuanya. Pemimpin-pemimpin merawat menjaga anggotanya begitupun anggota pengikut mendengar mematuhi arahan pemimpinnya.
Saat ini, nampak fenomena di tengah interaksi sosial bahwa hampir sebahagian besar umat beragama dan warga masyarakat yang gemar mengagung-agungkan simbolik nasab, silsilah, jabatan dan kekuasaan strategis. Baik untuk kepentingan tahta, jabatan, kekuasaan duniawi, maupun keperluan agama dan ibadah ukhrawi.
Seolah-olah menjadi sesuatu yang sakralitas, urgent dan terbatas dimiliki oleh kalangan tertentu. Bahkan, mereka yang dijamin Sagala sesuatu aspek material, jabatan, nasib, takdir hidup dan masuk surga dia akhirat kelak. Seolah-olah segala sesuatu yang ada di dunia ini hanya bisa dimiliki, dinikmati dan dijalani sepenuhnya oleh orang-orang yang keturunan kenabian (habib), kerajaan atau kesultanan. Sedangkan, orang-orang hidup di kampung, kaum buruh petani dan nelayan, kaum fakir miskin (mustadafin), dan warga masyarakat biasa hanya dipandang sebagai pelengkap hidup dalam dinamika kehidupan umat beragama, bermasyarakat sehari-harinya.