Opini

Waktu, Takdir, dan Kebebasan Manusia

3 Mins read

Waktu, takdir, dan kebebasan manusia. Kadang saya heran, kenapa banyak orang bisa begitu pasrah pada kata takdir, tapi di saat yang sama begitu gelisah menghadapi waktu. Seolah-olah nasib sudah disegel rapat-rapat di langit, dan manusia cuma figuran dalam naskah Tuhan. Tiap kali ada yang gagal, kita cepat sekali bilang, “Ya, mungkin belum rezekinya.” Tiap kali bencana datang, kita menunduk: “Sudah takdir.” Padahal, bukankah Tuhan sendiri memerintahkan manusia untuk berusaha?

Pertanyaan tentang takdir bukan soal teologi saja; ini soal bagaimana kita memaknai hidup. Kalimat “semua sudah diatur” sering kita pakai untuk menenangkan diri, tapi juga kadang untuk bersembunyi dari tanggung jawab. Yang ironis, banyak orang yang gemar menyerahkan nasibnya pada garis langit, tapi malas menulis kisahnya di bumi. Mungkin di sinilah kita salah paham: antara pasrah dan menyerah, antara percaya dan berhenti berusaha.

Takdir dan Jejak Pilihan

Perdebatan soal kehendak manusia sudah dimulai sejak abad-abad awal Islam. Di satu sisi ada kaum Jabariyah yang percaya bahwa manusia tak punya kuasa sedikit pun atas hidupnya semua sudah digerakkan oleh Tuhan. Di sisi lain, kaum Qadariyah meyakini bahwa manusia bebas sepenuhnya. Tuhan memberi aturan, tapi tidak ikut campur di dalamnya. Dua ekstrem yang sama-sama berbahaya. Yang satu terlalu fatalistik, yang satu terlalu liberal.

Lalu datang Abu al-Hasan al-Asy‘ari dengan jalan tengahnya. Ia menolak sikap “semua sudah ditentukan” sekaligus mengingatkan agar manusia tidak terlalu sombong pada kehendaknya. Baginya, manusia memang tidak menciptakan amal, tapi mengambilnya (kasb) Tuhan menyediakan pilihan, manusia memilih jalan. Sederhana tapi mendalam  bahwa hidup ini bukan panggung boneka, tapi juga bukan panggung bebas sebebas-bebasnya.

Baca...  Refleksi Muhasabah Akhir Tahun

Abu Mansur al-Maturidi menambahkan: kehendak manusia nyata, tapi selalu berada dalam lingkup pengetahuan Allah. Dengan kata lain, manusia boleh menanam, tapi hasil panen tetap urusan Tuhan. Dan mungkin di situlah keseimbangan Islam: antara ikhtiar dan tawakal, antara usaha dan doa.

Sayangnya, banyak dari kita lupa bagian pertama. Kita ingin takdir baik, tapi tidak mau bekerja keras untuk menjemputnya. Padahal Rasulullah Saw bersabda, “Beramallah, karena setiap orang akan dimudahkan menuju apa yang telah ditetapkan baginya.” (HR. Muslim). Artinya jelas: kerja keras adalah bagian dari takdir itu sendiri.

Coba lihat bagaimana bangsa ini sering bersembunyi di balik kata “nasib”. Ketika gagal menegakkan keadilan, kita bilang, “Ya, mungkin belum waktunya.” Ketika harga naik, korupsi merajalela, atau hukum berat sebelah, kita berucap, “Sudah takdir negeri ini begini.” Padahal, takdir bukan untuk dijadikan alasan, tapi bahan bakar untuk bergerak. Seperti kata Muhammad Iqbal dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam: “Takdir bukan jerat, melainkan panggilan untuk berani.” Manusia diciptakan bukan untuk pasrah membeku, tapi untuk menulis bab-bab baru dalam sejarahnya.

Takdir memang di langit, tapi langkahnya di bumi. Kita bisa percaya pada garis Tuhan tanpa berhenti menulis garis kita sendiri.

Ruang Antara Takdir dan Ikhtiar

Kalau takdir adalah garis, waktu adalah jarak antara titik awal dan titik akhir. Dan di situlah semua pertarungan terjadi  antara iman dan ragu, harap dan takut, kerja dan doa.

Imam al-Ghazali pernah menulis, “Waktu adalah hidupmu. Jika engkau menyia-nyiakannya, engkau membunuh dirimu perlahan.” Kata-kata itu mungkin terdengar sederhana, tapi di zaman seperti sekarang, ia terasa seperti tamparan. Manusia modern begitu sibuk mengejar kecepatan hingga lupa makna. Kita mengukur hidup dari jadwal, bukan dari isi. Waktu dianggap musuh, bukan sahabat.

Baca...  Bentuk Penistaan Agama dalam Penafsiran Surah Al-Baqarah Ayat 120 

Dalam Surah al-‘Asr, Allah bahkan bersumpah demi waktu. Itu bukan sumpah kosong. Karena di sanalah rahasia manusia diuji iman, amal, kebenaran, dan kesabaran. Yang memanfaatkan waktu dengan iman akan untung, yang membuangnya akan rugi. Sederhana, tapi itu rumus hidup.

Masalahnya, zaman kini mendorong kita untuk tergesa-gesa. Kita bicara cepat, berpikir cepat, bahkan mencintai dengan cepat. Tapi yang pelan justru hilang dari perbincangan  kesadaran, refleksi, tafakkur. Padahal, dalam pelan itulah waktu menyembunyikan hikmah.

Rumi menulis, “Waktu adalah bayangan cinta; ia bergerak agar kau belajar berhenti.” Berhenti di sini bukan menyerah, tapi menyadari bahwa hidup bukan sekadar berlari, melainkan mengerti arah. Seorang guru tua di Jawa pernah bilang, “Kalau kau ingin tahu seberapa dekat dirimu dengan Tuhan, lihatlah bagaimana kau memperlakukan waktumu.” Ucapan yang sederhana tapi benar. Karena orang yang menghargai waktu berarti menghargai hidup  dan menghargai Tuhan yang memberi hidup itu.

Sayangnya, kita sering memperlakukan waktu seperti uang receh: dihambur tanpa pikir panjang. Padahal, setiap hari adalah peluang untuk menebus kesalahan. Setiap detik adalah rahmat untuk memperbaiki yang keliru. Waktu tak bisa dibeli, tapi bisa disyukuri — kalau kita mau berhenti sejenak dan menatap ke dalam diri.

Menari di Dalam Takdir

Pada akhirnya, setelah semua perdebatan tentang kebebasan dan ketetapan, manusia akan sampai pada satu titik kesadaran: kita tidak sepenuhnya bebas, tapi juga tidak sepenuhnya terikat. Kita diberi ruang untuk memilih, tapi tetap dalam lingkar kasih Tuhan.

Kebebasan sejati bukan berarti melawan takdir, tapi menari di dalamnya. Ia bukan sikap pasif, tapi keikhlasan yang aktif. Bukan menyerah pada keadaan, tapi memahami bahwa dalam setiap kejadian ada ruang untuk bertumbuh.

Baca...  Gimana Kabarmu Mahasiswa?

Kita memang tidak bisa memilih kapan lahir atau kapan mati, tapi kita bisa memilih bagaimana menjalani waktu di antaranya. Dan mungkin, di situlah letak keindahan hidup dalam Islam: bahwa antara waktu, takdir, dan kebebasan, ada cinta Tuhan yang diam-diam mengiringi setiap langkah kita pulang.

11 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Islam Malang dan Alumni PP Darurrahman, Pangarangan, Sumenep, Alumni PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
Articles
Related posts
Opini

Mengapa Kematian Tak Pernah Memberi Tahu Waktunya?

3 Mins read
Mengapa kematian tak pernah memberi tahu waktunya? Sebuah renungan tentang rahasia Ilahi, nilai kehidupan, dan pesan para ulama kematian. Kata ini sederhana,…
Opini

Santri Digital: Dari Kitab Kuning ke Cyber Ethics

3 Mins read
Santri digital: dari kitab kuning ke cyber ethics. Di tengah hiruk pikuk dunia digital, ketika ruang publik dipenuhi hoaks, ujaran kebencian, dan…
Opini

Jalan Sunyi Menuju Tuhan

3 Mins read
Di era ketika hampir segala hal ditundukkan pada logika angka, data statistik, dan kriteria verifikasi ilmiah, berbicara tentang Tuhan kerap dipandang usang….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Esai

Warga Dalam Krisis Norma Etika

Verified by MonsterInsights