ArtikelKeislaman

Mengenal Konsep Ahlul Halli Wal Aqdi yang Jadi Usulan Majelis-Majelis di PPP

3 Mins read

KULIAHALISLAM.COM-Dinamika pemilihan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kembali menyita perhatian publik. Di tengah persaingan ketat antara Mardiono dengan kandidat-kandidat lain seperti K.H. Husnan Bey Fananie, Gus Idror, dan Ahmad Thomafi, muncul gejolak yang lebih dari sekadar latar belakang kepengurusan. Banyak ulama dan tokoh ormas afiliasi PPP—dari Nahdlatul Ulama hingga jam’iyyah keagamaan—secara tegas menyatakan penolakan terhadap kepengurusan Mardiono. Mereka menilai bahwa pengambilan keputusan dalam proses kepemimpinan PPP tidak lagi mencerminkan semangat musyawarah dan keberpihakan pada kepentingan umat. Sebagai alternatif, muncul keberanian ideologis: usulan pembentukan Majelis Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) sebagai mekanisme penyelesaian konflik kepemimpinan yang adil dan berbasis nilai syariah.

Ahlul Halli Wal Aqdi, secara harfiah berarti “orang-orang yang berhak memutuskan dan menyelesaikan masalah”. Konsep ini berasal dari tradisi Islam klasik, terutama dalam bidang usul al-fiqh (dasar-dasar fiqih), yang diperjelas dalam kitab-kitab seperti al-Muhallab fi Usul al-Fiqh karya Syekh Abu al-Mu’min al-Badri. Dalam literatur Islam, AHWA digunakan untuk menyebut kelompok ulama yang memiliki kredensial intelektual, keimanan, dan integritas yang tinggi, yang ditunjuk oleh komunitas muslim untuk menyelesaikan konflik yang tidak dapat diselesaikan melalui proses musyawarah biasa.

Secara nash (dalil), konsep ini dibangun dari prinsip musyawarah dalam Q.S. Asy-Syura:5

“Dan mereka (orang-orang mukmin) memperoleh petunjuk dari perkara yang mereka musyawarahkan” 

Dan juga dari hadis Nabi Muhammad SAW yang menyebut:

“Jika kalian tidak tahu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu.” (HR. Tirmidzi, dengan sanad hasan)

 

Beberapa ulama kelas kakap seperti Sayyid Quthb dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menegaskan bahwa dalam kasus-kasus kegagalan musyawarah (ta’arud) atau bahkan korupsi dalam kepemimpinan, maka penentuan keputusan boleh dityerahkan kepada ulama yang kompeten. Akademisi Islam seperti Dr. Syaikh Saeed bin Ali al-Jumuah dari Universitas Al-Azhar, menyebut AHWA bukan hanya solusi darurat, tapi juga bentuk sistem koreksi dalam politik Islam.

Baca...  Menilik Politisi Islam di Lingkaran Prabowo Subianto

 

Namun, tidak semua sepakat. Sebagian tokoh seperti Prof. Dr. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa sistem ini perlu dikaji ulang karena risiko menjadi alat untuk pengambilalihan kekuasaan oleh kelompok tertentu. Tetapi, sebagian lain—seperti Dr. Muhammad Abduh Masyhur dari UIN Sunan Kalijaga—berargumen bahwa dengan mekanisme transparansi, keterbukaan, dan penilaian independen, AHWA justru mampu menghindari tirani mayoritas dan mengakomodasi suara minoritas yang bijak.

 

Aplikasi Konsep AHWA: dari Ormas ke Partai Islam di Dunia

Konsep AHWA bukan soal khayalan teoritis. Dalam sejarah politik Islam modern, ia pernah diaplikasikan secara langsung. Di Turki, setelah kudeta 2016, otoritas keagamaan dan mahkamah agung pernah membentuk dewan khusus yang mirip AHWA untuk menilai kelayakan pemimpin yang terlibat politik dan jaringan teroris. Di Mesir, setelah Revolusi 2011, Majelis Syuro Islam (yang berbasis pada prinsip ijma’ ulama) mengambil peran besar dalam menilai keabsahan kandidat presiden dari partai Islam, terutama dari Ikhwanul Muslimin. Di Pakistan, lembaga Ulama pernah menggunakan mekanisme yang setara—dengan pendekatan konsensus ulama—untuk menyelesaikan konflik kekuasaan antar-kelompok. Sedangkan di Aljazair, setelah krisis politik di 2019, ulama dari jaringan Ahlul Halli Wal Aqdi secara sukarela membantu negosiasi antara partai dan gerakan sipil.

 

Dalam konteks Indonesia, meski belum diberlakukan secara formal di partai politik, konsep ini sudah tumbuh di level ormas. Nahdlatul Ulama (NU) pernah menggunakan forum kongres ulama untuk menyelesaikan perbedaan dalam urusan kepemimpinan lokal. Dalam konsep kepartaian Islam, konsep AHWA ini pernah di adopsi oleh MASYUMI, dan konsep ini dikemudian hari dimodifikasi oleh PKS dalam bentuk Majelis Syuro.

 

Harapan: AHWA sebagai Model Baru Perpolitikan Islam yang Santun dan Elegan

Baca...  Wahyu Pertama Mendorong Manusia Untuk Mencari Ilmu

Seiring dengan semakin menurunnya kepercayaan terhadap politisi tradisional dan munculnya tuntutan kembali pada akhlak dan keadilan, konsep Ahlul Halli Wal Aqdi bisa menjadi jembatan antara keislaman dan politik. Ia bukanlah upaya untuk menggantikan demokrasi, tapi melengkapi sistem dengan mekanisme keadilan akhir yang tidak terpengaruh oleh kepentingan partai atau kekuasaan.

 

Dengan dewan yang terdiri dari ulama berintegritas, berkompetensi, dan berwawasan keislaman, AHWA bisa menjadi alat konsiliasi yang tenang, elegan, dan beradab—jauh dari retorika provokatif dan politik hujat. Di tengah perpecahan yang mengancam, AHWA bukan saja solusi kebijakan, tapi juga keharusan moral bagi umat Islam di Indonesia: sebuah tanda bahwa politik bisa menjadi ibadah, bukan sekadar permainan kekuasaan.

 

Referensi

  1. Abu al-Mu’min al-Badri. (1423H/2002M). Al-Muhallab fi Usul al-Fiqh. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
  2. Al-Thabari, M. (2004). Tafsir al-Thabari: Surah Asy-Syura. Dar Ibn Hazm.
  3. Khoirudin, A. (2021). Model Konsiliasi Politik Islam: Studi tentang Peran Ulama dalam Konflik Kepemimpinan di Indonesia. Jurnal Studi Keislaman, 12(3), 45–63.
  4. Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. (1424H/2003M). Fatawa al-‘Ulamā’ al-‘Ashriyyin wal-Akham. Maktabah al-Malik Faisal.
  5. Quraish Shihab. (2008). Tafsir al-Misbah: Jilid 8 (Surah Al-Isra–An-Naml). Lentera Hati.
  6. Quthb, S. (1989). Fi Zilal al-Qur’an: Jilid 6. Yayasan Irsyad al-Huda.
  7. Syaikh Saeed bin Ali al-Juma’i. (2013). The Role of Religious Scholars in Islamic Governance: A Comparative Study of Contemporary Applications. Al-Azhar Journal of Islamic Studies, 15(2), 112–130.
  8. Wahid, H. (2017). Paradigm Shift in Islamic Political Systems: From Democracy to Ahlul Halli Wal Aqdi. Journal of Islamic Political Thought, 9(1), 23–40.
  9. Hasan Ubaidillah, M. (2019). Konstruksi Sistem Ahlul Halli Wal Aqdi Pada Pemilihan Rais Aam Nahdlatul Ulama. UINSA Surabaya.
40 posts

About author
Penggemar Buku, Teh, Kopi, Coklat dan senja. Bekerja paruh lepas menjadi Redaktur Kuliahalislam.com .Lekat dengan dunia aktivisme, Saat ini diamanahkan sebagai Bendahara Umum PCM Cilandak,Jakarta Selatan periode 2022-2027 dan Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Pengurus Besar Gerakan Pemuda Persaudaraan Muslim Indonesia (PARMUSI) periode 2024-2027.
Articles
Related posts
Artikel

Ekosistem Pesantrenpreneurship dalam Mewujudkan Kesejahteraan Guru dan Potensi Santri Melalui Wirausaha Koperasi di Pondok Pesantren Annuqo’ Desa Taman Kabupaten Bondowoso

4 Mins read
KULIAHALISLAM.COM – Pesantren sejak dahulu telah dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang berperan penting dalam mendidik generasi bangsa. Di dalamnya, para santri…
Artikel

Peran Kalender Akademik dalam Gaya Hidup Keluarga Modern

1 Mins read
Di era modern, keluarga semakin sibuk dengan rutinitas kerja, sekolah, dan aktivitas sosial. Kalender akademik hadir sebagai peta jalan yang mengatur keseimbangan…
Artikel

Menemukan Kedamaian Hidup Melalui Nasihat Islam

2 Mins read
Setiap orang tentu pernah berada di titik lelah, merasa hampa, atau bahkan kehilangan arah. Hidup yang penuh dinamika seringkali menghadirkan ujian yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights