Di zaman demokrasi, kadang tontonan model dinasti masih tampak di mata masyarakat Indonesia. Anehnya, ketika genta demokrasi dan sistemnya bergulir untuk memilih pemimpin eksekutif dengan pemilihan umum, mengapa justru melahirkan gaya kepriyayian, yang sesungguhnya muncul akibat citra dan cerita media para penguasa Dinasti memang berakar dari zaman primitif, di mana mempersiapkan diwariskan pada keturunan darah dagingnya sendiri melalui segelintir orang.
Namun, seiring demokrasi yang mulai tumbuh di negara ini etos politik dengan cara putra putri penguasa yang didaulat untuk mengambil peran penting dalam politik kepartaian maupun birokrasi pemerintahan.
Dinasti yang menyusup dalam ruang demokrasi demikian adalah penyubliman makna sosial politik. Kacamata politik yang beraliran demokrasi tak sepenuhnya sepakat seiring dengan konsep demokrasi pluralistik di negeri ini.
Kekuasaan dan kepemimpinan ketika para elit-elit negeri masih melukiskan kuasanya melalui cara pendinastian. Paling tidak, apabila dinasti penguasa di zaman ini masih menjadi mata rantai kebuntuan demokrasi, maka akan melahirkan generasi monarki yang setiap saat selalu berhadapan dengan sistem demokrasi di tengah-tengah rakyatnya sendiri.
Benturan-benturan politik yang bercorak demokrasi akan menggempur sistematika dinasti demikian hingga melahirkan generasi keruntuhan. Sampai Indonesia merdeka, masih terdapat beragam kerajaan merdeka yang tidak mengikatkan diri dengan Indonesia. Mereka ada di berbagai wilayah.
Walau demikian, kedaulatan secara teritorial sudah disahkan dalam beragam dokumen negara. Di luar itu, sampai pertengahan tahun 1980-an, laut Indonesia masih bebas, sebelum terdapat pengakuan sebagai negara kepulauan.
Setelah reformasi, dinasti politik tidak lagi bertumpu pada kekuasaan di tingkat pusat, tetapi sudah mulai bergeser ke daerah. Muncullah istilah “dinasti korupsi” dengan sistem organisasi yang memonopoli pengerjaan proyek yang dibiayai APBN dan APBD.
Mereka yang terlibat bukan hanya terikat kepentingan, melainkan berada dalam satu ikatan keluarga dengan membangun akses yang cenderung tertutup. Mereka juga bukan hanya membangun kekuatan politik dengan menyebar anggota keluarga di eksekutif dan legislatif, tetapi juga membuat perusahaan berbasis keluarga.
Pentingnya literasi politik
Itu sebabnya, tantangan atau problem yang terkait dengan modernisasi partai politik dan penyelenggara pemilu tentu perlu diberikan solusinya yang tepat. Salah satu solusinya adalah literasi politik. Mengapa literasi politik? Karena literasi politik adalah serangkai kemampuan yang dipandang perlu bagi para warga untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Hal ini meliputi pemahaman bagaimana pemerintah bekerja dan isu-isu penting terkait masyarakat, juga kemampuan berpikir kritis terhadap berbagai praktik di pemerintahan atau dalam proses-proses politik secara umum.
Siapa saja sebenarnya yang menjadi sasaran atau target literasi politik? Meskipun disebutkan bahwa warga yang menjadi fokus utama literasi politik, tetapi siapa pun sesungguhnya bisa menjadi sasaran literasi politik, dari warga dalam pengertian masyarakat biasa sampai mereka yang sedang menduduki jabatan politik di pemerintahan. Pendek kata, literasi politik seharusnya menjadi komitmen semua orang yang hidup di negara-negara demokrasi.
Dalam konteks ini, para penyelenggara pilkada atau pemilu perlu mendapatkan literasi politik. Tiga aspek literasi politik: kognitif, afektif, dan psikomotorik, jika dipegang teguh oleh mereka, kita bisa berharap bahwa pilkada-pilkada yang ada di seluruh daerah di Indonesia atau pemilu pada level nasional bukan hanya menghasilkan kemangkusan dan kesangkilan semata, melainkan juga mampu meningkatkan kualitas demokrasi itu sendiri, terutama penguatan lembaga-lembaga demokrasi.
Para elit politik yang terliterasikan dengan baik, tentu tidak akan berpikir untuk kepentingan diri dan golongannya saja, melainkan kepentingan negara dan bangsa secara keseluruhan.
Ketika membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu mereka akan lebih banyak memikirkan bahwa undang-undang itu dibuat bukan untuk menguntungkan partai politiknya saja, melainkan untuk kepentingan semua partai politik, dan terutama untuk seluruh rakyat Indonesia.
Adanya kecenderungan pelanggaran oleh penyelenggara pemilu memperlihatkan dengan jelas bahwa mereka belum terliterasikan secara politik dengan baik (politically literate). Mungkin pada aspek kognitif mereka cukup bagus, dalam artian pengetahuan politik mereka tentang tata cara penyelenggaraan pilkada atau pemilu dan segala hal yang terkait dengannya cukup memadai, setidaknya jika dibandingkan dengan masyarakat secara umum.
Namun demikian, belum tentu pada aspek sikap dan psikomotornya mereka terliterasikan dengan baik. Dan, agaknya itulah yang kerap terjadi di kalangan mereka. Wallahu a’lam bisshawaab.
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.
1 Comment