Abstrak
Hukum perjanjian internasional merupakan salah satu pilar penting dalam sistem hukum global, yang mengatur hubungan antara negara dan organisasi internasional. Perjanjian internasional, sebagai alat untuk mencapai kesepakatan di berbagai bidang, seperti perdagangan, lingkungan, dan hak asasi manusia, mengedepankan prinsip kesetaraan (equality) dan saling menghormati kedaulatan.
Dalam konteks ini, Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian menjadi dasar normatif yang mengatur proses pembuatan, pelaksanaan, dan pengakhiran perjanjian. Penelitian ini mengeksplorasi tantangan dan dinamika yang dihadapi dalam implementasi hukum perjanjian internasional, termasuk permasalahan seperti penegakan hukum, konflik antara hukum domestik dan internasional, serta pengaruh politik global terhadap kepatuhan negara- negara.
Dengan memahami aspek-aspek tersebut, diharapkan dapat ditemukan solusi untuk meningkatkan efektivitas hukum perjanjian internasional dalam menciptakan stabilitas dan kerjasama global. Selain itu, perjanjian internasional berfungsi sebagai instrumen diplomasi, menciptakan kewajiban hukum dan memfasilitasi kerjasama dalam berbagai bidang, seperti perdagangan, lingkungan, dan hak asasi manusia.
Dalam konteks ini, pemahaman terhadap prosedur, ratifikasi, dan pelaksanaan perjanjian menjadi kunci untuk mencapai tujuan bersama di tingkat global.
Kata kunci : Hukum Internasional, Hukum Perjanjian Internasional
Abstract
International treaty law is one of the important pillars in the global legal system, which regulates relations between states and international organizations. International agreements, as a tool for reaching agreements in various fields, such as trade, the environment and human rights, prioritize the principles of equality and mutual respect for sovereignty. In this context, the 1969 Vienna Convention on the Law of Agreements is the normative basis that regulates the process of making, implementing and terminating agreements. This research explores the challenges and dynamics faced in the implementation of international treaty law, including issues such as law enforcement, conflicts between domestic and international law, and the influence of global politics on countries’ compliance. By understanding these aspects, it is hoped that solutions can be found to increase the effectiveness of international treaty law in creating global stability and cooperation. Additionally, international agreements serve as diplomatic instruments, creating legal obligations and facilitating cooperation in areas such as trade, the environment, and human rights. In this context, understanding the procedures, ratification and implementation of agreements is the key to achieving common goals at the global level.
Keyword : International Law, International Treaty Law
Pendahuluan
Hukum internasional memainkan peran strategis dalam menjaga stabilitas, perdamaian, dan ketertiban dalam hubungan antar negara. Hukum internasional berfungsi sebagai kerangka hukum untuk mengatur interaksi di tingkat internasional dan memberikan pedoman untuk norma, aturan, dan prosedur yang harus diikuti oleh negara-negara dan organisasi internasional.
Eksistensi hukum internasional tidak hanya membatasi perilaku negara, tetapi juga menciptakan kerangka hukum yang memungkinkan kerja sama dan penyelesaian konflik secara damai. Dalam hukum internasional pula terdapat hukum perjanjian internasional yang menjadi pilar penting dalam dalam sistem hukum global yang mengatur hubungan antar negara dan organisasi internasional.
Hukum internasional berarti hukum perjanjian internasional yang membentuk dasar kesepakatan resmi antara negara dan organisasi internasional. Karena adanya hukum perjanjian internasional, kewajiban antar negara dapat ditegakkan dengan cara yang lebih terstruktur sesuai dengan prinsip pacta sunt servanda. Ini berarti bahwa semua perjanjian yang secara hukum diikat harus dipatuhi dan memiliki kekuatan hukum.
Dalam konteks kebijakan negara, hukum internasional adalah alat penting dalam pembentukan dan penetapan arah kebijakan luar negeri. Perjanjian internasional memungkinkan negara-negara untuk membangun kerangka kerja sama di bidang keamanan, ekonomi, perlindungan lingkungan, dan hak asasi manusia. Selain itu, organisasi internasional dan regional seperti PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) memainkan peran penting dalam memastikan pelaksanaan hak-hak perjanjian internasional sesuai dengan tujuan yang disepakati oleh pihak yang berpartisipasi.
Dalam konteks hukum perjanjian, para negara yang melakukan suatu perjanjian memiliki tujuan yang telah dimusyawarahkan dan dimufakatkan untuk suatu kepentingan yang bersifat global. Tentu dalam hal ini, negara-negara yang terlibat harus mematuhinya ketika menyetujui perjanjian atau kesepakatan tersebut. Adapun negara- negara lain yang belum terikat perjanjian tersebut, memiliki hak untuk menyetujui atau tidak menyetujuinya tergantung kebutuhan hukum negara-negara tersebut.
Hukum perjanjian internasional terkadang disepakati karena suatu hal yang benar- benar mendesak yang berhubungan dengan suatu kondisi yang mengharuskan untuk dilakukan perjanjian tersebut. Seperti halnya terjadi sebuah peperangan antar negara yang tentunya menimbulkan suatu kerugian yang tidak hanya negara yang berperang tersebut, akan tetapi negara-negara yang lain akan terkena dampak akibat perang tersebut.
Praktik-praktik dalam perjanjian internasional terjadi juga dipengaruhi oleh beberapa hal seperti perdagangan yang harus juga disepakati dalam sebuah perjanjian. Perdagangan internasional dilakukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan suatu negara, akan tetapi juga dapat menjadi jembatan untuk hubungan diplomasi serta kerjasama berkepanjangan.
Melalui kerja sama yang diatur secara hukum, negara-negara dapat membangun hubungan yang stabil, memperkuat ekonomi, dan menciptakan tatanan global yang lebih damai dan sejahtera.
Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dengan analisis kualitatif untuk memahami penerapan hukum perjanjian internasional di Indonesia dan implikasinya terhadap hukum nasional. Penelitian dimulai dengan studi pustaka yang mengumpulkan literatur relevan, termasuk buku, artikel, dan dokumen hukum yang berkaitan dengan perjanjian internasional.
Selanjutnya, analisis dokumen dilakukan terhadap konvensi internasional, peraturan perundang-undangan nasional, dan putusan pengadilan yang berkaitan dengan penerapan perjanjian internasional.
Pembahasan
Perjanjian Internasional dan Historisnya
Perjanjian internasional ialah kesepakatan yang dibuat oleh negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya, yang diatur oleh hukum internasional dan menghasilkan hak serta kewajiban yang bersifat hukum publik. Perjanjian internasional diakui oleh masyarakat internasional secara universal sebagai sumber hukum yang mengikat para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut.
Asas Pacta Sun Servanda pun juga menegaskan bahwa perjanjian internasional harus ditaati dan tidak boleh dilanggar oleh seluruh negara yang terlibat. Selain itu, perjanjian internasional harus memenuhi persyaratan hukum tertentu agar diakui sebagai sah, termasuk merupakan perjanjian bebas yang tidak mengikat, kapasitas hukum para pihak, fakta bahwa isi perjanjian tidak bertentangan dengan aturan dasar hukum internasional (jus cogens), dan pembentukannya dalam bentuk tertulis.
Proses ratifikasi, penerimaan, atau persetujuan oleh Negara-negara yang bersangkutan juga merupakan elemen penting dalam memastikan bahwa perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat di tingkat internasional. Dalam UU RI No. 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional pasal 1 ayat 1 menerangkan pengertian serta hal-hal yang terkait dalam perjanjian internasional.
Bunyi pasal 1 ayat 1 yakni Perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Definisi ini menyoroti beberapa elemen kunci dalam pembuatan perjanjian internasional. Pertama-tama, kontrak harus dibuat secara tertulis, yang memastikan kepastian hukum dan menghindari kemungkinan konflik mengenai isi dan tujuan kontrak.
Kedua, perjanjian tersebut harus diatur oleh hukum internasional, menekankan bahwa ruang lingkupnya melampaui yurisdiksi nasional dan tunduk pada aturan yang diakui secara hukum di tingkat global. Ketiga, perjanjian tersebut harus menciptakan hak dan kewajiban di bidang hukum publik, menunjukkan bahwa perjanjian tersebut mempengaruhi hubungan antara negara, organisasi internasional, atau badan supranasional yang tunduk pada hukum internasional.
Perjanjian internasional adalah kesepakatan resmi yang disetujui oleh dua negara atau lebih, yang bertujuan untuk menciptakan kewajiban dan hak hukum di tingkat global sesuai dengan regulasi hukum internasional.
Perjanjian ini dapat mencakup berbagai bidang seperti keamanan, perdagangan, lingkungan, dan penyelesaian sengketa. Sebagai cara hukum yang umum diakui, perjanjian internasional memiliki peran penting dalam menjaga ketertiban dunia, memperkuat kerja sama antarnegara, dan memastikan perlindungan kepentingan bersama yang melampaui batas-batas teritorial. Melalui proses ratifikasi dan pelaksanaan, perjanjian internasional menjadi bagian penting dari sistem hukum negara-negara yang berjanji untuk mematuhi isi perjanjian sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional.
Histori Perjanjian Internasional
Boer Mauna dalam bukunya mengatakan “perjanjian internasional yang pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama adalah instrumen- instrumen yuridik yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama. Persetujuan bersama yang dirumuskan dalam perjanjian tersebut merupakan dasar hukum internasional untuk mengatur kegiatan-kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya di dunia ini.
Pada awalnya pembuatan perjanjian-perjanjian internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan internasional. Prakteknya, hukum kebiasaan internasional mempunyai beberapa kelemahan, antara lain adalah substansinya yang kurang jelas atau samar-samar sehingga kurang menjamin adanya kepastian hukum.
Berdasar pada hal tersebut, kaidahkaidah hukum perjanjian internasional dalam bentuk tertulis harus segera diwujudkan. Pertengahan tahun 1960-an, Komisi Hukum Internasional (komisi yang dibentuk melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 174/II tentang pembentukan Komisi Hukum Internasional) menaruh perhatian terhadap permasalahan pengkodifikasian hukum perjanjian internasional.
Komisi Hukum Internasional menyiapkan Rancangan Naskah Konvensi tentang Hukum Perjanjian yang khusus mengatur masalah perjanjian antar negara dan negara. Rancangan tersebut diajukan kepada Majelis Umum PBB. Setelah Majelis Umum PBB mengeluarkan 2 kali resolusi (Resolusi Nomor 2166 (XXI) dan Nomor 2287 (XXII)), yang pada intinya menyerukan kepada anggotanya untuk segera mengadakan konferensi internasional dalam bidang hukum perjanjian, maka, diselenggarakanlah konferensi internasional di Wina, Austria, dari tanggal 26 Maret-24 Mei 1968 dan dilanjutkan pada tanggal 9 April-22 Mei 1969.
Hasil dari konferensi tersebut adalah disepakatinya naskah konvensi dan tanggal 23 Mei 1969 dilakukan penandatanganan oleh para wakil-wakil negara yang mengadakan perundingan. Konvensi ini kemudian dikenal sebagai the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties (Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional). Konvensi ini mulai berlaku (enter into force) pada tanggal 27 Januari 1980.
Kekuasaan Membuat Perjanjian
Dalam sistem pemerintahan modern, kekuasaan untuk memasuki perjanjian internasional adalah bagian penting dari aktivitas negara dalam hubungan diplomatik dan kerja sama antar negara. Pemisahan kekuasaan dalam proses ini mencerminkan prinsip pemisahan kekuasaan yang digunakan dalam berbagai sistem pemerintahan di seluruh dunia.
Secara umum, kekuasaan untuk mengadakan perjanjian internasional dapat dibagi menjadi tiga kategori utama, yaitu kekuasaan eksekutif absolut, kekuasaan legislatif absolut, dan pembagian kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, masing-masing dengan peran dan tanggung jawab spesifik dalam proses penyusunan dan ratifikasi perjanjian internasional, sebagai berikut:
Kewenangan mutlak eksekutif adalah kewenangan yang berfokus kepada kepala negara sebagai kepala eksekutif. Biasanya sistem ini dipakai oleh sistem monarki absolut. Contoh sistem pemerintahan: Sistem ini umum ditemukan dalam monarki absolut, di mana kekuasaan eksekutif (raja atau ratu) memegang kendali penuh atas negara dan keputusan penting, termasuk dalam hal kebijakan luar negeri dan pembuatan perjanjian. Dalam kasus ini, keputusan kepala negara bersifat final dan tidak ada keterlibatan formal dari parlemen atau badan legislatif lainnya.
Kewenangan mutlak legislatif adalah lembaga legislatif sebagai pemegang kekuasaan penuh dalam membuat perjanjian. Sebagai contoh konstitusi Turki yang memberi kekuasaan penuh kepada parlemen dalam mengesahkan perjanjian. Contoh negara: Turki memiliki konstitusi yang memberikan kekuasaan penuh kepada parlemen untuk mengesahkan perjanjian internasional. Dalam hal ini, pemerintah mungkin bisa bernegosiasi, tetapi pengesahan atau penerapan perjanjian tersebut tergantung sepenuhnya pada keputusan parlemen.
Pembagian kewenangan antara eksekutif dan legislatif yaitu kewenangan pembuatan perjanjian berada pada tangan lembaga eksekutif tetapi tetap harus mendapat persetujuan dari lembaga legislative dalam melaksanakan perjanjiannya. Prosesnya: Biasanya, lembaga eksekutif memiliki peran dalam perundingan dan penandatanganan perjanjian dengan negara lain. Namun, agar perjanjian tersebut dapat berlaku secara sah, lembaga legislatif harus memberikan persetujuan atau ratifikasi.
Misalnya, setelah pemerintah menyelesaikan perjanjian, parlemen akan membahas dan mengesahkan perjanjian tersebut agar dapat diimplementasikan. Contoh negara: Amerika Serikat adalah contoh negara yang menggunakan pembagian kewenangan ini. Presiden memiliki kewenangan untuk menegosiasikan perjanjian internasional, tetapi sebelum perjanjian tersebut sah dan berlaku, harus mendapat persetujuan Senat.
Tahapan Pembuatan Perjanjian Internasional
Perjanjian dapat disusun antara negara atau Pemerintahan atau kepala negara atau instansi Pemerintah yang memiliki akreditasi atau Kewenangan yang diberikan oleh negara yang Mengut usnya. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7 (1) ayat a dan b Konvensi Wina 1969 Dalam United Nations : (a) he produces Appropriate full powers; or (b) it appears from the Practice of the States concerned or from other Circumstances that their intention was to consider That person as representing the State for such Purposes and to dispense with full powers (Nations, 1969). [(a) ia menunjukkan kewenangan penuh yang sesuai; atau (b) berdasarkan praktik yang dilakukan oleh Negara terkait atau berdasarkan keadaan lain, terlihat bahwa maksud mereka adalah menganggap orang tersebut mewakili Negara untuk tujuan tersebut dan tidak memberikan kewenangan penuh (Nations, 1969).
Dalam pasal 7 (2) Konvensi Wina 1969 Terdapat ketentuan yang mengatur:
Heads of State, Heads of Government and Ministers for Foreign Affairs, for the Purpose of performing all acts relating to The conclusion of a treaty; (Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, dan Menteri Luar Negeri, untuk tujuan melakukan semua tindakan yang berkaitan dengan penyelesaian suatu perjanjian).
Heads of diplomatic missions, for the purpose of adopting the text of a treaty Between the accrediting State and the State To which they are accredited; (Kepala misi diplomatik, untuk tujuan mengadopsi teks perjanjian antara negara pengirim dan negara tempat mereka diakreditasi)
Representatives accredited by States to an International conference or to an International organization or one of its Organs, for the purpose of adopting the text Of a treaty in that conference, organization Or organ. (Wakil-wakil yang diakreditasi oleh negara-negara untuk konferensi internasional atau organisasi internasional atau salah satu organnya, untuk tujuan mengadopsi teks perjanjian dalam konferensi, organisasi, atau organ tersebut)
Tugas dari para perwakilan negara Tersebut:“purpose of adopting or authenticating The text of a treaty or for the purpose of Expressing the consent of the State to be bound by A treaty” Dengan melihat tugas dari para pejabat Tersebut dalam mewakili negara tersebut dapat Kita lihat gambaran umum mengenai proses Pembentukan perjanjian internasional:
Adoption of the text
Adopsi teks perjanjian adalah bentuk Persetujuan semua negara yang terlibat dalam Penyusunan perjanjian internasional, untuk Konferensi internasional proses adopsi teks Perjanjian dapat dilakukan jika tercapai dua Pertiga dari negara yang terlibat, kecuali Ditentukan lain oleh konfrensi tersebut.
Authentication of the text
Teks perjanjian ini ditetapkan sebagai otentik Dan definitif dengan prosedur seperti dapat Diberikan dalam teks atau disepakati oleh negara Berpartisipasi dalam pembuatannya perjanjian Tersebut.
Consent to be bound
Untuk terikat dengan sebuah perjanjian, Persetujuan dari negara untuk terikat pada Perjanjian dapat dinyatakan dengan tanda tangan, Pertukaran instrumen merupakan sebuah Perjanjian, ratifikasi, penerimaan, persetujuan Atau aksesi, atau dengan cara lain yang disepakati.
Praktek Perjanjian Internasional
Teori hukum perjanjian internasional dicabut pada prinsip-prinsip dasar seperti pacta sunt servanda dan itikad baik . Prinsip pacta sunt servanda menegaskan bahwa setiap perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak wajib dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 26 VCLT). Selain itu, teori ini juga mencakup konsep persetujuan untuk terikat, yaitu bahwa negara-negara hanya terikat pada perjanjian setelah memberikan persetujuan melalui ratifikasi, aksesi, atau metode lain yang diakui secara hukum internasional. Teori ini juga mencakup ketentuan mengenai pembatalan atau pembatalan perjanjian jika terdapat pelanggaran terhadap norma dasar hukum internasional, seperti yang diatur dalam Pasal 53 VCLT tentang jus cogens.
Pemberlakuan perjanjian internasional oleh Indonesia menurut doktrin incorporasi Artinya perjanjian internasional yang telah diratifikasi atau diaksesi oleh Negara Republik Indonesia langsung mengikat negara dan warga negaranya tanpa mengadopsi perjanjian Internasional itu ke dalam bentuk hukum nasional.
Bahkan terdapat perjanjian internasional Yang belum diratifikasi atau diaksesi oleh Indonesia tetapi dapat diterapkan oleh pengadilan Untuk memutus perkara atau sengketa yang diajukan kepadanya. Substansi atau materi perjanjian internasional yang diberlakukan oleh Indonesia Berdasarkan doktrin incorporasi adalah:
Perjanjian internasional yan merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional Substansi atau materi perjanjian internasional yang diterapkan di Indonesia. Berdasarkan doktrin incorporasi yang bersumber dari teori monisme adalah materi Perjanjian internasional yang merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional Seperti konvensi- konvensi tentang hukum perjanjian, hubungan diplomatik, hubungan Konsuler dan lainnya.
Terhadap materi perjanjian internasional seperti ini, langsung diterapkan oleh Indonesia sebagai bagian dari hukum nasional dan mengikat pemerintah, Warga negara atau setiap orang, meskipun belum dinyatakan pengikatan diri melalui Diratifikasi, aksesi atau penandatanganan atau telah dinyatakan pengikatan diri tetapi Belum ditransformasikan dalam bentuk hukum nasional.
Hukum perjanjian diatur dalam the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties yang mengatur tentang perjanjian antar negara dan the 1986 Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organization yang mengatur tentang Perjanjian antara negara dengan organisasi internasional atau antar organisasi Internasional.
Materi dari kedua konvensi internasional ini merupakan kodifikasi hukum Kebiasaan internasional yang telah dipraktekan secara berulang-ulang dan diterima Sebagai hukum oleh negara-negara sejak zaman romawi dan mengalami perkembangan Pesat setelah dibentuk dan disepakatinya Perjanjian Wesphalia tahun 1648 yang Mengakhiri perang tiga puluh tahun.
Pemberlakuan perjanjian internasional yang mengatur tentang hukum perjanjian Oleh Indonesia berdasarkan doktrin incorporasi, dapat dibuktikan antara lain melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 13/PUU-XVI/2018, tanggal 22 November 2019 Tentang Pengujian UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional. Mahkamah Konstitusi RI dalam putusan pengujian undang-undang tentang perjanjian internasional ini, telah merujuk the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties dan the 1986 Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organization, sebagai dasar hukum internasional untuk memberikan penafsiran terhadap Frasa “perjanjian internasional lain” dalam Pasal 11 ayat (2) UUD RI Tahun 1945 dan Frasa “perjanjian dengan negara lain” dalam Pasal 11 ayat (1) UUD RI Tahun 1945.
Meskipun sampai sekarang Indonesia belum menyatakan pengikatan diri terhadap kedua Konvensi internasional tersebut. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa “dalam Lapangan hukum internasional, pengaturan tentang perjanjian internasional antar negara Berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina Tentang Hukum Perjanjian, 1969 (Vienna Convention on the Law of Treaties), sedangkan pengaturan perjanjian Internasional antara negara dengan organisasi internasional atau antar organisasi Internasional berlaku Konvensi Wina, 1986 (the 1986 Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organization) ”Demikian pula hukum diplomatik dan konsuler diatur dalam beberapa konvensi Internasional, yakni:
The 1961 Vienna Convention on Diplomatic Relation, termasuk Optional Protocol Concerning Acquisition of Nationality dan Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes;
The 1963 Vienna Convention on Concular Relations, termasuk Optional Protocol Concerning Acquisition of Nationality dan Optional Protocol concerning the Compusory Settlement of Disputes;
The 1969 Convention on Special Mission, termasuk Optional Protocol concerning the Compulsory Settlement of Disputes;
The 1973 New York Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons, including Diplomatic Agents;
The 1975 Vienna Convention on the Representation of States in their Relations with International Organizations of a Universal Character.
Materi dari konvensi-konvensi internasional yang mengatur tentang hubungan Diplomatik dan konsuler tersebut merupakan hasil kodifikasi dari hukum kebiasaan Internasional yang telah dipraktekan oleh negara-negara sejak abad ke-16 dan 17 sampai Dengan lahirnya Kongres Wina 1815. Hukum kebiasaan internasional di bidang Diplomatik ini, kemudian oleh para pakar hukum seperti Grentilis, Grotius sampai Kepada Bynkershoek dan Vattel telah dirumuskan dalam sejumlah peraturan yang Lambat laun menjadi norma- norma dalam hukum diplomatik dan konsuler.
Pemberlakuan Perjanjian Internasional menurut doktrin transformasi, perjanjian internasional oleh Indonesia menurut doktrin transformasi Artinya perjanjian internasional yang telah diratifikasi atau diaksesi oleh Indonesia tidak Langsung mengikat negara dan warga negara melainkan harus terlebih dahulu Ditransformasikan dalam bentuk hukum nasional seperti undang-undang atau peraturan Presiden.
Materi perjanjian internasional yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan doktrin Transformasi adalah perjanjian internasional yang memuat norma dasar hukum internasional Baru (jus cogens). Norma dasar hukum internasional baru (peremptory norm of general International law) atau jus cogens, adalah adalah suatu norma dasar yang diterima dan diakui Oleh masyarakat internasional secara keseluruhan sebagai suatu norma yang tidak boleh Dilanggar dan hanya dapat diubah apabila terdapat suatu norma dasar hukum internasional Umum baru yang memiliki sifat yang sama.
Makna jus cogens dinyatakan dalam Article 53 the 1969 Vienna Convention on the Law Of Treaties, yang menetapkan suatu perjanjian batal apabila pada saat pembentukan perjanjian Tersebut bertentangan dengan norma dasar hukum internasional umum. Demikian pula Article 64 the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties menetapkan apabila suatu jus cogens Baru timbul, maka perjanjian yang bertentangan dengan norma itu menjadi batal dan tidak Berlaku lagi.
Menurut Dhokalia, kalimat “Accepted and recognized by international Community of states as a whole” dalam Article 53 the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties diartikan apabila mayoritas besar masyarakat internasional menerima dan mengakui. Contohnya adalah praktek Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam mengeluarkan Suatu resolusi. Hal ini dapat diartikan bahwa resolusi tersebut merupakan suatu pengakuan eksplisit dari pencerminan pendapat umum suatu masyarakat internasional secara keseluruhan.
Perjanjian internasional yang memuat jus cogens dapat diberlakukan di Indonesia Melalui 2 (dua) tahap, yakni ratifikasi atau aksesi dan tindakan legislatif untuk Mentransformasikan materi perjanjian internasional itu dalam bentuk undang-undang atau Peraturan presiden. Ratifikasi atau aksesi perjanjian internasional oleh Indonesia didasarkan Atas Pasal 11 UUD Negara Republik Indonesi Tahun 1945, yang menetapkan:
Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan Perjanjian dengan negara lain;
Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang Luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara Dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan Persetujuan DPR;
Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan Pasal 11 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, dapat Dipahami bahwa tidak semua ratifikasi atau aksesi perjanjian internasional oleh Pemerintah Indonesia didasari persetujuan dari DPR. Ratifikasi atau aksesi perjanjian internasional, baik Bilateral maupun multilateral yang harus didasari persetujuan dari DPR hanyalah materi Perjanjian internasional yang memuat 2 (dua) hal.
Pertama, materi perjanjian internasional Yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan Beban keuangan negara dan/atau; kedua; materi perjanjian internasional yang mengharuskan Perubahan atau pembentukan undang-undang.
Materi atau substansi perjanjian internasional Yang memuat kedua hal tersebut masih bersifat abstrak dan tidak dapat ditentukan secara Limitatif, melainkan harus dinilai secara kasuistis berdasarkan pertimbangan perkembangan Dan kebutuhan hukum secara nasional maupun internasional.
Apabila dilihat dari tahapan pembuatan perjanjian internasional, terdapat perjanjian Internasional yang dibentuk melalui dua tahap (negosiasi dan penandatanganan) dan tiga Tahap (negosiasi, penandatanganan dan pengesahan/ratifikasi). Perjanjian internasional yang Pernyataan pengikatan diri oleh Pemerintah Indonesia atas dasar persetujuan dari DPR adalah Perjanjian internasional yang umumnya dibentuk melalui 3 (tiga) tahap (negosiasi, Penandatanganan dan ratifikasi).20 Lebih lanjut berdasarkan Pasal 11 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945, maka pada tanggal 23 Oktober 2000, Pemerintah Republik Indonesia Mengundangkan Undang-Undang Nomor: 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor: 24 Tahun 2000 menetapkan pengikatan diri Indonesia pada Perjanjian internasional dapat melalui cara penandatanganan, ratifikasi, pertukaran dokumen Perjanjian/nota diplomatik atau cara lain yang disepakati para pihak dalam perjanjian Internasional. Prosedur pengikatan diri pada perjanjian internasional oleh Indonesia, dilakukan oleh pemerintah atas persetujuan DPR berdasarkan undang-undang atau tanpa Persetujuan DPR berdasarkan Peraturan Presiden seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor: 12 Tahun 2011 yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor: 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Kesimpulan
Perjanjian internasional memiliki peran krusial dalam membentuk kerangka hukum yang mengatur hubungan antar negara dan organisasi internasional. Penerapan hukum perjanjian internasional di Indonesia, yang mengikuti doktrin incorporasi, menunjukkan bahwa perjanjian yang telah diratifikasi mengikat negara dan warga negaranya tanpa perlu diadopsi ke dalam hukum nasional.
Namun, tantangan dalam implementasi hukum perjanjian internasional masih ada, termasuk kurangnya pemahaman di kalangan pemangku kepentingan dan kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas hukum domestik. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk meningkatkan sosialisasi dan pendidikan mengenai hukum perjanjian internasional serta memperkuat mekanisme ratifikasi dan implementasi agar dapat memenuhi tuntutan hukum global yang terus berkembang.
Penelitian ini memberikan wawasan berharga tentang pentingnya perjanjian internasional dalam konteks hukum nasional dan perlunya kerjasama yang lebih baik antara negara dalam menghadapi tantangan hukum global.
Tantangan dalam implementasi hukum perjanjian internasional masih menjadi isu yang perlu diatasi. Kurangnya pemahaman di kalangan pemangku kepentingan, serta kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas hukum domestik, menjadi hambatan dalam penerapan yang efektif. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk meningkatkan sosialisasi dan pendidikan mengenai hukum perjanjian internasional, serta memperkuat mekanisme ratifikasi dan implementasi.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan Indonesia dapat lebih baik memenuhi tuntutan hukum global yang terus berkembang dan berkontribusi pada kerjasama internasional yang lebih efektif.
Daftar Pustaka
Annisa, Perjanjian internasional: pengertian, fungsi dan tahapannya, fahum.umsu.ac.id
Ardhiwisastra, Yudha Bhakti. 2003. Hukum Internasional Bunga Rampai. Bandung: PT. Alumni, hlm. 166.
Boer Mauna, 2011, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam era dinamika global, Alumni, Bandung, hlm. 82.
Laitupa, Dewi Kartika, and Yasser Arafat J. 2020. “Eksistensi Hukum Internasional Terhadap Hukum Nasional Dalam Pembuatan Perjanjian Internasional.”, hlm. 127.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2018. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional. Par. 3.11, hlm. 256-259.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2019. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional. Hlm. 252.
Republik Indonesia. 2000. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional. Pasal 9.
Salma Laitupa, Eka Dewi Kartika, and Fadly Yasser Arafat J., “Eksistensi Hukum Internasional Terhadap Hukum Nasional Dalam Pembuatan Perjanjian Internasional,” Amsir Law Journal 3, no. 2 (2022): 63–75, https://doi.org/10.36746/alj.v3i2.61.
Situngkir, Danel Aditia. 2019. “Perjanjian Internasional Dan Dampaknya Bagi Hukum Nasional.” Journal Warmadewa, hal. 19–25, Padang.
Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamuji. 2010. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo, hlm. 13.
Suryokusumo, Sumaryo. 1995. Hukum Diplomatik, Teori dan Kasus. Bandung: Alumni, hlm. 28-29.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional https://jdih.setkab.go.id,