Karen Armstrong, seorang pakar sejarah-sejarah agama, komentator agama terbaik abad 21.Dalam bukunya “Perang Suci”, ia menyebutkan bahwa ketika
Inggris merebut Palestina dari tangan Dinasti Turki Usmani pada tahun 1918,
mereka tidak diberitahu secara resmi tentang Deklarasi Balfour. Orang-orang
Arab percaya akan janji Inggris untuk memberikan kemerdekaan bagi Timur Tengah.
al-Rimawi menggambarkan periode panjang penjajahan Dinasti Turki Usmani sebagai
masa kegelapan dan menyanjung kemenangan Inggris sebagai kemenangan keadilan
atas penindasan. Khalid A. Sulaiman dalam bukunya “Palestine and Modren Arab Poetry”
menyebutkan puisi orang Arab :
“Kalian (Inggris) seperti yang kami tahu,
adalah pembela agung bagi kaum tertindas. Itulah mengapa kalian memenangkan
pertempuran. Kalian seperti yang kami tahu, memiliki pandangan yang mulia
terhadap Islam. Kalian memuja kemakmuran dan kemurahan hati”
Tentu
saja pandangan orang Arab-Palestina yang berbunga-bunga ini dan terlalu
idelisasi pupus takala penerapan Deklarasi Balfour menjadi kebijakan Inggris
yang resmi. Orang-orang Arab merasa dikhianati seperti yang diungkapkan oleh
Wadi al-Bustami yang menjadi asisten sipil bagi administrasi militer, dalam
sebuah puisi yang mengungkapkan :
“Kami membuka hati kami untuk kalian,
mengulurkan tangan kami, Aku melihat selat yang kian hari kian melebar
memisahkan kita, kalian ada di jalur yang sedang sedang kami berada di jalur
yang lain. Dalam ruangan di “Rumah Dinas Gubernur” ini aku melihat Istana
rahasia yang bangkit menjadi “Rumah Nasional bagi kaum Yahudi”.
Selama
tahun 1930-an, Inggris tetap dingin terhadap zionisme. Inggris memegang prinsip
penyelesaian konflik dengan cara yang damai karena pemerintahan Inggris berusaha
untuk mengenyahkan kemungkinan yang cukup mengerikan akan terjadinya Perang
Dunia. Inggris tetap menentang Zionisme dan bertekad untuk menjaga hak-hak
Palestina.
Pada tahun berikutnya, Inggris melakukan kesalahan serius.
Orang-orang Palestina membutuhkan seorang pemimpin dan diputuskan bahwa Mufti
Yerusallem akan menjadi Mufti Agung sekligus perwakilan orang palestina.
Haji
Amin Al-Husaini terpilih menjadi Mufti Yerusallem, ia berusia 20-an tahun dan
tidak mempunyai pengalaman dan pendidikan yang cukup. Yang menempati jabatan
itu seharusnya adalah Syekh Hisam al-Din. Seorang terpelajar dan moderat namun
ia tidak terpilih karena keluarga Haji Amin termasuk keluarga terkuat di
Palestina.
Haji Amin terus mengeluarkan berbagai kebijakan yang ekstrem dan
mengakibatkan pengaruh yang mengundang bencana. Pada bulan Februari 1939,
diadakan sebuah konfrensi di London untuk menyelesaikan masalah Palestina namun
pihak Arab menolak untuk duduk dengan Yahudi dalam keadaan apapun.
Penolakan
mutlak untuk hadir dalam perundingan ini akibatnya sangat fatal karena pihak
Arab dianggap setuju apapun keputusan konfrensi. Pihak Haji Amin juga berusaha bersekutu
dengan Nazi Jerman. Orang-orang Palestina berada dalam model kepemimpinan yang
buruk. Selama tahun 1930-an masyarakat Palestina terpecah dan membentuk
partai-partai baru.
Ada partai Istiqlal yang didirikan oleh Awni Abd al-Hadi,
Partai Blok Nasional didirikan Abd al-Latif Salah, Partai Ishlah, Partai
Pertengahan Nasional. Banyaknya partai tersebut telah memecah persatuan mereka
untuk melawan Israel. Muhyi al-Din al-Hajj Isa menulis puisi yang menggambarkan
kondisi tersebut :
“Mereka bertemu tapi
gagal bersetuju. Betapa sering mereka menyerang dan banyak bicara. Tetapi
mereka adalah para pembohong dan tak berguna. Di antara mereka kebencian dan
niatan jahat yang telah mereka teguk sejak bayi muncul ke permukaan. Sebagian
merancang jebakan bagi yang lain. Sebagian mengolok-ngolok impian orang lain.
Berbagai gagasan baru diciptakan. Sebagian berpura-pura setia sementara mereka
hanyalah pembohong dan orang-orang serakah”
Sementara
itu, seorang penulis Rusia bernama Vladimir Jabotinsky mendirikan persatuan
Zionis-Revisionis. Vladimir Jabotinsky menyatakan bahwa Zionisme adalah
pertualangan kolonialisasi dan karena itu jatuh bangunnya Zionisme bergantung
pada kekuatan militer.
Menachem Begin yang kemudian menjadi Perdana Menteri
Israel tahun 1977 membentuk kelompok teroris “Irgun Zvai Leumi”. Organisasi
teroris lainnya adalah Lehi yang dipimpin oleh Avraham Stren. Kelompok teroris
ini melakukan pembunuhan dan meledakan bom-bom di kantor-kantor pemerintahan
Inggris.
Dengan
berbagai serangan kepada Inggris tersebut, zionisme berhasil memaksa Inggris
untuk mendukung Israel dan menyerahkan
Palestina kepada Israel.
Israel diproklamasikan tanggal 14 Mei 1948 dan
sehari kemudian langsung diserbu oleh tentara dari Lebanon, Suriah, Yordania,
Mesir dan Irak, perang ini dikenal sebagai perang Arab-Israel 1948.
Israel
dapat memenangkan peperangan ini dan
dapat merebut 70 % wilayah Palestina. Sekitar 750.000 orang Palestina keluar
dari negeri mereka sendiri dan menjadi pengungsi. Mereka pergi karena ketakutan
mereka terhadap kelompok teroris seperti Irgun Zvan Leumi.
Moshe
Dayan berkata : “ Kita datang ke negeri ini, negeri yang telah dipenuhi oleh
orang-orang Arab dan kita membangun sebuah komunitas Ibrani yaitu sebuah negara
Yahudi di sini. Desa-desa Yahudi dibangun di atas tempat desa-desa orang Arab
dan aku tidak menyalahkan kalian karena buku-buku geografi itu tidak ada lagi,
bukan hanya buku-buku geografi itu tak ada lagi, desa-desa Arab juga tidak ada
lagi”.
Moshe Dayan dan para Arkeolog
Yahudi melakukan penggalian di Yerusalem yang tujuannya adalah menemukan
situs-situs kuno bangsa Israel ribuan tahun yang lalu untuk membuktikan bahwa
Palestina adalah Eretz Yisrael (tanah Israel).
Kekalahan
pasukan Arab tahun 1948 hanya semakin menambah persaan yang terhina. Peristiwa
terusirnya orang Palestina dari tanah mereka disebut dengan “Peristiwa Nakba
(kehancuran)”.
Negara-negara Arab seperti Yordania enggan menampung orang-orang
Palestina yang terusir. Arab Saudi sudah sejak lama mendukung Deklarasi Balfour
dan mendukung pembentukan Israel tahun 1948. Orang-orang Palestina merasa
dikhianati oleh para pemimpin Arab yang mengabaikan masalah mereka.
Terlalu
sering orang-orang Palestina digunakan untuk perang propaganda dan banyak retorika
digunakan untuk menangisi nasib para pengungsi tetapi sedikit saja bantuan
efektif yang datang. Penyair
Irak bernama Umar Abu Risha menulis puisi berjudul “Seusai Petaka” yang isinya :
“O bangsaku ! Maih adakah
tempat tersisa di antara bangsa-bangsa yang memberimu ruang untuk mengayunkan
pedang atau pena ? Aku memikirkan engkau dengan kepala tertunduk, malu
menghadapi masa lalumu”.
O bangsaku ! banyak saat
ratapan pedih membunuh kata-kaat yang memuja engkau dilidahku. Bagaimana bisa
bendera Israel terkibar di atap makam suci dan di bawah bayangan al-Haram
Penyair
Irak bernama Adnan al-Rawi meratapi kekalahan tahun 1948 dengan membuat puisi
berjdul “Aku Meminta Ampun Kepada Tuhan” dan ia bersikeras tidak percaya lagi
pada dunia dan melupakan dirinya sebagai orang Arab. Bangsa Arab telah
kehilangan nama dan dunianya.
Setelah kekalahan perang Arab-Israel, di Mesir
tampil Gamal Abdul Nasser. Di seantero Dunia Arab muncul idieologi Nasseriyyah
dengan nada sikap anti semit dan anti barat setalah Gamal Abd Nasser berhasil meraih
kemenangan merebut terusan Suez dari Israel dan sekutunya.
Nasser
merasa bahwa orang-orang Arab harus menciptakan idieologi revolusioner Arab dan
tidak boleh meminjam berbagai idieologi asing karena dalam Islamlah orang Arab
memiliki kredo revolusioner mereka sendiri yang khas. Sikap revolusioner itu
tidak siap diikuti oleh para pemimpin negara-negara Arab yang lebih
tradisionil.
Gamal Abd Nasser memandang bahwa Nabi Muhammad salallahu ‘Alaihi
Wasallam pada dasarnya seorang revolusioner dan dalam Mesir ala Nasser, Islam
ditampilkan sebagai agama yang secara tegas menentang depotisme dan berdedikasi
pada penciptaan masyarakat yang adil dan setara.
Karena
itu, pada akhir tahun 1950-an, Nasser terlihat siap untuk membentuk konfredasi
negara-negara persatuan Arab Revolusioner yang kuat. Namun demikian,
kenyataannya pembentukan federasi semacam ini terlalu sulit dalam situasi
perkembangan Timur Tengah yang sedang bergolak. Nasser betul-betul terisolasi
dari Dunia Arab lainnya. Negara-negara tradisional dan konservatif seperti
Saudi Arabia terancam oleh Nasser.
Untuk
mempertahankan kepemimpinan atas Dunia Arab, Nasser menunjukan langkah
penolakan terhadap Israel. Langkah penolakan Israel menghantarkan pada Perang
Enam Hari melawan Israel pada tahun 1967 yang dikenal dengan Perang Yom Kippur.
Negara-negara Arab yang terlibat adalah Mesir, Libya, Suriah, Yordania, dan
Irak. Perang
enam hari adalah kebalikan dari kasus Suez. Kali ini orang Arab dibuat terhina
oleh Israel. Dalam keadaan terhina ini, wajar jika para pengungsi kemudian
memandang masa lalu mereka di Palestina dengan rasa nostalgia yang mendalam.
Ketika mereka berbicara tentang keinginan untuk kembali ke tanah air mereka,
itu jelas bukan sesuatu harapan yang realistis. Pada pertemuan Arab di Kairo
tahun 1964, para pemimpin Arab melunakan orang-orang Palestina dengan membentuk
Palestine Liberation Organization atau PLO untuk meredam perjuangan orang
Palestina. Mereka memilih pemimpin PLO tersebut adalah Ahmed Shukairy yang
nyaris bisa dikatakan orang yang tidak berguna.
Kebanyakan
orang Palestina lebih memilih bergabung dengan organisasi Al-Fatah yang
didirikan dan dipimpin Yasir Arafat.