KULIAHALISLAM.COM – Beberapa hari ini di jagat maya ramai diperbincangkan masalah penendangan sesajen makanan di kawasan lokasi erupsi Gunung Semeru, Lumajang Jawa Timur oleh seorang pria tak dikenal. Perilaku tersebut menuai kontroversi di tengah masyarakat.
Bahkan, Wasekjen MUI Muhammad Ziyad menyatakan, bahwa tindakan tersebut tidak benar dan masuk kategori kekerasan. Kendatipun, sesajen diperuntukkan persebahan kepada jin atau setan salah (dalam ajaran Islam), tetapi harus diluruskan dengan cara yang baik pula, memberikan edukasi, misalnya.
Perilaku demikian, tentu saja, menggambarkan perilaku intoleran. Juga, kasus ini bukanlah satu-satunya kasus intoleransi yang pernah terjadi di negeri ini. Misalnya, peristiwa yang terjadi beberapa bulan lalu, yaitu aksi penyerangan terhadap masjid Ahmadiyah di Sintang dan lain-lain.
Ini artinya, persoalan intoleransi di Indonesia belumlah usai bahkan kian masif terjadi di tengah-tengah masyarakat, kendati pemerintah tengah melakukan pelbagai cara sebagai langkah preventif atas tindakan tersebut.
Selain itu, perilaku tersebut bisa berimplikasi terhadap beberapa hal. Seperti, lahirnya konflik eksternal maupun internal, saling menyalahkan, permusuhan, kekerasan bernuansa perbedaan-baik agama, suku, dan lainnya, hingga kebencian dan peperangan yang dahsyat di antara umat manusia. Bahkan, menjadi cikal-bakal lahirnya gerakan ekstremisme-terorisme, sebagaimana pernah terjadi di tahun-tahun yang lalu.
Karenanya, wacana tentang toleransi menjadi penting untuk selalu digalakkan dan dikampanyekan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Dengan melekatnya sikap toleransi pada setiap warga negara, akan menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang adil, sejahtera, beradab, dan menjadi bangsa yang tangguh dalam membendung pelbagai ancaman yang dapat memporak-porandakan dan mencerai-beraikan.
Apalagi, bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang kaya akan keberagaman, seperti agama, suku, budaya, bahasa, dan lain-lain. Tentu menjadi niscaya membangun dan memiliki sikap toleransi dalam diri masing-masing individu.
Lantas bagaimana cara membangun dan menumbuhkan sikap toleransi tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu memerlukan suatu analisa yang matang dan kuat agar toleransi tidak sekadar menjadi wacana (gagasan) dan buah bibir semata. Karena itu, penting kiranya untuk menelisik kembali penyebab lahirnya sikap intoleransi sebagai upaya mencari penyelesaian (penanggulangan).
Penyebab Lahirnya Sikap Intoleran
Munculnya sikap intoleran di tengah-tengah masyarakat bukanlah sesuatu hal yang kebetulan atau instan. Akan tetapi kemunculannya dilatarbelakangi oleh beberapa foktor. Di antaranya adalah; Pertama, pemahaman keagamaan para pelaku intoleran yang dinilai dangkal, parsial, radikal dan tidak mendalam.
Kedua, semakin kentalnya nuansa politik, baik terkait Pilkada dengan memanfaatkan agama untuk kepentingan politik, maupun terkait solusi pemerintah dalam menyelesaikan masalah terkadang bernuansa politis daripada pendekatan hukum yang jelas, tegas dan ber-keadilan.
Ketiga, sistem pendidikan yang hanya sekadar transfer ilmu pengetahuan, pengakuan akan keberagaman dan keberagamaan tanpa mengajarkan pengalaman nyata di lapangan. Dan Keempat, defisit cinta Tanah Air, rasa kebangsaan, ke-Bhinneka-an, dan rendahnya rasa nasionalisme.
Tentu saja, keempat hal tersebut dinilai berpotensi sangat membahayakan apabila tidak segera diselesaikan dengan cepat dan tegas. Bukan sekadar hanya mencederai nilai-nilai keberagaman dan keharmonisan antar umat beragama, tetapi lebih dari itu dapat mengancam terhadap keutuhan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Maka dari itu, upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalisir hal ihwal adalah dengan cara; Pertama, dalam menyelesaikan konflik intoleransi, pemerintah hendaknya melalui pendekatan hukum seadil-adilnya dan tidak bernuansa politis.
Kedua, para tokoh agama (khususnya para da’i) sebisa mungkin membangun komunikasi secara dialogis dan persuasif antar umat beragama secara intens dan kontinu. Pun, memberikan pendidikan keagamaan kepada masyarakat ihwal urgennya meningkatkan kesadaran akan keberagamaan yang mendalam, moderat, dan tidak ekstrem.
Ketiga, seorang ulama (khususnya para da’i) dituntut untuk memiliki sikap toleran (tidak memaksa orang lain) untuk mengikutinya dan tidak-pula melakukan aksi teror. Keempat, seorang pendidik dituntut untuk mampu memberikan pengalaman toleransi keagamaan dan keberagamaan secara lebih nyata, dan tidak sekadar berkutat pada tataran konsep dan teori semata.
Kelima, pentingnya literasi digital bagi generasi muda. Karena, selain dapat membentengi dirinya dari berbagai informasi Hoax, hasutan dan ujaran kebencian, ia juga dapat mendorong mereka untuk melakukan kreativitas dalam memproduksi konten-konten digital yang bernuansa positif sebagai daya tangkal dari sikap intoleran yang dapat meluluh-lantakkan bangsa Indonesia.
Apabila kelima hal tersebut dilakukan, bukan mustahil masa depan bangsa ini menjadi harmonis, adil, damai, dan sejahtera serta mampu menagkal segala hal yang dapat memecah-belah keutuhan dan kesatuan NKRI. Dengan begitu, setiap warga negara dapat hidup secara berdampingan antar sesamanya di bawah naungan falsafah bangsa (Pancasila) tanpa memandang perbedaan primordial yang ada. Wallahu A’lam