Tidak dapat disangkal bahwa upaya penafsiran Al-Qur’an terus berkembang sejak zaman Rasulullah hingga saat ini. Bahkan kandungan Al-Qur’an tidak pernah berhenti menyampaikan kebenaran selama perkembangan zaman.
Hal ini terkait dengan kegiatan penelitian yang terus-menerus yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman Al-Qur’an. Penelitian tentang penafsiran Al-Qur’an selalu melibatkan setidaknya dua kegiatan. Yang pertama adalah penelitian tentang produk-produk penafsiran, dan yang kedua adalah penelitian tentang penafsiran Al-Qur’an itu sendiri.
Penelitian produk-produk tafsir. Kitab tafsir yang ditulis oleh para mufassir dan digunakan sebagai subjek penelitian tafsir dikenal sebagai produk-produk tafsir. Peneliti selalu akan menemukan sesuatu yang mengarungi kitab tafsir.
Misalnya, penelitian tentang kitab tafsir harus meneliti biografi penulis, bukan biografi penulis sendiri. Secara umum, subjek penelitian tafsir, khususnya kitab tafsir, dapat dibagi menjadi beberapa tujuan, termasuk:
Biografi Penulis
Biografi adalah tulisan tentang kehidupan seseorang yang ditulis. Istilah “biografi” berasal dari kata Yunani “bios”, yang berarti “hidup,” dan “graphein”, yang berarti “tulis.” Secara sederhana, definisi biografi adalah cerita tentang kehidupan seseorang.
Biografi biasanya singkat dan hanya berbicara tentang kehidupan dan peran penting seseorang. Menganalisis dan menerangkan pengalaman hidup seseorang secara kronologis dikenal sebagai orientasi biografi.
Tujuan dari orientasi biografi adalah untuk menemukan korelasi dan penjelasan tentang arti tindakan atau misteri tertentu yang melingkupi hidup seseorang, serta keterangan tentang perilaku dan tindakan seseorang selama hidupnya.
Biografi orang-orang terkenal juga sering menceritakan kehidupan mereka. Selain itu, biografi membutuhkan informasi primer dan sekunder, seperti buku sejarah atau referensi yang menunjukkan peran subjek.
Oleh karena itu, biografi didefinisikan sebagai keterangan atau kisah tentang kehidupan seseorang yang bersumber pada subjek rekaan, atau kisah nyata. Sebuah biografi tidak hanya terdiri dari daftar tanggal kelahiran dan pekerjaan, tetapi juga menceritakan bagaimana seseorang berperilaku terhadap peristiwa penting yang memengaruhi perbedaan karakter, termasuk pengalaman pribadi.
Sumber penafsiran
Sumber dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai segala sesuatu, baik benda maupun sarana pendukung lainnya. Jadi, sumber penafsiran adalah komponen yang dapat digunakan untuk memahami makna ayat-ayat Al-Qur’an.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, ia dapat digunakan sebagai penjelas dan perbendaharaan. Ini hanyalah kebenaran relatif, tetapi setidaknya dapat mendekati makna asli ayat tertentu. Tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama tentang fakta bahwa ada lima sumber penafsiran umumnya.
Sumber pertama adalah konsep Al-Qur’an, yang telah digunakan oleh para ulama kontemporer untuk menafsirkan ayat lain dari Al-Qur’an, dengan frasa, “Al-Qur’an yufassir ba’dhuhu ba’dhan.”
Namun, jika diteliti lebih jauh, konsep ini sebenarnya berasal dari asumsi ilmu munasabah Al-Qur’an, karena ada beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang mendukung adanya hubungan internal antara surat atau ayat.
Tafsir juga menggunakan Al-Qur’an sebagai referensi, bukan hanya para sahabat atau para mufassir lainnya. Secara embrio, Rasulullah melakukan hal ini ketika ditanya tentang penafsiran QS. Al An’am [6]: 82 dengan menggunakan QS. Luqman [31]: 13, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari “Abdullah bin Mas’ud.”
Dalam hal ini, hadis Nabi SAW menjadi sumber rujukan kedua setelah Al-Qur’an dalam beberapa konteks, setelah Al-Qur’an sendiri. Dalil normatif dalam QS. al-Nahl [16]: 44 dan QS. Al Hasyr [59]: 72 merupakan dasar untuk penafsiran Al-Qur’an secara normatif. Untuk alasan ini, para ulama kemudian membuat hadis sebagai bayan li al-Kitab.
Selain itu, hadis Nabi berfungsi sebagai eksponen faktual, tidak seperti Nabi yang berbicara dengan Al-Qur’an secara langsung. Ketiga, sejarah teman. Ini karena mereka memiliki pemahaman yang lebih baik tentang apa yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Mereka tidak hanya memahami dan memahami Al-Qur’an yang diturunkan dengan gaya bahasa Arab, tetapi mereka juga memahami konteks sosial dan faktor-faktor yang memengaruhi penurunan Al-Qur’an.Keempat, ucapan tabi’in.
Tabi’in belajar dari sahabat. Setelah Rasulullah dan para sahabat, mereka-lah yang secara bertahap menjadi orang yang paling otoritas dalam menafsirkan Al-Qur’an. Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’b, dan Ibn ‘Abbas adalah beberapa tabi’in terkenal.
Kelima, kisah israiliyyat. Secara terminologis, Israiliyyat adalah ceritacerita yang ditemukan di luar Al-Qur’an tentang para nabi dan masyarakat sebelum Islam yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Abdullah bin Salam, Ka’b al-Ahbar, Wahb bin Munabbah, dan ‘Abd al-‘Aziz Ibn Juraij adalah beberapa tokoh yang menyebarkan israiliyyat.
Corak penafsiran
Dalam bahasa Arab, corak berasal dari kata “alwan”, bentuk plural dari kata “launun”, yang berarti “warna”. Dalam Lisan al-‘Arab, kata “laun” berarti “warna” yang membedakan jenis, dan “fulan mutalawwin” dapat berarti Fulan memiliki karakter yang berubah-ubah.”
Dalam Kamus Besar, kata “corak” dapat memiliki arti khusus karena hubungannya dengan kata lain. Misalnya, “corak bangunan” berarti desain bangunan, dan “corak kasual” berarti corak yang sederhana. Pernyataan, “Untuk memunculkan corak kasual, dipilih kerah yang berkancing dan berwarna cerah”, menunjukkan hal ini.
Nashruddin Baidan menggambarkan corak tafsir sebagai jenis pemikiran atau ide yang mendominasi karya tafsir. Jadi, corak tafsir adalah ragam, jenis, dan kekhasan tafsir. Secara umum disebut sebagai “corak tafsir”, kekhususan tafsir yang dihasilkan dari kecenderungan seorang mufassir dalam menjelaskan makna dan kandungan ayat al-Qur’an.
Namun, pengkhususan suatu tafsir pada corak tertentu tidak menghilangkan kemungkinan adanya corak lain dalam tafsir tersebut; oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa tafsir tertentu terkadang memiliki kecenderungan yang dominan. Fiqi, falsafi, ilmi, akhlaqi, i’tiqadi, shufi, dan adabi al-ijtima’i adalah beberapa metode yang digunakan oleh para ulama tafsir untuk menafsirkan Al-Qur’an.
Metode interpretasi
Istilah “metodos” berasal dari bahasa Yunani, yang berarti “cara” atau “jalan”. Dalam bahasa Indonesia, metode dapat didefinisikan sebagai cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai tujuan (dalam ilmu pengetahuan), metode kerja yang bersistematik memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Menurut definisi ini, metode tafsir terdiri dari tatanan dan aturan yang harus diikuti oleh penafsir ketika menafsirkan Al Qur’an. Dengan demikian, metode tafsir dapat didefinisikan sebagai cara penafsir menafsirkan Al-Qur’an dengan cara yang konsisten dari awal hingga akhir. Al Farmawi membagi metode tafsir menjadi empat kategori:
Pertama, metode tahlili. Dengan metode ini, mufassir berusaha menjelaskan setiap aspek ayat Al-Qur’an dan memberikan setiap pengertian yang diinginkan. Salah satu keuntungan dari metode ini adalah peminat tafsir dapat mendapatkan pemahaman yang luas tentang ayatayat Al-Qur’an.
Metode lain adalah ijmali, di mana ayat-ayat Al-Qur’an dijelaskan secara garis besarnya saja, seperti yang terlihat dalam tafsir Jalalain. Ketiga, metode muqaran, di mana ayat-ayat Al-Qur’an dijelaskan dengan membandingkannya dengan karya mufassir sebelumnya. Keempat, metode mawdhu’i, dilakukan oleh seorang mufassir yang mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tertentu dan kemudian menafsirkannya.
Penelitian ayat Al-Qur’an: Tujuan penelitian tafsir pada ayat Al-Qur’an adalah untuk mempelajari bagaimana mufassir menafsirkan Al-Qur’an, dan bagaimana kegiatan tafsir ini menghasilkan berbagai kitab tafsir. Beberapa tujuan penelitian ini termasuk:
a. Ayat Al-Qur’an
Secara etimologi, ayat ini memiliki beberapa makna. Salah satunya adalah mukjizat, seperti yang ditunjukkan dalam QS. al Baqarah [2]: 211. Yang kedua adalah alamat atau tanda, seperti yang ditunjukkan dalam QS. Al Baqarah [2]: 248.
b. Asbab al-Nuzul
Kata asbab dan nuzul berasal dari kata asbab, yang berarti sebab, alasan, atau latar belakang, dan nazala, yang berarti turun. Secara terminologi, asbab al-nuzul adalah suatu peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an untuk menjelaskan status hukumnya saat itu terjadi.
Kedua jenis peristiwa ini terdiri dari peristiwa di mana Al-Qur’an turun berkenaan dengan peristiwa tertentu, atau peristiwa di mana Rasulullah Saw ditanya tentang sesuatu kemudian Al-Qur’an turun untuk menjelaskan hukumnya. Di sini, definisi asbab al-nuzul adalah “Kejadian atau pertanyaan yang tentangnya Al-Qur’an diturunkan.”
c. Makiyyah-Madaniyyah
Setidaknya ada tiga perspektif yang berbeda tentang definisi makiyyah dan madaniyyah. Kedua, makiyyah adalah ayat atau surat yang turun di Mekkah walaupun sebelum hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah, sedangkan madaniyyah adalah ayat atau surat yang turun setelah hijrah, walaupun turun di Mekkah.
Dengan demikian, definisi pertama menunjukkan unsur waktu. Kedua, madaniyyah adalah ayat atau surat yang turun di Madinah walaupun setelah hijrah. Mina, Arafat, dan Hudaibiyah adalah bagian dari Mekkah, sementara Badr, Uhud, dan Sal adalah bagian dari Madinah.
Definisi kedua ini lebih berfokus pada lokasi, sehingga lemah karena tidak dapat menampung ayat yang turun di luar Mekkah atau sekitarnya. Ketiga, “makiyyah” adalah ayat atau surat yang ditujukan kepada penduduk Mekkah, sedangkan “madaniyyah” adalah ayat atau surah yang ditujukan kepada penduduk Madinah.
Definisi ketiga ini lebih memperhatikan unsur mukhathab. Namun, dari tiga definisi di atas, yang pertama adalah yang paling rajih (kuat). Ini karena, pertama-tama, itu paling teliti, mencakup, dan menyeluruh. Kedua, para ulama dapat menyelesaikan hampir semua perdebatan tentang dikotomi makiyyah madaniyyah.
Ketiga, lebih mudah untuk memahami sahabat. Mereka menganggap al-Taubah, al-Fath, dan al-Munafiqun sebagai surat-surat madaniyyah, tetapi surah al-Taubah tidak turun secara keseluruhan di Madinah. Banyak ayat dalam surat alTaubah muncul saat Nabi Saw pulang dari Tabuk; ayat al-Fath muncul saat Nabi Saw pulang dari perjanjian Hudaibiyah; dan ayat al-Munafiqun muncul saat Nabi Saw dalam perang Bani al-Mushthaliq.
d. Munasabah
Istilah “munasabah” mengacu pada hal-hal seperti hubungan, kesesuaian, kecocokan, dan kesesuaian. Kata “munasabah” dan “al-muqarabah” berarti mendekatkan dan menyesuaikan. Al-Zarkasyi menganggap munasabah sebagai penelitian rasional-logis (amr ma’qul).
Untuk memastikan bahwa diskusi parsialparsial tetap utuh dalam struktur yang jelas, munasabah ingin memastikan bahwa mereka terhubung satu sama lain. Al-Zarkasyi menganggap munasabah berguna untuk melengkapi pengertian teks dengan teks lain sehingga mereka saling jalinjemalin dan menjadi satu struktur yang kokoh (mutala’im al-ajza’).
Menurut Quraish Shihab, ada dua jenis penggunaan munasabah di dalam Al-Qur’an. Yang pertama adalah hubungan yang erat antara ayat atau kumpulan ayat tertentu dengan yang lainnya. Komponennya mencakup: (1) hubungan antar kata dalam satu ayat; (2) hubungan antara ayat dengan ayat berikutnya; (3) hubungan antara kandungan dan penutup ayat, (4) hubungan antara nama surat dan tema surat; dan (6) hubungan antara uraian akhir surat dan uraian awal surat berikutnya.
Kedua, hubungan antara makna ayat dengan ayat lain, seperti bagaimana ayat dalam surah al-Maidah [5]: 3 berbicara tentang darah (al-dam), yang biasanya dilarang untuk dimakan, dan ayat lain yang tidak menyebutkan syarat. Namun, QS. al-An’am [6]: 145 menyatakan bahwa darah yang mengalir, atau dama masfuha, adalah haram.