KULIAHALISLAM.COM – Di dalam sebuah hadis disebutkan, مَن تواضعَ للهِ رفعَهُ الله yang artinya, “Barangsiapa yang bertawadhu (rendah hati) karena Allah, niscaya Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah RA).
Tawadhu, kata Nabi shallahu ‘alaihi wasallam, dapat mengangkat derajat pemiliknya di sisi Allah ta’ala. Akan tetapi, jka kita cermati secara seksama, tawadhu dalam hadis tersebut disabdakan oleh Nabi shallahu ‘alaihi wasallam secara bersyarat (muqayyad), yaitu harus lillāhi ta’ala, harus tulus karena Allah ta’ala.
Bukan tawadhu agar dipuji-puji oleh manusia, bukan tawadhu agar terlihat berwibawa, bukan tawadhu karena tuntutan sosial, dan bukan tawadhu agar dibilang tawadhu.
Tawadhu yang dimaksud adalah tawadhu yang murni karena Allah ta’ala, tanpa pamrih, alamiah, dan apa adanya tanpa dibuat-buat. Karenanya, tawadhu’ itu sebenarnya sesuatu yang tak mudah dan sederhana.
Tawadhu lahir dari proses dan akumulasi kejujuran, keikhlasan, dan keistiqamahan dalam beribadah kepada Allah ta’ala. Tidak instan dan tidak bisa ‘ditiba-tibakan’ untuk memakai baju tawadhu yang benar-benar lillāhi ta’āla ini.
Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin tinggi pula ujian ketawadhu’annya. Sebab di saat ia punya ‘sesuatu’ untuk dibanggakan dan dipamerkan, ia bisa menahan dirinya untuk tidak menyombongkannya. Malahan memilih untuk tawadhu’ dan tenggelam dalam sikapnya yang seolah biasa-biasa saja.
Dan sejatinya memang harus seperti itu, merasa biasa saja, la wong semuanya karena kehendak Allah ta’ala. Ilmu yang dipunya tidak lain merupakan titipan, demikian pula amal yang dilakukan tidak lain adalah karena kemudahan yang diberikan-Nya.
Sebab itulah, antara tawadhu’nya orang ‘alim dan tawadhu’nya orang non-‘alim amatlah berbeda. Orang alim punya sesuatu yang bisa diunggulkan, tapi hatinya tetap merendah.
Ini luar biasa. Sedangkan orang non-‘alim dalam hal ini tak banyak memiliki sesuatu yang diunggulkan, lalu bersikap merendah. Itu hal yang biasa, dan seharusnya memang demikian.
Lawan dari tawadhu ialah al-kibru yang berarti kesombongan, keangkuhan, kepongahan, kecongkakan. Biasanya di dalam Islam, semakin berat ancaman hukuman atas suatu perbuatan, maka semakin besar pula pahala jika melakukan perbuatan sebaliknya.
Durhaka itu dosa besar, maka kebalikannya, berbakti kepada orang tua pahalanya amat besar. Mencuri itu dosa dan haram, maka sedekah pahalanya berlipat-lipat. Syirik dapat membuat pelakunya kekal di neraka, maka tauhid dapat membawa pelakunya kekal di surga selama-lamanya. Dll.
Demikian pula kesombongan, jika ia dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka, maka orang yang tawadhu akan diangkat derajatnya di akhirat nanti. Kata para ulama, selain derajatnya terangkat kelak di akhirat, Allah juga akan mengangkat derajatnya di dunia di antara para makhluk-Nya sebagai bentuk apresiasi dan bonus penghargaan.
Terlepas dari beragam praktek ketawadhu’an yang ada, kita tetap harus bersikap hormat kepada orang yang tawadhu. Tidak perlu menerka-nerka motif apa yang mendasarinya, atau tiba-tiba menjadi ahli gestur yang dapat membaca gerak-gerik lawan bicaranya.
Tawadhu adalah urusan hati, tidak ada yang tahu persis isinya kecuali dirinya sendiri dan Tuhannya, Allah ta’ala. نحكم بالظواهر والله يتولى بالسرائر, kita hanya diperbolehkan menghukumi segala sesuatu berdasarkan yang nampak-nampak saja, sedangkan perkara-perkara yang tersembunyi seperti urusan hati, hanya Allah ta’ala sajalah yang memiliki otoritas penilaian sepenuhnya.
Semoga kita bisa mengamalkan hadis Nabi shallahu ‘alaihi wasallam di atas, menjadi hamba-hamba Allah ta’ala yang diangkat derajatnya karena tawadhu yang semata-mata lillāh, karena Allah ta’ala saja. Aamiin.
Oleh: Ustaz Taufiq Ilham Dwi Yahya