Keislaman

Taqiyyah di Antara Sunni–Syiah: Membuka Tafsir Al Razi dan Al Kasyani

5 Mins read

Taqqiyah secara istilah merujuk pada tindakan berhati-hati dan bersembunyi dalam permasalahan agama karena adanya larangan-larangan atas kebebasan agama dalam beribadah oleh pemimpn yang zalim. Dalam konteks lain berarti taqiyyah ialah sebuah keyakinan untuk menghindari ancaman yang berbahaya terutama dalam hal siksaan fisik.[1]

Doktrin ini sebagai acuan dalam agama Islam pada zaman nabi, sehingga Al Qur’an menurunkan ayat tentang masalah itu. Al Razi dan Al Kasyani merupakan tokoh mufassir kontemporer ternama, baik dalam pandangan syi’ah maupun sunni. Pemikiran al-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib dan al-Kasyani dalam tafsir as-Shafi tidak lepas dari hasil akidah mereka sendiri mengenai perihal penafsiran doktrin taqiyyah ini.[2]

Pembahasan tentang taqiyyah ini banyak berbincangan dan menjadi pembahasan yang hangat. Ada ulama atau sebgian Masyarakat yang mendukung taqiyyah ini dengan sumber Sejarah dan Kembali pada al-Qur’an dan as-Sunnah. namun ada juga dari kalangan ulama atau Masyarakat yang tidak menerima taqiyyah ini sehingga mereka mengkritik mengira bahwa ajaran ini sesat.

Seiringnya perkembangan sejarah  syi’ah berpendapat bahwa taqiyyah sesuatu yang diperbolehkan dalam islam pada seseorang muslim yang berada posisi lemah dan berbahaya bisa saja mengingkari keimanannya.

Sebagaimana yang pernah dialami oleh sahabat nabi Ammar Ibn Yasir yang pada saat itu mengalami penyiksaaan dari orang-orang kafir yang memaksa dia sebagai tuhannya. Dalam situasi ini Ammar ini terancam sehingga beliau bisa melakukan taqiyyah dengan mengucapkan secara lisan saja namun hati tetap tidak mempercayainya.[3]

Perbedaan pandangan antara sunni dan syi’ah bahwasanya taqiyyah dalam kacamata sunni memiliki landasan tersendiri. Golongan sunni melakukan taqiyyah dalam situasi darurat yaitu demi melindungi diri sendiri. Sedangkan dalam komunitas syi’ah taqiyyah memiliki pengertian yang lebih luas,melihatnya untuk melindungi diri sendiri dari penganiyaan dan menjaga komunitas mereka.[4]

Dalam hal ini saya sebagai penulis dalam konsep taqiyyah mengambil qs:al-Imran:28

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُوْنَ الْكٰفِرِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّٰهِ فِيْ شَيْءٍ اِلَّآ اَنْ تَتَّقُوْا مِنْهُمْ تُقٰىةًۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللّٰهُ نَفْسَهٗۗ وَاِلَى اللّٰهِ الْمَصِيْرُ ۝٢٨

Artinya ”Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang kafir sebagai para wali dengan mengesampingkan orang-orang mukmin. Siapa yang melakukan itu, hal itu sama sekali bukan dari (ajaran) Allah, kecuali untuk menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Allah memperingatkan kamu tentang diri-Nya (siksa-Nya). Hanya kepada Allah tempat kembali”. [5]

Baca...  Perbedaan Penafsiran QS. Al Maidah Ayat 44 Perspektif Syiah dan Khawarij

Yang mana nanti akan saya bandingkan sisi perbedaan dari kedua tafsir tersebut dalam sudut pandang yang berbeda.

Penafsiran QS. Al Imran:28 Dalam Tafsir Mafatihul Ghaib dan As Shafi

Dalam kitab mafatihul ghaib atau karyanya ar-Razi bahwasanya hukum taqiyyah itu ada 6 yang dijelaskan oleh beliau secara terperinci. Pertama sesungguhnya Taqiyyah hanya berlaku apabila seseorang berada di tengah-tengah kaum kafir, dan ia khawatir dari mereka atas nyawanya dan tempat tinggalnya, dengan lisan. Hal itu dilakukan dengan tidak menampakkan permusuhan melalui lisan.

Bahkan, diperbolehkan juga menampakkan perkataan yang mengesankan kecintaan dan loyalitas, dengan syarat ia menyembunyikan kebalikannya dalam hati, dan ia bersikap samar dalam setiap yang ia katakan. Sebab, pengaruh Taqiyyah hanyalah pada hal-hal yang tampak (lahiriah), bukan pada keadaan hati.

Kedua jika ia menampakkan keimanan dan kebenaran (meskipun ia diizinkan untuk Taqiyyah), maka hal itu lebih utama (afdhal). Dalilnya adalah apa yang telah kami sebutkan dalam kisah Musailamah (di mana yang terbunuh karena teguh dianggap lebih beruntung).

Ketiga Taqiyyah hanya dibolehkan dalam hal yang berkaitan dengan menampakkan loyalitas dan permusuhan. Dan terkadang dibolehkan juga dalam hal yang berkaitan dengan menampakkan (menyembunyikan) agama.Namun, adapun perkara yang kerugiannya kembali kepada orang lain selain pelaku, seperti pembunuhan, zina, merampas harta, kesaksian palsu, menuduh wanita baik-baik berzina, dan memberitahukan aib atau kelemahan kaum Muslimin kepada orang kafir, maka itu sama sekali tidak dibolehkan.

Keempat Taqiyyah hanya dibolehkan dilakukan terhadap orang-orang kafir yang berkuasa.Akan tetapi, Madzhab Syafi’i menyatakan bahwa jika keadaan antara sesama Muslim sudah menyerupai keadaan antara Muslim dan Musyrikin (dalam hal permusuhan atau bahaya), maka Taqiyyah dibolehkan demi menjaga (melindungi) diri.

Kelima Taqiyyah dibolehkan untuk menjaga (melindungi) diri (nyawa). Apakah ia juga dibolehkan untuk menjaga harta? Ada kemungkinan dihukumi boleh, berdasarkan sabda Nabi saw “Kehormatan harta seorang Muslim adalah seperti kehormatan darahnya,” dan sabda Nabi saw: “Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka dia adalah syahid.”

Juga karena kebutuhan terhadap harta sangatlah mendesak. Air, jika dijual dengan harga yang sangat mahal, dapat menggugurkan kewajiban wudhu, dan dibolehkan mencukupkan diri dengan tayamum untuk mencegah kekurangan harta.

Keenam Mujāhid berkata: Hukum ini ditetapkan pada awal Islam karena kelemahan kaum mukminin. Namun, setelah kekuatan negara Islam (sudah kokoh), maka tidak boleh.Sementara itu, ‘Auf meriwayatkan dari Al-Ḥasan (Al-Bashri) bahwa ia berkata: Taqiyyah dibolehkan bagi kaum mukminin hingga Hari Kiamat. Dan pendapat ini lebih utama, karena menghilangkan bahaya dari diri sendiri adalah wajib selama masih memungkinkan.[6]

Baca...  Ketika Akal Bertemu Wahyu: Mengapa Tafsir Al-Razi dan Tabatabai Sama-sama Diperdebatkan

Sedangkan dalam penafsiran kitab as-Shafi pada QS al-Imran:28 yang pertama itu menjelaskan apabila kalian (kaum syi’ah) takut terhadap mereka, atau ada perkara yang mengharuskan untuk takut maka diwajibkan bertaqiyyah guna untuk menyelamatkan diri.

Kedua larangan loyalitas kepada mereka (kafir) secara lahiriah maupun batiniah berlaku sepanjang waktu, kecuali pada saat ada ketakutan. Maka pada saat itu, menampakkan loyalitas (secara lahiriah) dibolehkan, namun dengan menyembunyikan kebalikannya (keyakinan batiniah). Sebagaimana dikatakan: “Jadilah di tengah (dalam keyakinan), namun berjalanlah di samping (dipinggiran, dalam tindakan).

Dalam pandangan ini Amirul Mukminin bersabda meninggalkan Taqiyyah yang telah diperintahkan kepadamu. Karena jika kamu meninggalkannya, kamu telah menumpahkan darahmu sendiri dan darah saudara-saudaramu, dan kamu telah menempatkan kenikmatanmu dan kenikmatan mereka pada ancaman hilangnya (punahnya), sehingga kamu terseret ke tangan musuh-musuh agama Allah. Padahal Allah Ta’ala telah memerintahkanmu untuk memuliakan mereka (kaum mukmin).[7]

Pandangan Kedua Mufassir Dalam Penafsirannya

Pandangan Fakhruddin ar-Razi dalam Mafatih al-Ghayb dan al-Kasyani dalam Tafsir as-Shafi memiliki perbedaan yang sangat jelas dalam doktrin taqiyyah. Ar-Razi menjelaskan bahwa hukum taqiyyah terdiri dari 6 poin dan beliau menjelaskan secara rinci. Beliau menunjukan bahwa bahwa taqiyyah tidak digunakan dalam segala kondisi,melainkan hanya berlaku dalam keadaan khusus.

Beliau membatasi taqiyyah pada situasi ketika orang muslim ditengah posisi kaum kafir dan khawatir akan keselamatannya. Bahkan, sekali bertaqiyyah diperbolehkan. Ar-Razi memperingati bahwa menampakan kebenaran adalah hal yang lebih utama. Ar-Razi memberi batasan bahwa taqiyyah tidak boleh dalam permasalahan yang merugikan orang lain seperti pembunuhan, zina, merampas harta, kesaksian palsu. Selain itu bagi pandangan beliau taqiyyah hanya sekedar aspek lahiriah tanpa mengubah keyakinan batiniah[8].

Disisi lain, al-Kasyani dalam Tafsir as-Shafi menyumbang pandangan yang lebih luas dan menekankan bahwa taqiyyah tidak hanya diperbolehkan, tetapi menjadi kewajiban jika seorang muslim mengalami ketakutan atau terancam. Dalam penjelasannya mengenai QS al-Imran:28 beliau menyampaikan loyalitas secara lahiriah kepada pihak yang berbahaya diperbolehkan, bahkan diwajib untuk melakukannya selama keyakinan batin masih terjaga.

Baca...  Hakikat Mabda' Menurut Filsuf Dan Islam

Menurut al-Kasyani, taqiyyah suatu cara untuk melindungi diri dari komunitas muslim,terutama dalam situasi penindasan. Beliau menjelaskan bahwa meninggalkan taqiyyah akan menepatkan membahayakan diri sendiri dan umat muslim lainnya.seta memberikan keemptan bagi musuh untuk menguasai dan melemahkan komunitas. Pendekatan al-Kayani lebih fokus pada kalangan komunitas muslim (syi’ah) dan bersifat doktrin penekanan pada kewajiban untuk mrnjaga keselamatan bersama.[9]

Refrensi

Abdurrahman, Muhamad Faiz, Hadyan Amrullah Arrazy, and Amiril Ahmad. “Comparative Analysis of Taqiyah in the Tafsir of At-Thabarsi and Sayyid Qutub.” Firman: Journal of Qur’anic Studies 1, no. 1 (2025): 1–14.

Agama, Jurnal, Lembaga Studi Agama, and Masyarakat Aceh. “Teologi Syi’ah Dan Alirannya.” Teologis: Jurnal Agama Dan Pemikiran Teologis: (2025): 50–56.

Al-Kashani, Mulla Fathullah. “Kitāb Al-Ṣāfī Fī Tafsīr Al-Qur’ān.” Iran: Dar al-Kitab Islamiyah, 1878.

Multazam, Ahmad. “Taqiyyah Dalam Pandangan Mufassir Syi’ i Klasik Dan Kontemporer (Studi Kitab Tafsīr Majma‘ Al- Bayān Dan Tafsīr Al- Mīzān ),” 2018, 1–115.

Nur Muhammad, Hafid, Suwarno Suwarno, and Ai Fauziah. “Taqiyyah Dalam Pandangan Sunni Dan Syi’ah (Studi Analisis Komparatif Kitab Tafsir Al-Qurtubi Dan Al-Mizan).” Ulumul Qur’an: Jurnal Kajian Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir 1, no. 2 (2021): 93–100. https://doi.org/10.58404/uq.v1i2.71.

الرازي, فحر الدين. “تفسير الفحر الرازي, مفاتيح الغيب.” Libanon-Beirut: Dar al-Fikr, 1981.

[1] Hafid Nur Muhammad, Suwarno Suwarno, and Ai Fauziah, “Taqiyyah Dalam Pandangan Sunni Dan Syi’ah (Studi Analisis Komparatif Kitab Tafsir Al-Qurtubi Dan Al-Mizan),” Ulumul Qur’an: Jurnal Kajian Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir 1, no. 2 (2021): 93–100, https://doi.org/10.58404/uq.v1i2.71.

[2] Jurnal Agama, Lembaga Studi Agama, and Masyarakat Aceh, “Teologi Syi’ah Dan Alirannya,” Teologis: Jurnal Agama Dan Pemikiran Teologis: (2025): 50–56.

[3] Ahmad Multazam, ‘Taqiyyah Dalam Pandangan Mufassir Syi’ i Klasik Dan Kontemporer (Studi Kitab Tafsīr Majma‘ Al- Bayān Dan Tafsīr Al- Mīzān )’, 2018, hlm.57

[4] Muhamad Faiz Abdurrahman, Hadyan Amrullah Arrazy, and Amiril Ahmad, “Comparative Analysis of Taqiyah in the Tafsir of At-Thabarsi and Sayyid Qutub,” Firman: Journal of Qur’anic Studies 1, no. 1 (2025): 1–14.

[5] Tafsir Kemenag QS al-Imran:28

[6] Libanon-Beirut: Dar al-Fikr, 1981)hlm.13-14

[7] Mulla Fathullah Al-Kashani, “Kitāb Al-Ṣāfī Fī Tafsīr Al-Qur’ān” (Iran: Dar al-Kitab Islamiyah, 1878).

[8] الرازي, “تفسير الفحر الرازي, مفاتيح الغيب.”hlm.10-14

[9] Al-Kashani, “Kitāb Al-Ṣāfī Fī Tafsīr Al-Qur’ān.”hlm,26-27

Related posts
KeislamanSejarah

Mengenal Mur'jiah Dalam Sejarah Islam

4 Mins read
Kuliahalislam.Murji’ah merupakan salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama Hijriyah. Pendirinya tidak diketahui dengan pasti tetapi Imam Syahrastani menyebutkan…
Keislaman

Adat Atau 'Urf Dalam Fiqih Islam

4 Mins read
Kuliahalislam.Adat (‘adah) secara bahasa berarti sesuatu yang dikerjakan atau diucapkan berulang-ulang, sehingga dianggap baik dan diterima oleh jiwa dan akal sehat. Istilah…
Keislaman

Dua Ayat Satu Ruh, Membaca Al-Qur’an Bersama Al Razi

3 Mins read
Ada kata-kata dalam Al-Qur’an yang selalu terasa lebih dalam dari bahasa. Ruh adalah salah satunya. Ia sering disebut, tetapi jarang benar-benar dipahami….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
EsaiFilsafat

Hermeneutika Sebagai Filsafat Penafsiran di Era AI

Verified by MonsterInsights