Pernikahan adalah ikatan antara dua insan untuk menjalin kasih sayang diantara keduanya dan mewujudkan sakinah pada diri masing-masing. Namun seringkali dalam perjalanannya terdapat arang melintang yang dapat menyebabkan hancurnya sebuah ketenangan rumah tangga dan rusaknya kasih sayang diantara keduanya. Jika keadaan sudah buntu dan tidak memungkinkan adanya sebuah komunikasi, maka Islam hadir dengan memberikan jalan keluar berupa perceraian atau talak.
Talak adalah pintu darurat yang disiapkan oleh Allah SWT dalam sebuah ikatan suci antara dua insan yang sudah tidak menemukan kecocokan dan ketenangan apabila melanjutkan ikatan tersebut. Disebut pintu darurat karena tidak ditemukan solusi lainnya untuk mempersatukan keduanya dan pintu darurat tersebut adalah jalan terbaiknya.
Meskipun telah disediakan talak sebagai jalan keluar, mengambil tindakan tersebut termasuk dalam perbuatan halal yang paling tidak disukai oleh Allah SWT. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah riwayat:
أبغض الحلال عند الله الطلاق
“Perkara halal tapi paling dibenci oleh Allah SWT adalah talak.”
Dikategorikan sebagai hal yang paling dibenci karena talak adalah pemutus ikatan yang sangat kuat yakni tali pernikahan yang diikat atas nama Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam surah al-Nisa. Dengan demikian barang siapa yang menganggap remeh masalah talak sama halnya mempermainkan ketentuan Allah SWT. ikatan yang dibangun atas nama Allah SWT seharusnya dapat dijaga sampai dipisahkan oleh kematian.
Akan tetapi, bagaimanapun manusia selamanya tidak akan mampu berdiri diatas kebaikan, adakalanya mereka terjerumus dalam keburukan. Karena manusia diberikan potensi untuk berbuat kebaikan dan keburukan. begitu pula dalam sebuah pernikahan selamanya tidak akan berjalan harmonis, adakalanya terjadi pertengkaran antara suami dan istri yang menjadi ujian dalam sebuah rumah tangga.
Ujian-ujian semacam itu memilki dua implikasi, yang pertama rumah tangga tersebut akan semakin solid dan harmonis serta mencapai kesepemahaman antara suami dan istri. Sedangkan yang kedua, ujian tersebut akan menyebabkan suami istri semakin menjauh dan memperlebar jarak antara keduanya yang pada akhirnya berujung dengan perceraian. hal ini sesuai dengan pepatah Arab:
بالإمتحان يكرم المرء أو يهان
“Dengan ujian seseorang akan menjadi mulia atau terhina.”
Akan tetapi perlu diketahui bahwa dalam perceraian terdapat aturan-aturan yang berlaku untuk suami dan istri. karena Islam adalah agama yang menjadi pedoman pemeluknya bahkan sampai urusan makan dan ke kamar mandi, apalagi terkait masalah perceraian. salah satu aturannya adalah yang termaktub dalam potongan ayat 229 dalam surah al-Baqarah tentang kebolehan suami menalak istrinya sebanyak dua kali, yaitu:
اَلطَّلَاقُ مَرَّتٰنِ ۖ فَاِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيْحٌۢ بِاِحْسَانٍ
Sebab Turunnya Ayat
Diriwayatkan dari Tirmidzi, Hakim dan lainnya, dari Aisyah, ia berkata: dahulu lelaki menalak istrinya sebanyak yang ia mau dan jika ia merujuk istrinya maka ia kembali menjadi istrinya walaupun ia menalaknya seratus kali atau lebih dan masa iddahnya belum habis. Hingga suatu ketika berkata seorang lelaki kepada istrinya: demi Allah aku tidak akan menalakmu hingga ikatan pernikahan kita putus tapi aku juga tidak akan memberimu tumpangan atau tempat tinggal. Lalu si isteri bertanya: bagaimana bisa begitu? Lalu si suami menjawab: aku menalakmu dan setiap kali masa iddahmu hampir habis, aku merujukmu. Kemudian wanita tersebut pergi dan melapor kepada nabi SAW sehingga beliau terdiam dan turunlah ayat: Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan (rujuk) dengan cara yang patut atau melepaskan (menceraikan) dengan baik.
Tafsir Ayat
Dalam Tafsir al-Muyassar, Ayat ini menjelaskan tentang kebolehan rujuk setelah talak sebanyak dua kali dan kebolehan istri untuk membayar sejumlah uang sebagai tebusan atas perceraian. Selanjutnya disebutkan ketetapan Allah SWT setelah terjadinya talak yang kedua adalah menahan (menerima kembali) isteri dengan baik dan hidup bersamanya dengan baik atau melepaskannya dengan memberikan hak-haknya dan tidak menyebutnya dengan cara yang buruk. Dan dilarang bagi para suami untuk mengambil kembali apa yang telah mereka berikan berupa mahar dan semcamnya dari istri, kecuali jika suami istri khawatir tidak dapat memenuhi hak-hak pernikahan.
Kata yang digunakan dalam menjelaskan talak adalah مرتان, artinya: dua kali, bukan dua perceraian. Hal ini mengisyaratkan bahwa penjatuhan talak dilakukan secara terpisah, berbeda waktu, dan tidak sekaligus. Dengan demikian, mengumpulkan dua atau tiga talakan adalah haram. Pendapat ini dipegang oleh sejumlah sahabat, antara lain: Umar, Usman, Ali, Abdullah bin Mas’ud, dan Abu Musa al Asy’ari.
Lalu yang dimaksud dengan تَسْرِيْحٌۢ بِاِحْسَانٍ adalah talak ketiga. Pemahaman ini didasarkan pada hadis yang terdapat dalam Sunan Abi Daud dan yang lainnya bahwa Abu Razin al-Asadi bertanya kepada Rasulullah saw. “saya dengar Allah berfirman “talak itu dua kali” lalu mana yang ketiga? Beliau bersabda: “yang ketiga adalah tasrihun bi ihsan”. Secara linguistik terdapat dua perbedaan antara kata talak dan tasrih. Talak adalah melepaskan sesuatu dengan harapan kembali sedangkan tasrih adalah melepaskan sesuatu dan tidak berharap kembali.