Sore itu, matahari meredup di ufuk barat, meninggalkan semburat jingga di langit. Azka, bocah sepuluh tahun, bergegas menyelesaikan tugasnya. Hari ini, ia bertekad untuk menyiapkan takjil istimewa bagi ayahnya. Sejak subuh, ia telah membayangkan bagaimana raut wajah ayahnya saat berbuka nanti—mungkin tersenyum puas, mungkin terharu. Yang jelas, Azka ingin memberikan kejutan.
Di dapur, ibunya sibuk menggoreng kolak pisang. Aroma santan bercampur gula merah menguar, menambah hangat suasana rumah. Azka menggenggam beberapa lembar uang di tangannya, hasil menabung dari uang jajan sekolah. Ia ingin membeli es cendol kesukaan ayahnya.
“Ibu, aku boleh pergi ke warung Bu Sari?” tanya Azka sambil memasukkan uang ke dalam saku celananya.
Ibunya menoleh sambil tersenyum. “Mau beli apa, Nak?”
“Es cendol buat Ayah. Aku mau belikan pakai uangku sendiri.”
Ibunya terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Azka memang anak yang perhatian, meski masih kecil, ia sudah pandai memahami kebahagiaan orang lain.
“Hati-hati ya, Nak. Jangan lupa kembalinya dihitung,” pesan ibunya.
Azka mengangguk cepat, lalu berlari kecil menuju warung Bu Sari yang terletak di ujung gang. Di sepanjang jalan, ia melihat anak-anak lain sibuk bermain petasan, sementara ibu-ibu membawa kantong belanjaan berisi makanan untuk berbuka. Ramadan memang selalu menghadirkan suasana hangat yang berbeda.
Setibanya di warung, ia melihat antrean cukup panjang. Orang-orang membeli gorengan, bubur sumsum, hingga es buah. Azka sabar menunggu gilirannya. Begitu tiba di depan Bu Sari, ia langsung berkata, “Bu, saya mau satu es cendol.”
“Wah, buat siapa, Azka?” tanya Bu Sari ramah.
“Buat Ayah. Beliau suka sekali es cendol.”
Bu Sari tersenyum dan segera menyiapkan es cendol dengan tambahan santan dan gula merah yang melimpah. Azka menyerahkan uangnya dengan hati-hati, lalu kembali ke rumah dengan langkah riang.
Saat adzan Magrib berkumandang, ayah pulang dari masjid dengan wajah letih, namun tetap tersenyum. Di meja makan, sudah terhidang kolak pisang, kurma, dan seporsi es cendol yang dibeli Azka.
“Ayah, ini takjil spesial buat Ayah,” kata Azka bangga.
Ayahnya terkejut. “Dari mana kamu beli ini, Nak?”
“Aku beli pakai uang tabunganku. Aku tahu Ayah suka es cendol,” jawabnya polos.
Seketika, mata ayah berkaca-kaca. Ia mengusap kepala Azka penuh kasih. “Terima kasih, Nak. Ini kejutan yang paling istimewa.”
Di antara suara sendok dan gelak tawa kecil, ada kehangatan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Malam itu, takjil sederhana menjadi simbol cinta seorang anak kepada ayahnya. Ramadan memang bukan sekadar tentang menahan lapar, tetapi juga tentang berbagi kebahagiaan.