(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam) |
KULIAHALISLAM.COM – Setiap pejabat pemerintah Negara dalam menjalankan tugas kekuasaan nya diharapkan selalu mendasarkan keputusan dan tindakannya pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meningkatnya peran pemerintah untuk ikut campur dalam segala bidang kehidupan masyarakat dalam sistem pelayanan publik untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat juga menjadikan pejabat menjadi pejabat. Pemerintah menghadapi tantangan berat dan keadaan mendesak yang mengharuskannya untuk mengambil keputusan atau tindakan yang tidak dikendalikan sebagai alat kekuasaan situasional oleh peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dapat menimbulkan kriminalisasi kebijakan dengan dakwaan penyalahgunaan kekuasaan atas dasar tersebut. Dengan demikian bahwa, badan atau pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila keputusan atau tindakan yang dilakukan apabila tanpa dasar Kewenangan, bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Sikap suatu penyelenggaraan negara saat ini menjadi sorotan berbagai pihak di suatu negara, yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang oleh aparatur sipil negara dalam organisasi negara. Penyalahgunaan menyebabkan timbulnya konflik kepentingan antara aparatur sipil negara atau pemerintah dan masyarakat.
Maraknya kasus yang dilakukan oleh pejabat nasional menyebabkan rasa simpati dan kepercayaan masyarakat terhadap pejabat nasional semakin berkurang. Penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang yang dilakukan oleh pejabat negara tidak sejalan dengan cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Hasil Penelitian bahwa Penyalahgunaan wewenang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan diatur mengenai mekanisme penyelesaiannya. Dengan pengembalian kerugian negara yang dibebankan kepada pejabat pemerintah, apabila terjadi kesalahan administratif akibat penyalahgunaan wewenang (Pasal 20 ayat (6)) diputuskan oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) atau Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Penyalahgunaan Kekuasaan
Memilki kekuasaan berarti memiliki kemampuan untuk mengubah perilaku atau sikap orang lain sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan. Dengan memegang kekuasaan maka secara otomatis yang bersangkutan mempunyai pengaruh, dan hal inilah yang diimpikan oleh sebagian orang yang ingin mendapatkan legitimasi sehingga nantinya ia mempunyai pengaruh dari kekuasaan yang dimiliki.
Pada hakikatnya penggunaan kekuasaan dalam politik bertujuan untuk mengatur kepentingan masyarakat secara keseluruhan, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Oleh karena itu, adanya pembatasan kekuasaan sangat diperlukan guna menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pemegang kekuasaan serta menciptakan keadilan dan kenyamanan dalam hidup. Politik dan kekuasaan dilakukan untuk menyeimbangkan kepentingan individu pegawai dan kepentingan manajer, serta kepentingan organisasi.
Penyebab terjadinya penyalahgunaan kekuasaan mampu berdampak pada korupsi yang merajalela. Diantara penyebabnya: a. Bahwa punishment yang dirasakan dari hasil penyalahgunaan kekuasaan relatif lebih ringan dibanding dengan manfaat yang dirasakannya. b. Penyalahgunaan kekuasaan bisa diakali dan direkayasa dalam bentuk wujud fisik pertanggungjawaban. c. Untuk mendapatkan kekuasaan memerlukan modal materi yang cukup besar, sehingga begitu kekuasaan melekat pada dirinya tentu yang bersangkutan berusaha untuk mengembalikan modal awal plus keuntungan yang besar. d. Tidak baiknya sistem check and balance dalam sistem pemerintahan.
Penyalahgunaan kekuasaan dalam dunia politik yang sering dilakukan oleh para politisi memunculkan pandangan bahwa tujuan utama berpartisipasi dalam politik hanyalah untuk memperoleh kekuasaan.
Penyalahgunaan kekuasaan dalam dunia politik yang sering dilakukan oleh para politisi memunculkan pandangan bahwa tujuan utama berpartisipasi dalam politik hanyalah untuk memperoleh kekuasaan. Studi tentang Kekuasaan dan Politik dalam organisasi masih sedikit. Beberapa penelitian justru menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda. Ketika setiap individu berinteraksi untuk saling mempengaruhi tindakannya, maka yang tampak dalam interaksi tersebut adalah pertukaran kekuasaan.
Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dalam penelitian ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), merupakan kejahatan yang secara substansial membunuh umat manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung, apalagi kejahatan tersebut dilakukan oleh pemerintah. Yang tak kalah penting, maraknya tren membuka aurat bahkan dianggap sebagai gaya hidup yang sangat merusak moral bangsa.
Bahwa terdapat beberapa bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan, yaitu:(1) penggelapan uang;(2) penyuapan;(3) korupsi;(4) pemerasan;(5) kemerosotan moral;(6) hegemoni kelas sosial;(7) marginalitas; dan (8) resistensi.
Potensi penyalahgunaan kekuasaan yang dilatarbelakangi niat jahat adalah adanya kesempurnaan yang melekat pada kekuasaan tersebut, karena pemegang kekuasaan dapat berbuat apa saja atas dasar dan atas nama kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, tindakan penyelenggaraan negara dalam menegakkan supremasi hukum memerlukan pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan oleh batas-batas hukum. Untuk itu, hukum dan kekuasaan merupakan unsur mutlak dalam suatu masyarakat hukum dalam arti masyarakat yang diatur oleh hukum dan agar setiap perbuatan atau wewenangnya tidak disalahgunakan.
Penyalahgunaan kekuasaan adalah penyalahgunaan kekuasaan yang diberikan kepada seseorang. Kalau bersifat informal biasanya tidak akan menimbulkan dampak yang besar, namun jika kekuasaan diberikan oleh pemerintah maka dampak kehancurannya akan lebih luas karena berhubungan dengan lebih banyak orang.
Penyalahgunaan Wewenang
Penyalahgunaan wewenang adalah tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk kepentingan diri sendiri, kelompok, atau organisasi, tindakan menguntungkan publik yang menyimpang dari aturan dan perundang-undangan, di mana dalam proses menjalankan wewenang tersebut berbeda dengan yang ditentukan. Penyalahgunaan wewenang tersebut terjadi karena pejabat mempunyai kekuasaan yang begitu besar sehingga diperlukan pengawasan antar lembaga yang berfungsi memperbaiki suatu sistem, sebagai tolok ukur dan acuan keberhasilan, serta mencegah terjadinya penyimpangan penyalahgunaan kekuasaan yang akan datang.
Bahwa secara umum penetapan kriteria penyalahgunaan wewenang didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: Pertama, unsur penyalahgunaan wewenang dikatakan terpenuhi jika wewenang, peluang, atau sarana melekat pada jabatan tersebut. atau jabatan yang dipegang atau diduduki digunakan untuk tujuan yang menyimpang dari tujuan pemberian wewenang, kesempatan, atau sarana tersebut. Kedua, dikatakan memenuhi unsur penyalahgunaan wewenang apabila suatu perbuatan sebenarnya dilakukan oleh orang yang mempunyai hak untuk melakukannya tetapi dilakukan secara salah atau diarahkan pada sesuatu yang salah dan bertentangan dengan hukum atau adat istiadat.
Upaya pencegahan tindakan maladministrasi harus dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip tata kelola yang sehat dalam upaya pemberantasan korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Penyalahgunaan wewenang adalah suatu perbuatan maladministrasi yang disebabkan oleh perbuatan yang tidak berdasarkan asas administrasi yang baik berupa asas larangan bertindak sewenang-wenang, asas keadilan, asas kepastian hukum, asas kepercayaan, asas kesetaraan, asas proporsionalitas, asas kehati-hatian, kehati-hatian dan pertimbangan. Berdasarkan delapan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang sehat, maka aparatur pemerintah akan melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan dengan selalu memperhatikan prinsip-prinsip tersebut menjadi upaya pemberantasan korupsi.
Birokrasi Yang Korupsi
Kekuasaan merupakan kesempatan bagi seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan keinginannya sendiri, sekaligus menerapkannya pada tindakan perlawanan dari orang atau kelompok tertentu. Pada dasarnya kekuasaan dimaksudkan untuk melindungi rakyat yang dipimpinnya, dan kekuasaan itu untuk mencapai tujuan dan cita-cita bersama bernegara. Dengan keagungan tujuan kekuasaan tersebut, maka kekuasaan tidak boleh disalahgunakan, sebagai alat untuk memperkaya diri sendiri, kelompok dan pihak tertentu, serta dalam menjalankan kekuasaan yang telah dicapai mempunyai legitimasi konstitusional sehingga benar-benar mempunyai kedudukan hukum.
Penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan pejabat publik dapat berupa penyalahgunaan wewenang yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana terlihat pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana. Korupsi. Kedua pasal tersebut mengatur tentang penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai jabatan atau jabatan yang akibat perbuatannya merugikan keuangan negara.
Korupsi di Indonesia seperti halnya juga di beberapa negara lain, banyak berkorelasi dengan penyalahgunaan kekuasaan dari para pemegang kekuatan politik. Watak kekuasaan pada dasarnya berambisi untuk memperbesar pengaruh, memperluas jangkauan dan cengkeramannya terhadap rakyat yang seringkali tidak memiliki kekuatan kontrol yang signifikan terhadap geliat kekuasaan yang selalu merambat. Korupsi merupakan perilaku yang tidak terpuji, namun pemerintah dapat mencegah dan mengawasi kasus korupsi.
Revrisond Baswir korupsi dapat diartikan dengan berbagai cara. Namun jika dikaji secara mendalam, akan segera diketahui bahwa hampir semua definisi korupsi mengandung dua unsur di dalamnya: Pertama, penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum yang dilakukan pejabat atau aparatur negara; dan Kedua, pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan umum oleh pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan (Braz dalam Lubis dan Scott, 1985).
Dengan dua unsur tersebut, tidak aneh jika Alatas (1999) cenderung menyebut korupsi sebagai tindakan pengkhianatan (pelanggaran kepercayaan). Namun justru karena sifat korupsi yang seperti itu, maka upaya untuk mendefinisikan korupsi cenderung mempunyai permasalahan tersendiri. Disadari atau tidak, upaya untuk mendefinisikan korupsi hampir selalu terjebak pada dua jenis standar penilaian yang belum tentu sejalan satu sama lain, yaitu norma hukum yang berlaku secara formal, dan norma umum yang hidup di tengah masyarakat. Oleh karena itu,suatu perbuatan yang menurut undang-undang dikategorikan sebagai korupsi, belum tentu dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela jika dilihat dari norma-norma umum yang berlaku di tengah masyarakat. Sebaliknya, suatu perbuatan yang dikategorikan korupsi dalam pandangan norma umum, belum tentu mendapat sanksi hukum yang pantas (Waterbury dalam Lubis dan Scott, 1990). Berangkat dari permasalahan pendefinisian korupsi yang cukup rumit, secara tidak sengaja kita terpaksa memahami korupsi sebagai sebuah fenomena dinamis yang sangat erat kaitannya dengan pola korupsi.
Korupsi birokrasi telah menyentuh pada level yang sangat kritis, karena hampir semua tingkatan pemerintahan baik pusat, daerah, maupun kelurahan/desa telah terjadi dalam proses pelayanan publik. Korupsi biasanya dikaitkan dengan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Gejala korupsi tersebut, diakibatkan karena pelayanan publik masih dirasakan oleh sebagian besar masyarakat sulit, prosedural, berbelit-belit, dan lamban dalam penyelesaiannya, sehingga mendorong masyarakat untuk mencari jalan pintas melalui upaya membangun konektifitas dengan pejabat birokrasi yang dimungkinkan dapat membantu kemudahan dalam proses pengurusannya. Inilah awal terjadinya korupsi birokrasi, karena akan terjadi praktek suap yang dilakukan masyarakat sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada pejabat birokrasi yang telah membantu dalam proses pengurusan pelayanan publik. Untuk itu, korupsi birokrasi tidak dapat dilepaskan dari unsur manusianya, moralitas dan integritas dibutuhkan dalam rangka menangkal merebaknya korupsi dalam lingkungan birokrasi.
Korupsi pada bidang pengadaan barang dan jasa pemerintah semakin meningkat dari tahun ke tahun baik dari segi jumlah kasusnya maupun dari nilai kerugian nasional yang ditimbulkan. Pengujian Penyalahgunaan wewenang merupakan suatu hal yang mutlak dalam penetapan tindak pidana korupsi dan mengakibatkan Kerugian Keuangan Nasional atau Perekonomian Nasional, tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam hal ini adalah Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. yang berkaitan dengan Jabatan Umum atau Pemerintahan atau Penyelenggara Negara khususnya dalam hal penggunaan keuangan negara. Lahirnya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah membawa perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan baik secara substantif maupun prosedural dalam penggunaan wewenang oleh pejabat pemerintah, dimana setiap kebijakan yang diambil oleh pejabat publik apabila terdapat indikasi penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan negara. atau perekonomian negara, tidak boleh dibawa langsung ke ranah tindak pidana.