Tafwid secara etimologis bermakna menyerahkan atau mewakilkan suatu urusan. Dalam konteks akidah, khususnya saat menghadapi ayat antropomorfisme (yang menyinggung sifat-sifat Allah), tafwid adalah metodologi untuk menetapkan lafaz tersebut sebagaimana dalam al-Qur’an (misalnya yad, wajh, istawa) serta menyerahkan sepenuhnya lafaz tersebut kepada Allah semata.
Pendekatan ini merupakan ciri khas madzhab salaf, yang bertujuan untuk menghindari penyerupaan Allah dengan makhluk sambil menegaskan bahwa akal manusia terbatas dalam memahami zat dan sifatNya, sehingga maknanya dikembalikan kepada sang khalik.
Berbeda dengan ta’wil, ta’wil adalah metode penafsiran yang tujuannya untuk memalingkan atau mengalihkan makna harfiah dari sebuah lafaz yang samar (khususnya ayat antropomorfisme, seperti “yad” atau “wajh”) ke makna lain yang bersifat kiasan atau metaforis, dengan dukungan dalil yang kuat, demi menjaga kesucian Allah dari kesan penyerupaan dengan makhluk.
Walaupun sebagian ulama terdahulu (salaf) menolaknya karena lebih memilih menyerahkan makna (tafwid), para ulama khalaf menganggap ta’wil sebagai cara yang perlu dilakukan untuk memahami ayat-ayat tersebut, misalnya menakwilkan “tangan” Allah sebagai kekuasaan-Nya.
Dalam konteks inilah seorang mufassir yang juga ahli fikih seperti Imam Al-Qurthubi dihadapkan pada pilihan sulit: apakah ia akan mengikuti tafwid ala salaf yang menghindari penafsiran, atau ta’wil ala khalaf yang menginterpretasi secara kiasan. Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya, al-Jami’ li Aḥkam al-Qur’an, dikenal luas karena corak fikihnya yang fokus pada ayat-ayat hukum.
Namun, dalam masalah akidah, khususnya ayat antropomorfisme yang membahas sifat-sifat Allah, beliau mengambil posisi yang eklektik (menggabungkan) antara metode salaf dan khalaf, dengan kecenderungan ke arah takwil untuk beberapa sifat, demi menjaga kesucian tauhid.
Al-Qurthubi umumnya tidak langsung menolak ta’wil, tetapi ia mencantumkan berbagai pendapat ulama. Ia seringkali memulai dengan metode tafwid yang merupakan ciri khas madzhab salaf, lalu diikuti dengan ta’wil untuk memberikan penjelasan kontekstual, yang merupakan ciri khas madzhab khalaf dan teologi asy’ariyah yang beliau anut dalam akidah.
Beliau menggunakan ta’wil untuk memastikan bahwa Allah tidak disamakan dengan makhluk (tanzih). Ta’wil yang dilakukan Al-Qurthubi pada ayat antropomorfisme biasanya merujuk pada kekuasaan, keagungan, atau nikmat Allah, bukan makna fisik. Takwil yang beliau gunakan seringkali bukanlah ra’yu (pendapat) pribadinya, melainkan kutipan dari ulama salaf, seperti Ibnu Abbas atau Al-Hasan Al-Bashri, yang menunjukkan bahwa ta’wil telah ada sejak generasi awal. Contoh ayat antropomorfisme:
وَلِلّٰهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَاَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
“Hanya milik Allah timur dan barat. Ke mana pun kamu menghadap, disanalah wajah Allah. Sungguh Allah maha luas mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2] : 115) Imam Al-Qurthubi menafsirkannya dengan memecah menjadi isu fikih dan akidah. Dalam isu fikih, beliau menegaskan bahwa ayat ini turun untuk membolehkan salat sunnah di atas hewan tunggangan tanpa menghadap kiblat.
Namun hukum ini telah dinasakh (dihapus) oleh ayat penetapan kiblat supaya tidak menimbulkan kekacauan dalam salat fardu. Sebagaimana firman Allah yakni;
..وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَه…
“Di mana pun kamu sekalian berada, hadapkanlah wajahmu kearah itu”. (QS. Al-Baqarah: [2] 144) Kemudian, beralih ke isu akidah, beliau mencantumkan berbagai pendapat mufassir terkait ta’wil terhadap lafazh wajhullāh yang bersifat antropomorfisme.
Diantara pendapat tersebut datang dari Al-Haddaq berkata: “Hal itu merujuk pada eksistensi, dan menyatakannya dengan wajah merupakan metafora ucapan, karena wajah merupakan organ tubuh yang paling terlihat di dunia dan paling penting nilainya”.
Lalu kemudian disusul pendapat dari Ibnu Furak berkata: Suatu deskripsi tentang sesuatu boleh disebutkan, tetapi yang dimaksud dengannya adalah hal yang dijelaskan dalam arti yang luas, seperti ketika seseorang berkata: “Aku melihat ilmu si fulan hari ini,” atau “Aku melihat ilmunya,” padahal yang dimaksudnya adalah: “Aku melihat ulama itu,” atau “Aku melihat ulama itu.” Demikian pula, ketika “wajh” disebutkan di sini, yang dimaksud adalah: Dzat yang memiliki wajah, yaitu eksistensi. Sebagaimana firman Allah ditafsirkan, karena yang dimaksud adalah: Allah yang memiliki wajah.
اِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللّٰهِ…
“Sesungguhnya ibadahmu hanyalah karena Allah”. (Qs. Al-Insan [76] : 9) Demikian pula, dalam ayat lain yang berarti: Dzat yang memiliki wajah.
اِلَّا ابْتِغَاۤءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْاَعْلٰىۚ ٢٠
“Kecuali untuk mencari wajah tuhannya, yang maha tinggi”. (Qs. Al-Lail [92] : 20)
Al-Qurtubi juga mengutip pendapat dari Ibnu Abbas yakni wajah merupakan ekspresi bagi Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
وَّيَبْقٰى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلٰلِ وَالْاِكْرَامِۚ
“Dan di sanalah kekal Wajah Tuhanmu, Pemilik keagungan dan kemuliaan”. (Ar-Rahman: 27) Beberapa ulama memiliki pandangan berbeda tentang sifat Tuhan yang diungkapkan dalam wahyu: sebagian ulama menerimanya sebagai sifat yang harus ditetapkan disamping sifat akal, namun Ibnu Atiyya mengikuti Abu al-Ma’ali menolak pandangan itu dan menegaskan bahwa yang dimaksud adalah keberadaan Tuhan semata.
Sementara itu, tafsiran lain menyebutkan bahwa “wajh” bisa berarti arah (kiblat), niat, atau hanya merujuk pada kehadiran Tuhan, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Kalbi al-Qanbi dan Mu’tazilah dengan mengaitkannya pada makna وَهُوَ مَعَكُمْ .. ..”maka Allah bersamamu”. (Qs. Al-Hadid [57] :4)
Terakhir al-Qurtubi menafsirkan sifat Allah al-wasi’ dengan memiliki beberapa penafsiran utama, yang semuanya mengarah pada cakupan tak terbatas dari KetuhananNya. Pertama, Dia maha luas karena memudahkan urusan agama hambaNya dan tidak membebani di luar kemampuan.
Kedua, karena ilmuNya meliputi segala sesuatu. Dan ketiga (menurut Al-Farra’ dan lainnya), karena Dia adalah maha dermawan yang kedermawanan dan rahmat-Nya meliputi segala sesuatu. Secara ringkas, al-wasi’ menunjukkan bahwa Allah adalah maha pengampun (tidak ada dosa yang terlalu besar) dan Maha Pemurah yang tidak bergantung pada amal hambaNya.
Pendeknya dalam menafsirkan ayat antropomorfisme, khususnya terkait frasa wajhullāh dalam surah al-Baqarah ayat 115, Imam Al-Qurthubi memilih jalan ta’wil. Ia mengalihkan makna literal “wajah Allah” ke makna kiasan yang lebih sesuai dengan keagungan dan kemuliaanNya.
Dengan demikian, Al-Qurthubi tidak hanya menjaga kesucian tauhid dari penyerupaan dengan makhluk, tetapi juga membuka ruang pemahaman yang lebih dalam tentang sifat Allah bagi para pembacanya.
Referensi
“Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. (Jilid 2, hlm 324 – 332).” https://archive.org/details/AlJamiAlAhkamAlQuranTafsirAlQurtubiJild2maktabatzeenatfatima.wordpress.comOfShakil917698679976
وَلِلّٰهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَاَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ Q.S. Albaqarah [2] : 115
“قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَاۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ Q.S. Albaqarah [2] : 144”
“اِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللّٰهِ لَا نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزَاۤءً وَّلَا شُكُوْرًا Q.S Alinsan [76] : 9”
“اِلَّا ابْتِغَاۤءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْاَعْلٰىۚ Q.S Allail [92] : 20”
“وَّيَبْقٰى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلٰلِ وَالْاِكْرَامِۚ Q.S Arrahman [55] : 27”
“هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۚ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِى الْاَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاۤءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيْهَاۗ وَهُوَ مَعَكُمْ اَيْنَ مَا كُنْتُمْۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌۗ Q.S. Alhadid [57] : 4”

