Tafsir progresif kajian pemikiran Farid Esack dan Khaled Abou El Fadl terhadap teks suci. Kajian Islamic studies berkembang dari waktu ke waktu hingga melahirkan tokoh-tokoh yang terkemuka dengan pendekatan-pendekatan dan metode-metode kontemporer yang digunakan untuk menjawab isu-isu terkini.
Tokoh-tokoh seperti Farid Esack dan Khaled Abou El Fadl memiliki pendekatan tersendiri dalam memahami teks Alqur’an di mana kedua pemikir ini meyakini bahwa teks Alqur’an memiliki pesan yang universal yang dapat menjawab segala permasalahan lintas generasi.
Hermeneutika progresif menjadi wadah bagi kedua pemikir ini untuk membangun pemahaman Islam yang tidak hanya berdasarkan teks semata tetapi juga responsive terhadap nilai-nilai keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat.
Kajian Hermeneutika Farid Esack dalam Studi Islam (Plurarisme)
Farid Esack memiliki nama lengkap Maulana Farid Esack lahir pada tahun 1959 di Cape Town pinggiran kota Wynberg, Afrika Selatan. Farid Esack adalah seorang pemikir yang terpengaruh dari tokoh pemikiran Islam seperti Fazlur Rahman, Mohammaed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Abdullah Na’im, dan Fatimah Mernisi.
Hemeneutika Farid Esack memiliki dua konsep, yaitu Hermeneutical Theory dan Hermeneutical Philoshophy. Dalam menyusun pendekatan ini, ia memiliki tujuan memposisikan dirinya secara metodologis dalam gugusan konsep yang ia bangun, yaitu bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian dalam waktu dan budaya lama dapat dimengerti dan bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang.
Secara epistemology Esack memiliki konsep hemeneutika yang lebih kearah hemeneutika tanggapan atau penerimaan (Reception Hermeneutics) yang identik dengan aliran fungsionalisme teks. Bagi hermeneutika sebuah teks bisa dikatakan kitab suci jika ia telah lulus dari uji fungsional dan pragmatik sehingga letak kebenaran tertingginya dilihat dari seberapa mampu mengatasi problem kemanusiaan yang hadir di era sekarang.
Kontribusi hermeneutika Alqur’an Farid Esack memiliki karakteristik yang bersifat spesifik dan temporal. Arah penafsirannya lebih pada sosial. Esack mengadopsi pemikiran hermeneutika dari konsep teori pembebasan Gueterriez dan Segundo, hermeneutika lingkar bahasa, hermeneutika “regresif-progresif” Arkoun dan hermeneutika “double movment” Fazlur Rahman.
Dari ketiga konsep tersebut ia memiliki term-term hermeneutika Alqur’an yang memiliki hubungan dan korespondensi dengan kondisi sosial masyarakat Afrika Selatan yang saat itu mengalami penindasan, ketidakadilan, dan eksploitasi. Term tersebut adalah taqwa (integritas dan kesadaran akan kehadiran Tuhan), tawhid (ke-Esa-an Tuhann), al-nas (manusia), al-mustad’afun (yang tertindas), qist dan ‘adl (keseimbangan dan keadilan), serta jihad (perjuangan).
Esack mengartikan pluralisme sebagai pengakuan dan penerimaan adanya keberbedaan dan keragaman, baik sesama agama maupun penganut agama lain yang lebih dari sekedanar toleransi. Secara agama, pluralisme berarti penerimaan cara menanggapi dorongan yang terlihat maupun tidak yang ada dalam diri manusia kearah yang tresenden.
Hal ini berarti pluralisme adalah penghargaan, penerimaan, dan pengakuan atas sikap-sikap perilaku penganut agama lain dalam upaya untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Hermeneutika Alqur’an tentang pluralisme agama sebagai temuan penelitian Esack merupakan prespektif baru.
Konsep pluralisme yang dibangun oleh Esack untuk masyarakat Afrika Selatan dengan metode hermeneutika untuk melakukan langkah pembacaan kembali terhadap sejumlah konsepsi keagamaan: Iman, Islam, kufr, dan penggambaran kaum lain: ahl al- kitab dan musyrik.
Kajian Hermeneutika Khalid Abou El-Fadl: Pendekatan Gender Dalam Studi Islam
Khaled Mehdhat Abou El Fadl dikenal dengan Abou El Fadl lahir di Kuwait pada tahun 1963 yang mendapat julukan an enlightened paragon of liberal Islam. Sejak kecil ia sudah bergelut dengan ilmu-ilmu Keislaman dan ia sudah menghafal Alqur’an pada umur 12 tahun. Ia adalah guru besar hukum Islam di UCLA (Univeritas California Los Angeles).
Ia juga seorang penulis yang produktif dengan karya-karyanya yang menjadikannya sangat diperhitungkan dalam diskurs intelektual. Ia mengkaji sebuah buku Speaking in God’s Name sebagai respon adanya penafsiran bias gender dari sejumlah fatwa keagamaan Islam yang dikeluarkan oleh lembaga CRLO (Council for Scientific Research and Legal Opinion) di Arab Saudi yang memiliki kuasa untuk mengeluarkan fatwa di negara tersebut. Dalam kajian ini ia kritik dengan kajian hermeneutika yang ada di era kekinian saat ini.
Konsep hermeneutika ala Abou El Fadl adalah hermeneutik negosiatif di mana dalam proses pencarian makna mengharuskan terjadinya interaksi antara teks, penulis, dan pembaca. Menurutnya ketiga hal ini harus melakukan keseimbangan dan harus melakukan proses negosiasi yang dibutuhkan untuk menjembatani negosiasi dalam waktu wilayah, dan sosio kultural pengarang dengan teks dan pembaca yang dimaksudkan agar terjadi dialog sehingga dapat menarik analogi historis kontekstual.
Dalam menafsirkan sebuah teks seorang pembaca memiliki, pertama jujur, kedua kesungguhan dalam berijtihad, ketiga kemenyeluruhan, keempat rasionalitas, kelima pengendarian diri.
Abou El Fadl dalam mengomentari tema gender yang dikeluarkan oleh CRLO hanya menyentuh wilayah kompetensi hadis. Hadis yang digunakan oleh fatwa keagamaan yang dikeluarkan tentang gender dalam rumah tangga di mana sangat mendeskrimnasi perempuan.
Menurutnya hadis ini dibawakan oleh Abu Huraira yang menurutnya kontroversial di mana ia masuk Islam tiga tahun sebelum nabi wafat oleh karna itu perlu adanya pertimbangan dalam menguji tingkat kepercayaannya. Oleh karnanya Abou El Fadl menganalisis bahwa hadis yang digunakan tidak benar-benar dari Nabi sehingga tidak dapat dimaknai dalam proses penetapannya.
Sumber:
Akhmad Ali Said, “Hemeneutika Al-Qur’an Tentang Pluralisme Agama Perspektif Farid Esack” dalam Spiritualis, Vol. 6 No. 1, Maret 2020.
Ahmad Zainal Abidin, “Epistemologi Tafsir Al-Qur’an Farid Esack” dalam Teologi Vol. 24, No. 1, Januari-Juni 2013.
Khudori Soleh, “Konsep Pluralisme Agama Farid Esack” dalam Ulul Albab, Vol. 6 No. 1, 2015.
M.Amin Abdullah, “Kata Pengantar” dalam Khaled M. Abou al Fadl, Atas Nama Tuhan, dari Fiqih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Jakarta: Serambi, 2004
Khaled M.Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj. R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: Serambi. 2004.