Kuliahalislam. Surah al-‘Ashr adalah surah Makkiyah demikian pendapat ulama kecuali segelintir dari mereka. Nama surah al-‘Ashr telah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabat beliau. Diriwayatkan bahwa sahabat-sahabat Rasulullah tidak berpisah kecuali setiap mereka membacakan surah al-‘Ashr kepada temannya.(H.R ath-Thabarani melalui ‘Ubaidillah Ibn Hushain).
Tema utamanya adalah tentang pentingnya memanfaatkan waktu dan mengisinya dengan aktivitas yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain sebab, jika tidak, kerugian dan kecelakaan yang menanti mereka.
Imam Syafi’i menilai surah ini sebagai salah satu surah yang paling sempurna petunjuknya. Menurut beliau : ” Seandainya umat Islam memikirkan kandungan surah ini, niscaya (petunjuk-petunjuknya) mencukupi mereka”.Surah ini merupakan surah yang ke-13 dari segi perurutan turunannya. Dia turun sesudah surah Alam-Nasyrah dan sebelum surah Al-Adiyat. Ayat-ayatnya yang disepakati berjumlah 3 ayat.
Surat al-‘Ashr
وَٱلْعَصْرِ
Arab-Latin: wal-‘aṣr
Artinya: 1. Demi masa.
إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ
innal-insāna lafī khusr
2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan : Dalam surah yang lalu (Q.S at-Takatsur), Allah memperingatkan manusia yang menjadikan seluruh aktivitasnya hanya berupa perlombaan menumpuk-numpuk harta serta menghabiskan waktunya hanya untuk maksud tersebut sehingga mereka lalai akan tujuan utama dari kehidupan ini. Nah, dalam surah Al-‘Ashr ini, Allah berfirman : ” Wal-‘Ashr, Sesungguhnya semua manusia yang mukallaf di dalam wadah kerugian dan kebinasaan yang besar dan beragam”.
Kata ” (ٱلْعَصْرِ) al-‘Ashr diambil dari kata ” Ashara” yaitu menekan sesuatu sehingga apa yang terdapat dapat bagian terdalam daripadanya tampak ke permukaan atau keluar (memeras). Angin yang tekanannya sedemikian keras yang akan memporakporandakan segala sesuatu dinamai i’shar/waktu.
Tatkala perjalanan matahari telah melampaui pertengahan dan telah menuju kepada terbenamnya dinamai ‘Ashr/asar. Penamaan ini agaknya disebabkan ketika itu manusia yang sejak pagi telah memeras tenaganya diharapkan telah mendapatkan hasil dari usaha-usahanya.
Awan yang mengandung butir-butir air yang kemudian berhimpun sehingga karena beratnya dia kemudian mencurahkan hujan dinamai “al-Mu’shirat”. Para ulama sepakat mengartikan kata ‘Ashr pada ayat pertama surah ini dengan “waktu”, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang “waktu” yang dimaksud.
Ada yang berpendapat bahwa dia adalah waktu atau masa di mana langkah dan gerak tertampung didalamnya. Ada lagi yang menentukan waktu tertentu yaitu waktu di mana salat Ashar dapat dilaksanakan. Pendapat ketiga adalah waktu atau masa kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dalam pentas kehidupan ini.
Pendapat yang paling tepat adalah waktu secara umum. Allah bersumpah dengan waktu, menurut Syekh Muhammad Abduh karena telah menjadi kebiasaan orang-orang Arab pada turunnya Al-Qur’an untuk berkumpul dan berbincang-bincang menyangkut berbagai hal dan tidak jarang dalam perbincangan mereka itu terlontar kata-kata yang mempersalahkan waktu atau masa, “Waktu sial” demikian seringkali ucapan yang terdengar bila mereka gagal atau “Waktu baik”, jika mereka berhasil.
Allah melalui surah ini bersumpah “Demi waktu”, untuk membantah anggapan mereka. Tidak ada sesuatu yang dinamai waktu sial atau waktu mujur, semua waktu sama. Yang berpengaruh adalah kebaikan dan keburukan usaha seseorang dan inilah yang berperan dalam baik atau buruknya kesudahan suatu pekerjaan.
Waktu selalu bersifat netral. Waktu adalah milik Tuhan, di dalamnya Tuhan melaksanakan segala perbuatan-Nya, seperti mencipta, memberi rezeki, memuliakan dan menghinakan. Nah, kalau demikian waktu tidak perlu dikutuk, tidak boleh juga dinamai sial atau mujur. ” Janganlah mencerca waktu karena Allah adalah pemilik waktu”.
Dapat juga dikatakan bahwa pada surah ini Allah bersumpah demi waktu dan dengan menggunakan kata ‘Ashr- bukan selainnya- untuk menyatakan bahwa : Demi waktu (masa) di mana manusia mencapai hasil setelah dia memeras tenaganya, sesungguhnya dia merugi apapun hasil yang dicapainya itu kecuali jika ia beriman dan beramal saleh. Kerugian tersebut mungkin tidak akan dirasakan pada waktu ini tetapi pasti akan disadarinya pada waktu Ashr kehidupannya menjelang matahari hayatnya terbenam. Itulah agaknya rahasia mengapa Allah memilih kata ‘Ashr untuk menunjuk kepada waktu secara umum.
Kalau uraian ini kita kaitkan dengan pendapat Syekh Muhammad Abdul di atas, kita dapat berkata bahwa perbincangan yang membawa mereka kepada anggapan bahwa ada waktu yang sial justru terjadi di waktu ‘Ashr atau menjelang matahari terbenam setelah mereka mengetahui hasil usaha mereka.
Waktu adalah model utama manusia, apabila tidak diisi dengan kegiatan yang positif, dia akan berlalu begitu saja. Dia akan hilang dan ketika itu jangankan keuntungan diperoleh, modal pun telah hilang. Sayidina Ali Bin Abi Thalib pernah berkata: “Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan lebih dari itu di peroleh esok, tapi waktu yang berlalu hal ini tidak mungkin dapat diharapkan kembali esok”.
Kata Al-Insan/ manusia terambil dari akar kata yang dapat berarti gerak atau dinamisme, lupa, merasa bahagia/senang. Ketiga arti ini menggambarkan sebagian dari sifat ciri khas manusia. Dia bergerak bahkan seyogyanya memiliki dinamisme, ia juga memiliki sifat lupa atau seyogyanya melupakan kesalahan-kesalahan orang lain serta dia pun merasa bahagia dan senang bila bertemu dengan jenisnya atau seyogyanya selalu berusaha memberi kesenangan dan kebahagiaan kepada diri dan makhluk-makhluk lainnya.
Kata al-Insan yang mengambil bentuk Ma’rifat (Definite) menunjukkan kepada jenis-jenis manusia tanpa kecuali baik Mukmin maupun kafir. Syekh Muhammad Abduh menambahkan bahwa manusia yang dimaksud ayat ini, walau bersifat umum tidak mencakup mereka yang tidak mukallaf ( tidak mendapat beban perintah keagamaan), seperti yang belum dewasa atau gila.
Kata “Khusr” mempunyai banyak arti, antara lain rugi, sesat, celaka, lemah, tipuan dan sebagainya yang semuanya mengarah pada makna yang negatif atau tidak disenangi oleh siapapun. Kata tersebut dalam ayat ini berbentuk Nakirah (indefinite). Dia menggunakan “Tanwin”. Bentuk indefinite atau tanwin itu memberikan arti keragamaan dan kebesaran yakni kerugian serta kesesatan, kecelakaan dan sebagainya yang besar dan beraneka ragam.
Kata “la fi” adalah gabungan dari huruf “Lam” dan “Fi” yang menyiratkan makna sumpah dan “Fi” yang mengandung makna wadah atau tempat. Dengan kata tersebut tergambar bahwa seluruh totalitas manusia berada dalam wadah kerugian. Kerugian seakan-akan menjadi satu tempat atau wadah dan manusia berada serta diliputi oleh wadah tersebut.
Jika demikian, waktu harus dimanfaatkan. Apabila tidak diisi maka kita merugi, bahkan kalaupun diisi tetapi dengan hal-hal yang negatif maka manusia pun diliputi oleh kerugian. Di sinilah terlihat kaitan antara ayat pertama dan kedua dan dari sini pula ditemukan sekian banyak hadis Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang peringatkan manusia agar menggunakan waktu dan mengaturnya sebaik mungkin. ” Dua nikmat yang sering dilupakan atau disiakan banyak manusia, kesehatan dan waktu”.
Ayat ketiga :
إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ
Arab-Latin: Illallażīna āmanụ wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti wa tawāṣau bil-ḥaqqi wa tawāṣau biṣ-ṣabr
Artinya: “Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling berwasiat tentang kebenaran dan saling berwasiat tentang kesabaran”.
Ayat yang lalu menegaskan bahwa semua manusia diliputi oleh kerugian yang besar dan beraneka ragam. Ayat di atas mengecualikan mereka yang melakukan empat kegiatan pokok yaitu : kecuali orang-orang yang beriman dan beramal amalan saleh yaitu yang bermanfaat, serta saling berwasiat tentang kebenaran dan saling berwasiat tentang kesabaran dan ketabahan.
Iman adalah pembenaran hati atas apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Intinya antara lain dapat disimpulkan dalam rukun iman yang ke-6 itu. Iman sangat sulit digambarkan hakikatnya. Dia dirasakan oleh seseorang tapi sulit baginya apalagi bagi orang lain melukiskan perasaan itu.
Iman bagaikan rasa kagum atau cinta, hanya dirasakan oleh pemiliknya dan dalam saat yang sama si pecinta atau pengagum selalu diliputi oleh tanda tanya, apa gerangan sikap yang dicintai dan dikagumi itu terhadap si pengagum dan si pecinta?. Seseorang yang beriman bagaikan keadaan seseorang yang sedang mendayung perahu di tengah samudra dengan ombak dan gelombang yang sangat dahsyat lagi bergemuruh.
Nan, demikian itu pula halnya iman.Pada saat berada di tengah Samudra itu, pasti timbul dalam benak si pendayung suatu ketidakpastian yang menimbulkan tanda tanya : ” Dapatkah tiba di pulau yang dituju itu?”. Nah, demikian pula halnya Iman pada tahap-tahap pertama. Kalau semacam ini pernah dialami oleh Nabi Ibrahim Alaihissalam menyangkut keimanan tentang hari kemudian. Gejolak Jiwa beliau yang diliputi oleh tanda tanya itu diungkapkan kepada Allah (bacalah Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 260.
Sementara ulama membagi ajaran agama kepada dua sisi yaitu pengetahuan dan pengamalan. Akidah yang wajib diimani merupakan sisi pengetahuan sedangkan syariat merupakan sisi pengamalan. Atas dasar ini, para ulama di atas memahami alladzina amanu ( orang yang beriman) dalam arti orang yang memiliki pengetahuan menyangkut kebenaran. Puncak kebenaran adalah pengetahuan tentang ajaran-ajaran agama yang bersumber dari Allah. Kalau demikian, sifat pertama yang dapat menyelamatkan seseorang dari kerugian adalah pengetahuan tentang kebenaran itu.
Kalau dalam penafsiran ayat kedua digambarkan bahwa totalitas manusia berada dalam kerugian, apabila dia telah memiliki pengetahuan tentang kebenaran yang dimaksud di atas, seperempat dari dirinya telah bebas dari kerugian.
Kata “Amal/pekerjaan” digunakan oleh Al-Qur’an untuk menggambarkan penggunaan daya manusia, daya pikir, fisik dan kalbu dan daya hidup yang dilakukan dengan sadar oleh manusia dan jin. Kata “Shalih” terambil dari kata “Shaluha” yang dalam kamus bahasa-bahasa Al-Qur’an sering dijelaskan sebagai antonim ( lawan kata) dari kata “Fasid/Rusak”.
Dengan demikian kata “Shalih” diartikan sebagai tiadanya (terhentinya) kerusakan. Kata ini diartikan juga bermanfaat dan sesuai. Amal saleh adalah segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok dan manusia secara keseluruhan. Dia adalah segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Melakukan suatu upaya agar nilai-nilai yang terdapat pada suatu tetap lestari sehingga dia dapat berfungsi sebagaimana mestinya dinamakan “Amal Saleh”.
Apabila ada sesuatu yang nilai yang tidak terpenuhi, manusia dituntut agama membawa nilai yang hilang itu dan “memasangnya”, kembali agar dapat berfungsi. Ketika itu manusia tadi dinamakan telah melakukan Ishlah. Setiap amal saleh harus memiliki dua sisi.
Sisi pertama adalah wujud amal yang biasanya terlihat di alam nyata. Di sisi lain orang lain dapat memberikan penilaian sesuai dengan kenyataan yang dilihatnya. Penilaian baik diberikan manakala kenyataan yang dilihatnya itu menghasilkan manfaat dan menolak mudarat.
Sisi kedua adalah motif pekerjaan itu. Mengenai sisi, ini hanya Allah yang dapat nilainya. Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :” Setiap pekerjaan sesuai dengan niatnya”, (H.R Bukhari dan Muslim melalui Umar bin al-Khaththab). Dengan demikian, lebih jauh kita dapat berkata bahwa, di sisi Allah, nilai suatu pekerjaan bukan semata-mata dari bentuk lahiriah yang tampak di alam nyata tetapi yang lebih penting adalah niat pelakunya. Karena itu, dapat dimengerti mengapa kalimat “amal shalih” banyak sekali digandengkan dengan iman karena iman inilah yang menentukan arah dan niat seseorang ketika melakukan suatu amal.
Disamping itu, tidak seorang manusia pun yang dapat memastikan diterima atau ditolaknya satu amal karena dia hanya dapat melihat satu sisi dari amal itu yaitu sisi nyata saja. Ketika Utsman Ibnu Mazh’un, salah seorang sahabat Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam meninggal dunia, istrinya yang bernama Ummu ‘Ala’, berucap ” ” Berbahagialah engkau dengan dianugerahi Ilahi berupa surga yang menantimu”.
Ucapan ini walau ditunjukkan kepada yang amat dicintai Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam tetapi ucapan tersebut tidak disetujui oleh beliau. Sebab tidak seorang pun dapat memastikan diterima atau ditolaknya amal perbuatan, masuk atau tidaknya seorang ke surga atau neraka. “Kalau bukan dia, siapa lagi?”. Kata Ummu ‘Ala’ membela ucapannya.
Namun Rasulullah menekankan kekeliruan ucapan tersebut dengan menjawab : “Memang telah datang kematian kepadanya dan demi Allah, Aku mengharapkan kebaikan untuknya. Tetapi demi Allah meskipun aku seorang Rasul Allah, aku tidak mengetahui secara pasti apa yang telah dilakukan terhadapku” (HR. Bukhari dan Nasa’i).
Anda mungkin bertanya, mengapa demikian?. Bukankah yang mereka perbuat itu amal-amal sholeh ? Kekeliruan anda ketika mengajukan pertanyaan ini adalah bahwa anda telah melupakan hakikat amal sholeh seperti yang diuraikan di atas. Anda hanya dapat melihat yang nyata, tidak melihat syarat dan niat pelaku.
Di mana keadilan Ilahi? Tanya yang lain. Bukankah Allah sendiri telah menegaskan ;
إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا
Arab-Latin: innā lā nuḍī’u ajra man aḥsana ‘amalā.Artinya: Sesunggunya Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan kebajikan. (Q.S al-Kahf ayat 30) ?. Sebelum pernyataan ini dijawab, perlu kita sadari bahwa, ada sementara orang bersikap keliru karena ingin mempersamakan dunia dan akhirat dan atau mempersamakan cara penilaian Tuhan dengan cara manusia dan mempersamakan pula antara fenomena (hakikat) sesuatu atau fenomena (gejala) yang tampak di luar. Misalnya, ketika ada seseorang yang menyembelih sapi yang gemuk lebih besar sebagai korban pada hari raya Idul Adha, anda mungkin berkata ; “Hebat benar orang itu”. Ketika itu, tolak ukur penilaian Anda jelas berbeda dengan tolak ukur penilaian Allah yang menegaskan ;
لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ
Artinya : Artinya: Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. (Q.S al-Hajj ayat 37).
Dengan demikian terlihat perbedaan penilaian-penilaian duniawi dan penilaian ukhrawi. Benar bahwa dunia dan akhirat berkaitan erat tetapi dia ibarat satu mata uang dengan dua muka yang berbeda. Kembali kepada pertanyaan yang diajukan di atas, Mengapa Allah tidak menerima amal-amal “baik” dari mereka yang tidak beriman kepada-Nya ? Paling tidak, ada dua jawaban yang dapat dikemukakan.
Pertama, di atas telah diuraikan bahwa penilaian di hari Kemudian berkaitan dengan niat perilaku yang intinya adalah keikhlasan kepada Allah atau dengan kata lain, penyerahan diri secara penuh kepada-Nya. Seseorang yang melakukan suatu pekerjaan tetapi atas dasar dorongan ingin dipuji atau ingin memperoleh keuntungan material semata-mata, pekerjaan itu tidak dinilai memenuhi syarat amal saleh. Hal ini tidak hanya berlaku pada mereka yang tidak beriman kepada Allah tetapi juga terhadap mereka yang merasa beriman sekalipun.
Karena itu Allah mengingatkan ;
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُبْطِلُوا۟ صَدَقَٰتِكُم بِٱلْمَنِّ وَٱلْأَذَىٰ كَٱلَّذِى يُنفِقُ مَالَهُۥ رِئَآءَ ٱلنَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۖ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُۥ وَابِلٌ فَتَرَكَهُۥ صَلْدًا ۖ لَّا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَىْءٍ مِّمَّا كَسَبُوا۟ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْكَٰفِرِينَ
Arab-Latin: Yā ayyuhallażīna āmanụ lā tubṭilụ ṣadaqātikum bil-manni wal-ażā kallażī yunfiqu mālahụ ri`ā`an-nāsi wa lā yu`minu billāhi wal-yaumil-ākhir, fa maṡaluhụ kamaṡali ṣafwānin ‘alaihi turābun fa aṣābahụ wābilun fa tarakahụ ṣaldā, lā yaqdirụna ‘alā syai`im mimmā kasabụ, wallāhu lā yahdil-qaumal-kāfirīn
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Q.S al-Baqarah ayat 264).
Kedua, bagi yang melakukan suatu pekerjaan namun dia tidak beriman, pada hakikatnya ia tidak menantikan sesuatu di akhirat kelak. Karena ia tidak mempercayainya bahkan ketika itu dia tidak menantikan ganjaran sama sekali. Sedangkan, bagi mereka yang mempercayai akan adanya Tuhan tetapi bukan Allah, kalaupun dia mengharapkan ganjaran di akhirat nanti, dan ganjaran tersebut tentunya tidak dinantikannya dari Allah melainkan dari Tuhan yang disembahnya. Misalnya, dari matahari, Bulan, Bintang atau apa saja yang dipertuhankan olehnya. Jadi, silakan ia menuntut kepada tuhan-tuhan itu.
Di sisi lain, tidak adil jika seseorang datang menuntut upah kepada orang lain yang ia sendiri tidak bekerja untuknya. Tidak wajar penyembah binatang, misalnya, datang kepada Allah untuk diberi ganjaran. Bukankah ia tidak melakukan pekerjaan “baik-nya Itu demi Allah? Lalu, mengapa ia datang menuntut kepada-Nya ?.
Apabila seseorang telah mampu melakukan amal saleh disertai dengan iman, ia telah memenuhi dua dari empat hal yang harus dipenuhinya dalam rangka membebaskan dirinya dari kerugian total. Namun dengan keduanya, seseorang baru membebaskan dirinya dari setengah kerugian. Ia masih bertugas menyangkut dua hal lainnya agar ia benar-benar selamat, beruntung, serta terjauh dari segala kerugian.
Kata “tawashu” terambil dari kata “washa”, “washiyatan” kita yang secara umum diartikan sebagai menyuruh secara baik. Kata ini berasal dari kata “Ard washiyah” yang berarti tanah yang dipenuhi atau bersinambung tumbuhnya. Berwasiat adalah tampil kepada orang lain dengan kata-kata yang halus agar yang bersangkutan bersedia melakukan sesuatu pekerjaan yang diharapkan daripadanya secara bersinambung.
Dari sini kita pahami bahwa
isi wasiat hendaknya dilakukan secara bersinambung bahkan mungkin juga yang menyampaikannya melakukannya secara terus-menerus dan tidak bosan-bosannya menyampaikan kandungan wasiat itu kepada yang di wasiati. Kata “al-Haqq” berarti sesuatu yang mantap, tidak berubah. Apapun yang terjadi karena Allah adalah puncak dari segala yang karena Dia tidak mengalami perubahan. Nilai-nilai agama juga haq karena nilai-nilai tersebut harus selalu mantap tidak dapat diubah-ubah. Sesuatu yang tidak berubah, sifatnya pasti dan sesuatu yang pasti menjadi benar dari sisi bahwa ia tidak mengalami perubahan.
Sementara ulama memahami kata “al-haqq” pada ayat ini dalam arti Allah yakni manusia hendaknya saling mengingatkan tentang wujud, kuasa dan keesaan Allah, serta sifat-sifat-Nya yang lain. Ada juga yang berpendapat bahwa haq yang dimaksud adalah al-Qur’an. Ini berdasar riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
Fakruddin ar-Razi memahami kata “al-haq” di sini sebagai ” sesuatu yang mantap ( tidak berubah), baik berupa ajaran agama yang benar, petunjuk akal yang pasti, maupun pandangan mata yang mantap”. Al-haq tentunya tidak secara mudah diketahui atau diperoleh. Ia juga beraneka ragam karena itu harus dicari dan dipelajari. Pandangan mata dan pikiran harus diarahkan kepada sumber-sumber ajaran agama, sebagaimana harus pula diarahkan juga kepada objek-objek yang diduga keras dapat menginformasikan haq ( kebenaran) itu, dalam hal ini alam raya beserta makhluk yang menghuninya.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa kata al-haq dapat mengandung arti pengetahuan. Memang, menurut sementara ulama, mencari kebenaran menghasilkan ilmu dan mencari keindahan menghasilkan seni, mencari kebaikan akan menghasilkan etika. Saling berwasiat menyangkut haq (kebenaran) yang diperintahkan ini mengandung makna bahwa seseorang berkewajiban untuk mendengarkan kebenaran dari orang lain serta mengajarkannya kepada orang lain.
Seseorang belum lagi terbebaskan dari kerugian bila sekedar beriman, beramal saleh dan mengetahui kebenaran itu untuk dirinya, tetapi ia berkewajiban pula untuk mengajarkannya kepada orang lain. Selanjutnya, sekaligus syarat yang dapat membebaskan manusia dari kerugian total adalah saling mewasiati menyangkut kesabaran.
Sabar adalah menahan kehendak nafsu demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik. Secara umum kesabaran dapat dibagi dalam dua bagian pokok yaitu sabar jasmani dan sabar rohani. Yang pertama adalah kesabaran dalam menerima dan melaksanakan perintah-perintah keagamaan yang melibatkan anggota tubuh seperti sabar dalam melaksanakan ibadah haji yang mengakibatkan keletihan atau sabar dalam peperangan membela kebenaran, termasuk pula dalam bagian ini sabar dalam menerima cobaan-cobaan yang menimpa jasmani seperti penyakit, penganiayaan dan semacamnya.
Sedangkan sabar rohani menyangkut kemampuan menahan kehendak nafsu yang dapat mengantar kepada keburukan seperti sabar menahan amarah atau menahan nafsu seksual yang bukan pada tempatnya. Hampir seluruh keadaan dan situasi yang dihadapi manusia membutuhkan kesabaran konstitusi dan keadaan tersebut tidak keluar dari dua kemungkinan.
Pertama, sejalan dengan kecenderungan jiwanya seperti ingin sehat, kaya, meraih popularitas dan sebagainya. Di sini, kesabaran dituntut bukan saja guna memperoleh apa yang disenangi itu, tetapi juga ketika telah memperolehnya. Ketika itu manusia harus mampu menahan diri agar kecenderungan tersebut tidak menghantarkannya melampaui batas sehingga membawanya hanyut dan terjerumus dalam bahaya.
Kedua, tidak sejalan dengan kecenderungan jiwa manusia yang selalu ingin terbawa kepada debu tanah bukan Ruh Ilahi. Di sini manusia juga membutuhkan kesabaran dan kehendak yang kuat agar tidak terbawa oleh panggilan yang rendah itu. Mungkin sesuatu yang tidak sejalan dengan kecenderungannya itu berupa tuntunan- tuntunan Ilahi, mungkin pula berupa malapetaka dan gangguan dari satu pihak terhadap pribadi, keluarga atau harta bendanya.
Di sini, dituntut kesabarannya, dalam arti ia dituntut untuk menekan gejolak nafsunya, agar apa yang disebut di atas dapat dielakkannya, baik ia mampu untuk membalas gangguan tersebut bila pihak yang mengganggunya adalah manusia yang lemah maupun ia tidak mampu.
Demikian lebih kurang kesimpulan uraian al-Qur’an menyangkut kesabaran yang daripadanya terlihat betapa sifat ini sangat dibutuhkan oleh manusia, kapan dan dalam situasi apapun ia berada. Wajar jika mereka yang mengabaikan sifat ini, walaupun telah mengamalkan ketiga sifat yang disebutkan di atas, masih belum lagi memperoleh keuntungan, masih berada dalam kerugian, paling tidak seperempat dari totalitasnya.
Kedua wasiat di atas mengandung makna bahwa kita dituntut, di samping mengembangkan kebenaran dalam diri kita masing-masing, kita juga dituntut mengembangkannya pada diri orang lain. Manusia di samping sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial. Anda dituntut untuk memperhatikan saya sebagaimana saya diwajibkan memperhatikan Anda.
Saya berkewajiban mengingatkan Anda dan Anda harus menerima peringatan itu tetapi dalam saat yang sama Anda harus memperingatkan saya dan saya pun dengan senang hati menerima peringatan itu. Kita semua dalam suatu kesatuan, topang-menopang dalam satu perjuangan, serta dukung-mendukung karena, kalau tidak, bukan hanya anda yang merugi saya pun ikut merugi.
Surah ini secara keseluruhan berpesan agar seseorang tidak hanya mengandalkan imannya tetapi juga amal salehnya bahkan amal saleh pun bersama Iman belum cukup. Amal saleh bukan asal beramal. Amal pun beraneka ragam, kali ini suatu amal dianjurkan, di lain kali mungkin bentuk amal yang sama diwajibkan bahkan mungkin juga sebaliknya justru terlarang.
Apabila satu ketika anda hendak salat, atau bahkan sedang salat tiba-tiba anda melihat suatu bahaya mungkin akan menimpa seseorang, ketika itu salat Anda harus ditangguhkan demi memelihara jiwa atau keselamatan orang tersebut.
Iman dan amal saleh tanpa ilmu belum juga cukup. Sungguh indah dan tepat gambar yang diberikan oleh Murthada Muthahhari tentang keterkaitan antara iman dan ilmu. Menurutnya : ” ilmu memberi kekuatan yang menerangi jalan kita dan iman menumbuhkan harapan dan dorongan bagi jiwa kita. Ilmu menciptakan alat-alat produksi dan akselerasi, sedangkan Iman menetapkan haluan yang dituju serta memelihara kehendak yang suci. Ilmu adalah revolusi eksternal sedangkan iman adalah revolusi internal. Ilmu dan iman keduanya merupakan kekuatan, kekuatan ilmu terpisah sedangkan kekuatan Iman menyatu, keduanya adalah keindahan dan hiasan, ilmu adalah keindahan akal, sedang iman keindahan jiwa. Ilmu hiasan pikiran dan iman hiasan perasaan. Keduanya menghasilkan ketenangan, ketenangan lahir oleh ilmu pengetahuan dan ketenangan batin oleh iman. Ilmu memelihara manusia dari penyakit-penyakit jasmani dan malapetaka duniawi sedangkan Iman memeliharanya dari penyakit-penyakit rohani dan komplek-komplek kejiwaan serta malapetaka ukhrawi. Ilmu menyesuaikan manusia dengan diri dan lingkungannya sedangkan iman menyesuaikannya dengan jati dirinya”.
Sekali lagi menurut surah ini, Iman, amal sholeh dan ilmu pun masih belum memadai. Memang, ada orang yang merasa cukup serta puas dengan ketiganya tetapi ia tidak sadar bahwa kepuasan itu dapat menjerumuskannya, ada pula yang merasa jenuh. Oleh sebab itu, ia perlu selalu menerima nasihat agar tabah, sabar, sambil terus bertahan bahkan meningkatkan iman, amal dan pengetahuannya. Demikianlah al-‘Ashr memberi petunjuk bagi manusia. Sungguh tepat Imam Syafi’i yang dikutip pada bagian awal dari uraian surah ini menyatakan : “Kalaulah manusia memikirkan kandungan Surah ini, sesungguhnya cukuplah dia menjadi petunjuk bagi kehidupannya”. Maha Benar Allah dalam segala firman-Nya.
Sumber ; Tafsir al-Misbah Jilid 15 karya Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab.

