Ramadan telah memasuki hari kedua. Sore itu, langit menggantung warna jingga keemasan, menyisakan jejak cahaya yang perlahan tenggelam di ufuk barat. Angin berembus lembut, membawa aroma khas masakan berbuka yang menyeruak dari rumah-rumah di sekitar masjid.
Di pelataran Masjid Al-Hidayah, sekelompok anak muda duduk melingkar, masing-masing menggenggam mushaf Al-Qur’an. Mereka bersiap untuk tadarus, melanjutkan kebiasaan yang sudah berlangsung sejak malam pertama Ramadan.
Di antara mereka, ada Fadhil, seorang pemuda yang baru saja kembali dari perantauan. Sejak kecil, ia selalu mengikuti tadarus di pelataran masjid ini, tapi beberapa tahun belakangan, kesibukan kuliah membuatnya jarang pulang ke kampung halaman. Kini, duduk di antara sahabat-sahabatnya dengan mushaf terbuka di tangan, ada kehangatan yang menyeruak dalam dadanya. Seolah-olah waktu tak pernah benar-benar memisahkan mereka.
“Baik, kita lanjutkan dari ayat terakhir semalam,” kata Ustaz Hasan, yang membimbing tadarus malam itu. Suaranya tenang, penuh wibawa, membuat semua peserta segera bersiap.
Fadhil mendapatkan giliran pertama. Dengan suara lirih, ia mulai melantunkan ayat demi ayat, suaranya bergetar lembut, berusaha menjaga tajwid dan makhraj sebaik mungkin. Malam semakin larut, tetapi semangat mereka tak surut. Satu per satu, mereka bergiliran membaca, sementara yang lain menyimak, membenarkan bila ada kesalahan. Tadarus bukan sekadar membaca, tetapi juga belajar dan saling mengingatkan.
Di sela-sela tadarus, Ustaz Hasan sering kali menyelipkan makna dari ayat-ayat yang dibaca. Malam itu, mereka sampai pada surah Al-Baqarah, membahas tentang sabar dan ketakwaan. “Allah selalu bersama orang-orang yang sabar,” ujar Ustaz Hasan dengan senyum bijak. Kata-kata itu mengena di hati Fadhil. Ramadan memang bulan penuh ujian, tetapi juga bulan penuh keberkahan.
Ketika adzan Isya berkumandang, mereka menghentikan tadarus sejenak untuk berjamaah. Setelah salat Isya, mereka melanjutkan dengan salat tarawih berjamaah. Rangkaian salat yang panjang namun menenangkan, memberikan kehangatan spiritual yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Usai salat tarawih, mereka kembali ke pelataran, menyelesaikan beberapa lembar lagi sebelum akhirnya menutup dengan doa. Malam semakin larut, tetapi hati mereka terasa lebih ringan, seolah-olah setiap huruf yang dibaca menjadi cahaya dalam perjalanan hidup mereka.
Fadhil menatap langit yang kini gelap, bertabur bintang. Ia tersenyum. Ramadan adalah waktu untuk kembali, bukan hanya kepada keluarga, tetapi juga kepada Allah. Dan di pelataran masjid ini, ia merasa pulang, benar-benar pulang.