Ayat sifat dan dinamika tafsir
Pembahasan mengenai sifat-sifat Allah merupakan tema yang selalu mengundang perhatian dalam khazanah tafsir klasik. Di antara bagian yang sering memunculkan diskusi panjang adalah ayat-ayat mutasyabihat, terutama yang berkaitan dengan hubungan antara Allah an ‘Arsy.
Salah satu di antaranya terdapat dalam QS. Al A’raf 54, yang menegaskan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, “kemudian Dia istawa di atas ‘Arsy.” Frasa ini menjadi medan tafsir yang kaya, bukan hanya karena kompleksitas linguistiknya, tetapi juga karena ia bersinggungan langsung dengan isu-isu teologis seperti tanzih (pensucian Allah dari keserupaan) dan pemaknaan ayat-ayat sifat.
Ketika menelusuri tradisi tafsir klasik, dua tokoh penting muncul dengan pendekatan yang hamper kontras: al-Tha’labi dalam al-kasyf wa al-bayan, dan az-Zamakhsyari dalam al-kasyaf. Keduanya hadir dalam era tidak terlalu berjauhan, tetapi latar metodologi serta orientasi teologis yang melandasi karya mereka saling berbeda sehingga menghasilkan dua gaya penafsiran yang unik. Perbedaan ini bukan hanya variasi teknis, melainkan benar-benar menunjukkan cara pandang mereka terhadap bagaimana teks wahyu dipahami.
Cara Al Tha’labi memahami istawa’
Al-Tha’labi dikenal sebagai mufasir yang kaya dengan riwayat kisah, dan atsar sahabat. Karyanya begitu tebal dengan kutipan-kutipan yang menunjukkan upaya menjaga khazanah naratif Islam awal. Ketika sampai pada frasa “istawa ala al-‘arsh”, Al-Tha’labi menampilkan berbagai riwayat yang secara umum mengarahkan pembaca pada prinsip “menerima sebagaimana adanya” tanpa mencampuradukkan akal dengan sesuatu yang berada diluar jangkauan manusia.
Ia mengutip ungkapan yang masyhur dari Malik bin Anas bahwa al-istawa merupkan sesuatu yang dapat dipahami secara Bahasa, tetapi bagaimana caranya (al-kayf) tidak diketahui oleh manusia. Sikap inilah yang kemudian oleh para ulama tradisional diseut bi-la kayf, yakni menerima teks tanpa memberikan gambaran fisikal tentang Allah.
Al-Tha’labi tidak melakukan takwil secara eksplisit. Ia tidak mencoba memaknai istawa sebagai sesuatu yang metaforis seperti “menguasai’ atau “menundukkan”. Namun pada saat yang sama, ia juga tidak memberikan ruang bagi pemaknaan antropomorfis yang menanyakan Allah dengan makhluk. Dalam penyajiannya, terlihat jelas bahwa ia memilih untuk menahan diri dan menjaga kesucian sifat Allah dengan tidak menyematkan bentuk makna yang mengarah pada penyerupaan.
Meski demikian Al Tha’labi memberi isyarat bahwa inti dari ayat tersebut bukan pada bentuk “bersemayam” yang dipahami secara fisikal, tetapi pada penegasan keagungan Allah sebagai penguasa semesta.
Penempatan istawa setelah penciptaan alam semesta menjadi tanda kemahakuasaan Allah mengatur segala sesuatu. Dengan cara inilah al-tha’labi menghadirkan keseimbangan antara menghormati riwayat, menjaga tekstualitas ayat, dan tetap mempertahankan tanzih.
Pendekatan Az Zamakhsyari
Sementara itu, Az Zamakhsyari hadir dengan pendekatan yang berbeda. Sebagai mufasir yang berpijak pada teologi Muktazilah, ia memandang bahwa teks Al-Qur’an, khususnya ayat-ayat mutasyabihat, tidak dapat dibiarkan tanpa penjelasan yang rasional.
Baginya, Bahasa Al Qur’an harus dipahami melalui perangkat linguistik dan retorika, serta selaras dengan prinsip teologis bahwa Allah tidak mungkin memiliki sifat yang menyerupai makhluk. Oleh karena itu, ketika membahas frasa “istawa ‘ala al-arsh”, Az Zamakhsyari menegaskan bahwa istawa bukanlah “bersemayam” secara fisik, melainkan “menguasai” dan “menundukkan” atau yang biasa ia sebut istawla ‘alayh wa qahara.
Penekanan ini tidak muncul dari kekakuan teologi semata, tetapi dari dasar pemahaman bahasa Arab yang mengenal bentuk penggunaan metaforis seperti ungkapan “istawa fulanun ‘ala al-‘iraq” yang bermakna “ia telah menguasai wilayah Irak.”
Penafsiran Az Zamakhsyari bersifat argumentative dan retoris. Ia tidak hanya memberikan makna, tetapi juga menjelaskan mengapa makna literal tidak layak disematkan pada Allah. Bagi Az Zamakhsyari, memaknai istawa dengan pengertian bersemayam atau bertempat akan berimplikasi pada adanya ruang, arah, dan batas sesuatu yang tidak mungkin melekat pada Tuhan Yang Maha Suci dari segala keserupaan. Karena itu, takwil menjadi sarana logis untuk menghindari pemahaman yang keliru sekaligus memepertahankan prinsip tanzih yang dianutnya.
Titik temu, titik beda, dan relevansi bagi pembaca modern
Apabila dua tafsir ini dibandingkan, terlihat jelas bahwa keduanya memiliki titik temu sekaligus titik perbedaan yang signifikan. Kesamaannya terletak pada upaya menjaga kesucian sifat Allah. Baik al-Tha’labi maupun Az Zamakhsyari sama-sama menolak pemahaman literal yang mengarah pada tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk).
Keduanya juga sepakat bahwa ayat ini pada hakikatnya mengandung pesan tentang betapa besarnya otoritas dan kekuasaan Allah dalam mengatur alam semesta. Perbedaan mencolok muncul pada bagaimana mengartikulasikan sifat tersebut.
Al-Tha’labi memilih jalur tekstual -naratif, menjaga warisan riwayat, dan berhenti pada prinsip bi-la kayf. Sementara itu, Az Zamakhsyari menawarkan penjelasan yang lebih aktif, menakwilkan ayat secara jelas untuk menghindari kekeliruan dalam memahami sifat Allah.
Dengan demikian, kajian terhadap dua mufasir ini menunjukkan bahwa pemaknaan terhadap ayat sifat tidak semata-mata ditentukan oleh aspek lilnguistik, tetapi sangat dipengaruhi oleh kerangka teologis dan metodologis mufasir.
Keduanya membaca ayat yang sama, tetapi lensa yang mereka gunakan berbeda. Namun pada akhirnya, keduanya menyuarakan pesan serupa: bahwa allah adalah Dzat yang maha tinggi, Maha kuasa, dantidak terikat oleh ruang, arah, atau sifat-sifat fisikal.
Kajian semacam ini penting untuk memperkaya pemahaman umat terhadap keragaman tafsir dalam tradisi islam. Ia membuka ruang dialog antara pendekatan Riwayat dan pendekatan rasional, sekaligus menunjukkan bahwa perbedaan metode tidak selalu berarti pertentangan akidah, tetapi bagian dari dinamika intelektual yang membangun tradisi ilmiah islam.
Pembacaan Al Tha’labi dan Az Zamakhsyari terhadap ayat “tsumma istawa ‘ala al-arsh” bukan hanya menjadi wacana teologis, tetapi juga menjadi cermin bagaimana para mufasir berupaya menghadirkan pemahaman yang menjaga kemurnian ajaran tauhid sambal tetap memberikan penjelasan yang dapat diterima oleh akal dan tradisi.

