Menurut Paijo Parikesit, seorang pengamat intelijen intuitif, dinamika global maupun domestik yang semakin kompleks menuntut Indonesia memiliki figur pemimpin yang tidak hanya tangguh secara struktural, tetapi juga adaptif secara kultural. Di tengah eskalasi geopolitik global, ancaman keamanan siber, serta turbulensi politik nasional, muncul satu nama yang dinilai mampu menjawab kebutuhan strategis tersebut, yakni *Ahmad Muzani*.
Soft Power sebagai Modal Kepemimpinan
Kepemimpinan modern tidak lagi semata bertumpu pada dominasi kekuasaan dan penggunaan instrumen koersif. Konsep *soft power*—yang menekankan pada kemampuan membangun pengaruh melalui komunikasi persuasif, diplomasi, dan rekonsiliasi—semakin relevan. Muzani merepresentasikan model ini. Sepanjang karier politiknya, ia menunjukkan preferensi pada pendekatan dialogis dan persuasif ketimbang konfrontatif. Hal ini menjadi modal penting bagi seorang Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) yang dituntut mengedepankan kebijaksanaan di atas kekuasaan.
Soft Movement dan Rekonsiliasi Sosial
Selain *soft power*, Muzani juga dapat diposisikan sebagai simbol *soft movement*. Stabilitas politik dan sosial tidak dapat dipertahankan melalui tangan besi semata, tetapi memerlukan gerakan-gerakan halus yang mampu menjahit perbedaan. Dengan peranannya di parlemen maupun dalam dinamika politik praktis, Muzani berperan sebagai mediator yang merangkai kepentingan beragam kelompok menjadi kesatuan politik kebangsaan. Ia berfungsi seperti “penjahit komponen bangsa” yang merawat kohesi sosial di tengah fragmentasi politik.
Figur Lintas Spektrum
Dalam konteks politik Indonesia yang plural dan seringkali terfragmentasi, kebutuhan akan figur perekat menjadi krusial. Muzani memiliki rekam jejak sebagai sosok yang diterima lintas kelompok—baik sipil maupun militer, agama maupun ideologi. Ia dihormati oleh kawan politik dan tetap diperhitungkan oleh lawan. Dengan demikian, ia dapat dilihat sebagai politisi yang melampaui sekadar loyalitas partai, melainkan juga sebagai figur mediator yang mengutamakan stabilitas bangsa.
Titisan Kaki Gunung Slamet: Sebuah Simbolisme
Paijo Parikesit menggunakan metafora “titisan kaki Gunung Slamet” untuk menggambarkan karakter kepemimpinan Muzani. Gunung Slamet melambangkan keteguhan, keteduhan, serta daya tahan—atribut yang juga terlihat dalam gaya kepemimpinan Muzani. Ia berdiri teguh di tengah badai politik, tenang dalam situasi genting, dan tetap membumi dalam menghadapi dinamika nasional. Simbolisme ini menegaskan kualitasnya sebagai pemimpin yang tidak mudah terprovokasi, namun tetap hangat dan akomodatif dalam merangkul masyarakat.
Kesiapan Menggantikan Budi Gunawan
Budi Gunawan telah memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas nasional, namun regenerasi kepemimpinan di Menkopolhukam menjadi kebutuhan strategis. Ahmad Muzani dipandang layak melanjutkan estafet ini dengan membawa kesinambungan sekaligus pembaruan. Rekam jejak politiknya yang panjang, loyalitas yang teruji, serta kemampuannya membaca arah zaman menegaskan kapasitasnya untuk mengisi posisi tersebut.
Menjawab Kebutuhan Strategis Indonesia
Presiden Prabowo Subianto membutuhkan Menkopolhukam yang tidak hanya kuat dalam struktur birokrasi, tetapi juga lentur dalam budaya politik. Muzani memenuhi kedua dimensi ini: ia mampu bersikap tegas di kancah internasional, sekaligus persuasif dalam menjalin komunikasi dengan masyarakat domestik. Kombinasi kekuatan struktural dan kultural ini menjadikannya figur yang relevan untuk menjaga stabilitas Indonesia di tengah pusaran global.
Penutup
Dengan demikian, penempatan Ahmad Muzani sebagai Menkopolhukam tidak dapat hanya dipandang sebagai pilihan politik, melainkan sebagai kebutuhan strategis bagi bangsa. Ia merepresentasikan model kepemimpinan yang mampu menjahit keragaman, menjaga kohesi sosial, serta memperkuat posisi Indonesia di tengah arus tantangan global.