Membincang sosok perempuan pinggiran kota (pelosok-pedesaan), akan membawa kita pada ruang-ruang dilematis dan berliku-liku dengan penuh ketegangan serta kekecewaan yang cukup dahsyat. Meskipun zaman telah berubah namun masih ada yang sama, yakni bahwa perempuan itu lemah, status sosialnya dibawa laki-laki, sebagai pelengkap hidup, dll.
Pembicaraan seputar karier dan pendidikan bagi perempuan-perempuan pelosok-pedesaan merupakan sesuatu hal yang dianggap tabu. Jangankan berkarier, keinginan untuk melanjutkan studi pendidikan ke tingkat selanjutnya – SMP, SMA dan hingga ke Perguruan Tinggi – teramat susah bahkan nyaris tidak ada. Apa yang dicita-citakan perempuan desa – memiliki karier dan pendidikan mapan – tak lebih dari sekadar imajinasi dan mimpi belaka.
Ironi ini seringkali ditopang dengan dalil yang, menurut saya tidak cukup memadai dan hanya alibi semata; sesukses dan setinggi apapun karier serta pendidikan yang dimiliki seorang perempuan, toh pada akhirnya ia akan tetap menjadi ibu rumah tangga – memasak (dapur), menyuci (sumur), dan menunaikan kewajiban sebagai suami-istri (kasur) – selain juga karena faktor ekonomi. Dan memang, demikian kodrat seorang perempuan.
Doktrin inilah yang seringkali para orang tua dan lingkungan sekitar tancapkan dalam benak anak-anak perempuannya, bahkan sejak usia dini. Tak pelak, jika cara berpikir demikian juga mereka tancapkan pada anak-anaknya dikemudian hari. Demikian seterusnya. Seolah-olah tengah menjadi warisan turun-temurun dari nenek-moyang yang tak boleh dihilangkan apalagi diubah.
Kenyataan demikian menggambarkan semacam pembunuhan massal dan dilakukan secara diam-diam. Mengapa demikian? Potensi yang ada dan dimiliki setiap manusia, khususnya seorang perempuan sebagai anugerah pemberian dari Tuhan mestinya dirawat dan dikembangkan, justru dikerangkeng dalam ‘ruang bawah tanah penuh jeruji’ yang tidak seorang pun boleh melihat apalagi membukanya.
Adalah wajar jika banyak perempuan-perempuan pelosok-pedesaan memiliki mental dan karakter cengeng, mudah putus asa, dan pasrah terhadap kenyataan hidup yang mereka alami. Bahkan, mereka menganggap bahwa keberadaannya tak lebih dari sekadar pelengkap. Eksistensinya hanya akan diakui apabila tenaganya dibutuhkan. Itulah potret kehidupan perempuan pelosok-pedesaan. Jangankan melanjutkan studi pendidikan ke perguruan tinggi, lulus SD pun sudah untuk bagi mereka.
Sekira anak perempuan desa ada yang melanjutkan studi pendidikannya hingga ke perguruan tinggi – itu hanya segelintir orang dan juga berlaku bagi yang ekonomi menengah ke atas. Walau begitu, obrolan negatif dari para tetangga dan lingkungan sekitar tak terhindarkan. Karena, bagi mereka, hal ihwal dianggap tidak lazim dan hanya sekedar menghabiskan uang semata (beban keluarga). Pada akhirnya ia pun akan tetap menjadi ibu rumah tangga.
Berbanding terbalik 180° antara dunia pendidikan dengan persoalan rumah tangga. Jika urusan pendidikan tidak memiliki ruang memadai di tengah masyarakat pelosok-pedesaan, maka masalah rumah tangga (pernikahan) disambut euforia bahkan pelaksanaannya sangat megah. Dalam benak mereka seolah-olah dunia pendidikan statusnya lebih rendah ketimbang persoalan rumah tangga. Sehingga, dengan penuh percaya diri mengatakan kepada orang lain bahwa anak saya sebentar lagi akan dipersunting orang. Ironis bukan keadaan perempuan desa.
Yang lebih tragis, tidak jarang anak perempuan-perempuan desa dinikahkan orang tuanya dalam kondisi status pendidikan masih belum lulus SD. Alih-alih menyekolahkan, justru pernikahanlah prioritas utama. Menurutnya, itulah jalan paling terbaik. Selain untuk mengurangi beban dan tanggung jawab keluarga dalam hal perekonomian, juga agar anak belajar mandiri dan bertanggungjawab. Akibatnya, banyak terjadi perceraian karena karakter dan mental masih labil serta pengetahuan yang minim dimiliki mereka.
Memang, kalau boleh jujur diakui atau tidak setinggi apapun status pendidikan seseorang tak bisa menjamin ia menjadi orang yang sukses dan kaya. Sebaliknya, pendidikan hanya akan menghabiskan uang apalagi jika menempuh pendidikan tidak serius. Namun, tidak sedikit pula orang yang sukses dan kaya dengan harta melimpah ruah – tanpa mengenyam pendidikan – mengalami kegelisahan, kehampaan, dan anomali dalam kehidupannya.
Segala hal yang telah dimiliki seakan tak memberi kepuasan pada diri dan jiwanya. Ketidakmampuan mengolah diri dikarenakan pengetahuan yang minim bahkan tidak sama sekali, sesuatu hal yang tak terhindarkan. Tidaklah mengherankan, jika perilaku-perilaku menyimpang seringkali mereka lakukan seperti perjudian, penipuan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), mengganggu kehidupan orang lain, dan lain sebagainya.
Ini berarti, meskipun pendidikan tidak menjamin kehidupan yang mapan – sebagaimana kita inginkan – tetapi pendidikan bisa membuat seseorang memiliki kepribadian mulia, berakhlak, mampu mengolah diri untuk menyeimbangkan antara ucapan dan tindakan. Dengan pendidikan, tentu saja, laku hidupnya akan menunjukkan sebagai seorang berpendidikan. Walaupun ada sebagian yang menyimpang, itu hanya segelintir orang tidak bertanggungjawab dan menyalahi kodrat seorang terpelajar.
Jadi, jelaslah bahwa di tengah kondisi yang memprihatinkan masa depan perempuan-perempuan pelosok-pedesaan semakin suram dan gelap. Tradisi patriarki ini seakan mendarah daging dalam diri masyarakat pelosok-pedesaan. Bahkan, mereka menganggap sebagai takdir Tuhan bagi seorang perempuan yang tak perlu untuk diubah apalagi dihilangkan. Wallahu A’lam