Malam itu, suasana bulan Ramadan telah memasuki hari ketiga. Udara dingin menyelimuti kota kecil di pinggiran desa, di mana lampu-lampu temaram bersinar redup di antara rumah-rumah sederhana. Dari kejauhan, suara lantunan ayat suci Al-Qur’an dari masjid-masjid terdengar sayup, menciptakan kedamaian yang meresap hingga ke relung hati.
Di sudut jalan yang sepi, seorang lelaki tua bernama Pak Darman duduk di depan warung kecilnya yang telah lama tutup. Matanya yang sayu menatap jalanan yang lengang, berharap ada seseorang yang datang untuk berbagi cerita atau sekadar menanyakan kabar. Sejak istrinya meninggal beberapa tahun lalu, ia terbiasa menjalani Ramadan seorang diri. Namun, malam ini berbeda—persediaan makanannya hampir habis, dan ia hanya memiliki sepotong roti yang tersisa untuk sahur.
Sementara itu, di rumah kecil tak jauh dari sana, seorang bocah bernama Rafi tengah terjaga. Ia melihat ibunya sibuk menyiapkan sahur seadanya. Hanya ada nasi dengan sedikit lauk yang tersisa dari berbuka puasa tadi. Ibunya tampak berusaha menyembunyikan kekhawatiran, tetapi Rafi tahu betul bahwa makanan mereka semakin menipis. Dengan penuh kepolosan, ia bertanya, “Bu, apa besok kita masih bisa makan sahur?”
Ibunya tersenyum lembut dan mengelus kepala putranya. “InsyaAllah, Nak. Rezeki itu selalu datang dari arah yang tak disangka-sangka.”
Ketika waktu sahur semakin dekat, Rafi yang tak bisa tidur akhirnya keluar rumah dengan hati penuh harap. Ia berjalan perlahan di sepanjang jalan kecil hingga tiba di depan warung Pak Darman. Melihat sosok bocah kecil itu, Pak Darman tersenyum dan menyapanya.
“Kenapa belum tidur, Nak?” tanyanya lembut.
“Saya mencari sesuatu, Pak. Tapi saya tidak tahu apakah saya akan menemukannya,” jawab Rafi jujur.
Pak Darman terdiam sejenak, lalu tanpa berpikir panjang, ia mengambil sepotong roti satu-satunya yang ia simpan untuk sahur dan menyodorkannya kepada Rafi. “Ambillah, Nak. Ini mungkin bukan yang kau cari, tapi setidaknya bisa mengisi perutmu sebelum fajar.”
Mata Rafi berbinar, tetapi ia ragu menerima pemberian itu. “Tapi, Pak… Bapak sendiri nanti bagaimana?”
Pak Darman tersenyum dan mengusap kepala bocah itu. “Jangan khawatirkan saya. Allah selalu mencukupi bagi siapa yang memberi.”
Dengan rasa haru, Rafi menerima roti itu dan segera pulang. Sesampainya di rumah, ia menyerahkan roti itu kepada ibunya. Sang ibu menatap putranya dengan mata berkaca-kaca, memeluknya erat, dan berbisik, “Semoga Allah membalas kebaikan orang yang telah berbagi ini.”
Saat azan Subuh berkumandang, Pak Darman duduk kembali di depan warungnya. Perutnya kosong, tetapi hatinya penuh. Di dalam lubuk jiwanya, ia yakin bahwa keikhlasan selalu memiliki tempat istimewa di sisi Tuhan. Tak lama kemudian, seorang pemuda datang menghampirinya dengan senyum ramah. “Pak, saya ingin membeli roti dan minuman untuk sahur, tapi warung Bapak tutup. Apa masih ada yang tersisa?”
Pak Darman menggeleng pelan. “Maaf, Nak, saya sudah tak punya apa-apa.”
Pemuda itu tersenyum. “Kalau begitu, bagaimana kalau saya yang memberi Bapak sesuatu? Saya baru saja kembali dari kota, dan saya punya beberapa makanan lebih. Saya ingin berbagi dengan Bapak.”
Pak Darman terkejut, tetapi akhirnya menerima pemberian itu dengan rasa syukur yang mendalam. Malam itu, ia kembali merasakan nikmatnya berbuka dengan sahur yang tak disangka-sangka.
Sepotong roti yang ia berikan kepada Rafi telah kembali kepadanya dalam bentuk lain—sebuah keajaiban Ramadan yang membuktikan bahwa rezeki selalu berputar bagi mereka yang ikhlas berbagi.