Penulis: Amelia Insanur Rohmah
Seiring berkembangnya waktu perkembangan pemikiran filosofis dipengaruhi oleh berbagai faktor yang melibatkan perubahan sosial, politik, budaya, dan ilmiah. Ide-ide filsafat Yunani yang masuk ke dalam pemikiran dunia Islam telah diakui oleh banyak pihak sebagai pendorong utama pesatnya perkembangan filsafat Islam.
Namun bagi Oliver Leaman, orientalis dari University of Kentucky, AS, ia berpendapat bahwa filsafat Islam hanya berasal dari terjemahan teks Yunani atau sekadar kutipan dari filsafat Aristoteles, sebagaimana ditegaskan Ernest Renan, atau Neo-Platonisme yang diungkapkan oleh Pierre Duhem, merupakan kesalahan serius.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, mempelajari atau mengikuti guru tidak serta merta berarti sekadar meniru. Ide dapat dieksplorasi oleh banyak orang dan dapat muncul dalam berbagai konteks berbeda. Seseorang mempunyai hak untuk meminjam ide-ide tertentu dari orang lain tanpa menghalangi orang tersebut untuk mengembangkan teori atau filosofinya sendiri.
Misalnya, Aristoteles jelas merupakan murid Plato, namun ia memiliki cara pandang yang berbeda dan unik. Hal serupa juga terjadi pada Baruch Spinoza, yang meskipun jelas-jelas mengikuti René Descartes, namun dikenal memiliki pandangan filosofis yang independen.
Hal serupa terjadi dalam sejarah filsafat Islam. Misalnya Al-Farabi dan Ibnu Rusyd yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani, namun mereka tetap mampu mengembangkan pandangan filsafatnya sendiri, berbeda dengan filsafat Yunani. Dengan cara ini, Anda terhindar dari plagiarisme dengan menata ulang teks dan menggunakan kata-kata Anda sendiri. Ingatlah untuk merujuk pada sumber aslinya (Oliver Leaman) jika Anda mengutip atau menggunakan ide spesifik dari sumber tersebut.
Kedua, sebagaimana dikemukakan oleh Karl A. Steenbrink, gagasan, konsep, atau pemikiran merupakan ekspresi dan hasil interaksi tokoh dengan kondisi budaya dan sosial yang melingkupinya. Artinya, gagasan atau pemikiran tidak dapat dipisahkan dari asal usul sosial, tradisi, dan konteks eksistensial individu yang mengembangkannya.
Pemikiran Yunani dan Islam muncul dari keyakinan, budaya, dan konteks sosial yang berbeda. Oleh karena itu, tidak tepat jika menyamakan dua gagasan yang berasal dari budaya berbeda artinya, menafsirkan tulisan-tulisan Islam tanpa mempertimbangkan unsur budaya dan sosial di dalamnya akan menghasilkan uraian yang tidak lengkap, karena seringkali terjadi transformasi besar-besaran ketika batasan-batasan budaya dilampaui.
Berdasarkan fakta tersebut, transmisi pemikiran Yunani ke dunia Islam sebenarnya merupakan proses yang panjang dan kompleks, seringkali dipengaruhi oleh keyakinan teologis dan aspek para pemikirnya, serta konteks budaya yang melingkupinya termasuk penggunaan istilah-istilah teknis yang tidak terlepas dari konteks dan permasalahan bahasa Arab dan ajaran Islam.
Oleh karena itu, tidak selalu mungkin mengharapkan rekonstruksi sumber-sumber ilmiah dan filosofis Yunani hanya dengan penerjemahan sederhana ke dalam bentuk asli Yunani Sebaliknya, kita perlu mempertimbangkan aktivitas di luar teks; Perluasan, pengembangan, dan modifikasi gagasan Yunani mulai dari Al-Kindi hingga Ibnu Rusyd, bahkan Suhrawardi dan seterusnya tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa mengacu pada konteks budaya yang mempengaruhi arah dan karakternya dari karya-karya ini.
Ketiga, sejarah menunjukkan bahwa pemikiran rasional sudah ada dan berkembang dalam tradisi keilmuan Islam sebelum munculnya pemikiran Yunani meskipun penerjemahan karya-karya Yunani mulai dilakukan pada masa pemerintahan Bani Umayyah, namun buku-buku filsafat Yunani baru mulai menarik perhatian pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun.
Pada masa ini, pemikiran rasional berkembang pesat di kalangan intelektual Arab-Muslim, khususnya di bidang fiqh (yurisprudensi) dan kalam (teologi). Secara teologi, doktrin Muktazilah yang secara logis dikembangkan oleh Wasil ibn Atha’ mendominasi pemikiran populer dan menjadi doktrin resmi negara Dalam bidang fikih, penggunaan penalaran rasional untuk menemukan hukum (istinbât) dengan istilah-istilah seperti istihsan, istislah, qiyas dan lain-lain menjadi populer.Tokoh-tokoh mazhab yang menggunakan pendekatan rasional seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ibnu Hanbal hidup sebelum munculnya pemikiran Yunani.
Semua ini menunjukkan bahwa pemikiran rasional sudah ada dan berkembang dalam tradisi ilmiah Islam sebelum pemikiran Yunani diterima. Faktanya, pemikiran rasional dalam teologi dan hukum menyiapkan dasar bagi penerimaan dan pengembangan logika dan filsafat Yunani dalam Islam dan bukan sebaliknya.
Jika demikian, dari manakah asal mula pemikiran rasional-filosofis dalam Islam? Sebagaimana ditegaskan oleh banyak cendekiawan, baik Muslim maupun non-Muslim, pemikiran filosofis rasional Islam tidak berasal dari pengaruh luar, namun tumbuh dan berkembang dari kitab sucinya sendiri teks suci dengan realitas kehidupan sehari-hari.
Pada masa awal perkembangan Islam, ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, segala permasalahan dapat diselesaikan dengan berkonsultasi secara langsung atau melalui musyawarah antar tokoh masyarakat. Namun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW dan seiring pesatnya perkembangan Islam, jumlah dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi semakin meningkat. Dalam konteks ini, solusinya terletak pada kembali pada ajaran Alquran dan berbagai penafsirannya.
Dalam upaya memahami ajaran Alqur’an, terdapat minimal tiga model kajian yang relevan secara filosofis. Pertama, penggunaan takwil, yang diperlukan untuk mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah yang sedang dibahas. Meskipun model ini tunduk pada pengawasan ketat dan terbatas, pelaksanaannya memerlukan pemikiran mendalam karena mencoba menggali makna yang lebih dalam dari teks.
Kedua, pemisahan antara istilah atau konsep dengan makna ganda (musytarak) dengan istilah yang hanya memiliki satu makna. Model ini lebih mendekati pendekatan filosofis. Ketiga, penggunaan qiyas (analogi) untuk mengatasi permasalahan yang tidak ada solusi langsungnya dalam teks Alquran.
Pada saat yang sama, dalam konteks permasalahan teologis, para cendekiawan Muslim dipaksa untuk merekonsiliasi pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan kompleks. Mereka kemudian membentuk pemikiran metafisik umum misalnya, mereka harus menyelaraskan hakikat kekuasaan dan rahmat Allah dengan pemahaman-Nya tentang perbuatan manusia dan pahala berdasarkan perbuatannya.
Mereka juga harus menjelaskan bahwa bahasa Alquran terkadang terkesan antropomorfik (menyerupai ciri-ciri manusia), sedangkan ajaran Islam menekankan bahwa Allah tidak seperti manusia baik wujud maupun sifatnya.
Semua faktor ini mendorong intelektual Muslim awal, terutama para teolog, untuk berpikir rasional dan filosofis. Metode pemecahan yang digunakan dalam menangani masalah-masalah teologis pada dasarnya serupa dengan pendekatan filosofis Yunani Yang membedakan keduanya adalah premis yang digunakan, bukan pada validitas dari tata cara penyusunan argumen. Pemikiran teologi Islam didasarkan pada teks suci, sedangkan filsafat Yunani didasarkan pada premis logis yang pasti dan baku. Filsafat Yunani baru diperkenalkan melalui program penerjemahan setelah sistem penalaran rasional dalam Islam sudah mapan, terutama dalam teologi dan yurisprudensi.
Pada abad ke-IV M, sekelompok cendekiawan di berbagai kota seperti Antioch, Haran, Edessa, dan Qinnesrin di wilayah Syiria Utara, serta Nisibis dan Ras’aina di dataran tinggi Irak, mulai mempelajari pemikiran Yunani. Ini adalah suatu kegiatan akademik yang berlangsung lancar dan tidak terpengaruh oleh penaklukan oleh tentara Muslim pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab (634-644 M).
Faktanya, bukti keberlanjutan akademik ini dapat ditemukan dalam kajian-kajian teologi di biara Qinissirin di Syiria dan karya filsafat oleh tokoh seperti Severus Sebokht (575-667 M) yang mengomentari Hermeneutica dan Rhetorica Aristoteles (384-322 SM), serta Jacob (w.708 M) yang menulis Enchiridion dan menerjemahkan buku Categories karya Aristoteles (384-322 SM) ke dalam bahasa Arab.
Pemikiran dan karya-karya filsafat Yunani kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Proses penerjemahan ini dimulai pada masa Kekhalifahan Ummah (661-750 M), khususnya pada masa Kekhalifahan Abd al-Malik (685-705 M). Namun pada masa itu penerjemahan lebih banyak berkaitan dengan urusan administratif, laporan, dan dokumen pemerintahan yang dilakukan menurut model administrasi Bizantium-Persia.
Setelah itu, buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu praktis seperti kedokteran, kimia, dan antropologi juga diterjemahkan.Namun karena pemerintah saat itu lebih fokus pada masalah politik dan ekonomi, perkembangan ilmu ini tidak berjalan mulus.
Proses penerjemahan pemikiran filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab dimulai secara sungguh-sungguh setelah masa pemerintahan Bani Abbas, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (811-833 M). Abed al-Jabiri, seorang pemikir Muslim kala itu, menilai hal tersebut merupakan tonggak penting pertemuan antara pemikiran rasional Yunani dan pemikiran keagamaan Arab-Islam, yang menyimpulkan penggabungan epistemologi burhani Yunani dengan epistemologi bayani Arab.
Untuk mendukung proyek penerjemahan ini, dibentuklah kelompok khusus yang melakukan perjalanan ke negara tetangga untuk mencari buku-buku ilmiah yang layak diterjemahkan dan dikembangkan.Banyak tokoh seperti Ja’far ibn Yahya al-Barmaki (767-803 M), Yuhana ibn Masawaih (777-857 M) dan Hunain ibn Ishaq (809-873 M) yang berperan penting dalam upaya penerjemahan ini.
Program penerjemahan ini dilakukan secara besar-besaran karena adanya kebutuhan mendesak untuk menjawab tantangan doktrin-doktrin heterodoks yang muncul dari berbagai wilayah sekitar Islam.
Para cendekiawan Muslim merasa perlu mencari pendekatan rasional yang kuat untuk menyelesaikan berbagai permasalahan intelektual kompleks yang belum pernah mereka temui sebelumnya.Dengan demikian, filsafat Islam tidak sekedar analitis tetapi juga menjadi bagian penting dalam agama Islam.
Editor: Adis Setiawan