Penulis: Kahila*
Pembicaraan tentang manusia sebagai objek kajian memang tak akan ada habisnya. Selalu ada pembicaraan menarik yang jika dikaji atau diteliti selalu melahirkan berbagia teori dan disiplin ilmu baru. Meskipun demikian, kajian mengenai manusia itu sendiri seakan tak menemukan titik akhir dan selalu penuh dengan misteri. Salah satu aspek yang menarik untuk dikaji ialah mengenai filsafat manusia.
Manusia sebagai objek kajian dalam ilmu filsafat telah menjadi perhatian sejak lama. Filsafat manusia membahas mengenai makna menjadi manusia dan menjadikan manusia sebagai objek studinya. Filsafat manusia tidak membatasi diri pada gejala empiris saja, sehingga semua bentuk dan jenis gejala tentang manusia selama bisa dipikirkan secara rasional bisa menjadi bahan kajian filsafat manusia. Salah satu aspek kajian yang menarik dan banyak dikaji oleh para filsuf ialah mengenai konsep kesempurnaan manusia.
Islam dengan Qur’annya telah menjelaskan mengenai kesempurnaan diri manusia. Seperti yang tertera dalam surat At-Tin; 4-6 yang artinya “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik rupa. Kemudian kami kembalikan dia ke derajat yang paling rendah, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih.”
Kesempurnaan tersebut membuat manusia menempati posisi tertinggi diantara makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Hal itu terlihat dari bagaimana Tuhan mempercayakan bumi ini dengan menjadikan manusia sebagai khalifah atau wakil-Nya.
Akan tetapi, jika yang dilakukan oleh manusia tersebut tak lain dan tak bukan hanyalah kerusakan maka ia akan berada di posisi terendah. Oleh karena itu, menurut isi Alquran untuk mencapai kesempurnaan dalam diri manusia ialah dengan selalu beriman dan beramal shalih.
Dalam literatur Islam, konsep mengenai kesempurnaan manusia diperkenalkan oleh Ibnu Arabi (w.638 H/1240 M) sekitar abad ke-7 H / 13 M. Ibnu Arabi menyebutnya dengan istilah al-Insan al-Kamil. Menurutnya manusia sempurna ialah lokus penampakan diri Tuhan, yaitu mereka yang dapat mencerminkan semua nama dan sifat Tuhan dalam keseimbangan dan keselarasan pada dirinya.
Al-Insan al-kamil ialah manusia yang sempurna dari dua segi, yaitu dari segi wujud dan pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujud ialah mereka yang merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan, mereka yang dapat mencerminkan semua nama dan sifat Tuhan dalam keseimbangan dan keselarasan pada dirinya. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah mereka yang telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi akan kesatuan esensinya terhadap Tuhan, atau biasa disebut dengan makrifat.
Ibnu Arabi memaparkan bahwa manusia adalah realitas batiniah dari kosmos (alam semesta), sementara kosmos adalah bentuk manifes manusia. Bagi kosmos, manusia adalah ruh, dan kosmos adalah bentuk lahiriahnya. Bentuk tidak mempunyai makna apapun tanpa ruh, sama halnya dengan kosmos yang tidak memiliki arti tanpa manusia.
Ibnu Arabi menyebut manusia sempurna sebagai pilar kosmos karena hubungan antara keduanya yang sangat melekat. Tanpa manusia, kosmos akan hancur, runtuh, mati dan tidak bermakna. Hal ini akan terjadi di hari akhir dimana manusia sempurna yang terakhir hidup terpisah dari dunia ini. Secara kosmologis dapat dijelaskan bahwa salah satu tanda berkurangnya jumlah manusia sempurna di muka bumi ini ialah dengan banyak terjadinya kerusakan dan kehancuran alam dan lingkungan sosial.
Manusia sempurna adalah alasan Tuhan menciptakan alam semesta atau dengan kata lain entitas yang dicari (al-ain al-maqsûdah). Dia menciptakan manusia menjadi eksis karena hanya manusia yang dapat mengetahui Dia dengan benar, sekalipun eksistensinya tergantung pada eksistensi utama kosmos. Setiap makhuk mengetahui Tuhan sesuai dengan gayanya sendiri, namun hanya manusia sempurna yang mengetahui Dia sebagai Tuhan dengan segala nama-Nya yang menyeluruh.
Proses manusia mengaktualisasikan bentuk dan nama-nama Tuhan seringkali disebut sebagai akhlak Tuhan. Ibnu Arabi menyebut bimbingan Tuhan yang menyatu dengan para nabi dengan sebutan timbangan syariah (al-Mizan al-Syar’i), yaitu peran kosmik dari para nabi dalam memberikan bimbingan pada manusia agar dapat membawa keyakinan, pemikiran dan amal mereka sesuai dengan nama-nama Tuhan.
Segala sesuatu dalam alam ini tunduk kepada manusia, karena manusia merupakan perpaduan antara realitas wujud, termasuk realitas alam baik yang tinggi maupun yang rendah. Ibnu Arabi menyebutkan bahwa manusia sempurna yaitu juga sebagai pemelihara dan pelestari alam, bukan hanya sebab bagi adanya alam. Dalam hal ini manusia sempurna memiliki kedudukan sebagai khalifah.
Mengambil akhlak Tuhan bukan berarti bertujuan untuk menyamakan derajat setengah dewa atau bahkan menyaingi Tuhan. Sebaliknya, hal ini justru mennyebabkan penurunan secara bertahap sehingga sifat-sifat insani berhenti berwujud atau hingga orang menjadi tiada. Sebagai bentuk Tuhan secara menyeluruh, bukan berarti manusia adalah Dia.
Selama mereka memanifestasikan sifat wujud, mereka adalah Dia dalam segi sifatnya dan sifat-sifat wujud tersebut bersemayam di dalam diri mereka. Sehingga, menurut Ibnu Arabi penjelajahan spiritual dimana seseorang membuang berbagai keterbatasan insani dengan cara ber-tajalli (memandang segala sesuatu sebagai penyingkapan diri Tuhan) kepada Tuhan disebut “Bukan Dia”. Kesempurnaan manusia ini bukan berarti akan sampai pada derajat ketuhanan, karena Tuhan tidak sama dengan siapa pun dan dengan apa pun.
Menurut Ibnu Arabi setiap manusia secara potensial memilki kemampuan untuk mencerminkan kesempurnaan Tuhan secara utuh pada dirinya. Namun, nyatatanya hanya al-insan al-kamil lah yang bisa merepresentasikan hal tersebut. Hal tersebut dapat terwujud jika seseorang tersebut mau berakhlak dengan akhlak Tuhan. hal ini dapat ditempuh melalui proses takhalluq atau tak jauh berbeda dengan tasawuf, yaitu dengan cara melatih rohani manusia melalui berbagai macam ibadah dan kontemplasi sesuai dengan ajaran islam.
Ibnu Arabi menjelaskan bahwa insan kamil sudah ada sejak zaman Nabi Adam a.s dan akan tetap ada hingga hari akhir nanti. Mereka ialah para nabi dan para wali pilihan Allah Swt. dan perwujudan paling sempurnanya terdapat pada diri Nabi Muhammad saw. Mereka mewarisi ilmu-ilmu pengetahuan dan akhlak mulia dan menempati kedudukan tertinggi dari seluruh situasi manusia.
Oleh karena itu, jika seseorang ingin mencapai tingkat manusia sempurna berdasarkan perspektif Ibnu Arabi maka yang harus ia lakukan adalah melalui takhalluq, yakni menerima atau mengambil nama-nama Allah yang telah ada pada diri manusia yang berbentuk potensional menjadi aktual. Takhalluq ini menurutnya telah dicontohkan dengan sempurna oleh Nabi Muhammad Saw.
*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Editor: Adis Setiawan