Kuliahalislam.Khalifah Al-Ma’mun lahir di kota Baghdad, 170 H/785 M-218 H/833 M. Dia adalah Khalifah ke-7 dari Daulah Abbasiyah. Nama lengkapnya adalah Abdullah Abu Abbas bin Al Rasyid Al Ma’mun (Abdullah al-Ma’mun). Al-Ma’mun merupakan gelar kekhalifahannya yang artinya adalah hamba Allah yang dipercaya. Gelar yang berbau keagamaan itu diberikan karena para Khalifah Daulah Abbasiyah menganggap diri mereka sebagai khalifah pengganti Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan sekaligus juga khalifah di bumi.
Kehidupan Al-Ma’mun
Khalifah Al Ma’mun lahir pada pertengahan bulan Rabiul awal pada malam Jumat tahun 170 H/785 M. Bapaknya bernama Harun ar-Raysid ( Khalifah Dinasti Abbasiyah kelima, 170-194 H/786-809 M). Ibunya bernama Marajil, keturunan bangsa Persia (Iran) yang meninggal sewaktu melahirkannya.
Al-Ma’mun mempunyai tiga saudara yakni al-Amin ( khalifah keenam, 194-198 H/809-813 M), Ibrahim dan al-Mu’tasim (khalifah kedelapan, 218-228 H/833-842 M). Masa kecilnya, al-Ma’mun sudah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Ia banyak belajar hadits dari bapaknya yaitu khalifah Harun ar-Rayid dan guru-gurunya bernama Hasyim, Abid bin Awwam, Yusuf bin Atiah dan lainnya. Di samping itu ia juga belajar sastra, fiqih, tata bahasa Arab dan filsafat.
Al-Ma’mun termasuk keturunan Bani Abbas yang cerdas, ramah, berpendirian kokoh, punya cita-cita tinggi, penyantun, berpengetahuan luas, pemberani, dan dermawan. Al-Ma’mun diangkat menjadi khalifah ke-7 sewaktu ia berumur 28 tahun dan memerintah selama 20 tahun. Masa pemerintahannya (198-218 H/813-833 M) dipandang sebagai puncak keemasan dan kejayaan Daulah Abbasiyah.
Perang SaudaraÂ
Pengangkatannya sebagai khalifah dilatar belakangi oleh perang saudara dengan pasukan Al-Amin. Sewaktu al-Amin menjabat sebagai khalifah di Baghdad, sedangkan Al-Ma’mun menjabat sebagai gubernur di Khurasan (Iran), ibukota Asia Tengah waktu itu. Al-Amin dipengaruhi oleh perdana menterinya Untuk membatalkan pewarisan kekhalifahan kepada Al-Ma’mun dan mengangkat anak kandungnya sendiri yaitu Musa Al-Amin sebagai khalifah penggantinya.
Al-Ma’mun mencium adanya rencana ini dan kemarahannya bangkit. Di pihak lain Al-Amin sadar akan perasaan saudaranya itu, maka ia mengutus utusan ke Khurasan untuk membawa Al-Ma’mun ke Baghdad. Utusan ini ditolak oleh Al-Ma’mun. Atas penolakan ini Al-Amin mengirimkan pasukan ke Khurasan. Mengetahui hal itu Al-Ma’mun juga mempersiapkan pasukan dan menyusul kekuatan Rayy (Teheran sekarang). Di sini terjadi pertempuran dan kekalahan di pihak Al-Amin.
Serangan Al-Amin kedua kalinya juga gagal karena terjadi selisih pendapat antara panglimanya. Al-Ma’mun mengepung Kota Baghdad selama satu tahun yang mengakibatkan Al-Amin meninggal dunia. Setelah itu naiklah Al-Ma’mun sebagai khalifah ke-7 Daulah Abbasiyah.
Sampai enam tahun berikutnya ( 198-204 H/ 813-819 M) Ia tetap berkedudukan di Khurasan, hingga kemudian ia pindah ke Baghdad. Maka selama waktu itu, dia lebih dipandang sebagai tokoh di Iran dibandingkan tokoh bangsa Arab.
Kebijakan ini diambil Al-Ma’mun dengan tujuan: Pertama, dia ingin mendinginkan perasaan dan reaksi penduduk ibu kota atas wafatnya saudaranya, Al-Amin. Kedua, ia ingin menjajaki kekuatan pendukung saudaranya itu dalam lingkungan keluarga Dinasti Abbasiyah. Ketiga, ia ingin menyelami pendirian sesungguhnya keluarga Dinasti Abbasiyah tentang dirinya karena sejak kecil ia lebih cenderung pada keluarga ibunya yang keturunan Persia daripada keluarga bapaknya yang keturunan Arab.
Pemerintahan Al-Ma’mun
Di lain pihak kebijakannya untuk tinggal bertahun-tahun di Khurasan adalah guna memberikan kesempatan kepada pendukung Al-Amin untuk bernapas lega dan secara perlahan-lahan memperlihatkan dirinya sebagai lawan terbuka. Dia juga dapat menyelami kemelut kemelut yang terjadi dan cara menghadapinya nanti setelah ia kembali ke ibukota.
Tetapi pertempuran berikutnya malah terjadi bukan di Irak atau Khurasan, tetapi di Suriah kemudian Kufah yang melawan keluarga Alawiyyin ( keturunan Ali Bin Abi Thalib) yang memisahkan diri dari Dinasti Abbasiyah. Semua itu dapat dipatahkan oleh pasukan Al-Ma’mun.
Ada beberapa kebijaksanaannya selama kekalifahannya yang menurut sejarawan sangat mempengaruhi perkembangan Islam pada masa-masa berikutnya. Dia memajukan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang disiplin ilmu. Untuk itu pada tahun 830 di Baghdad, Dia membangun Baitul Hikmah yang menjadi perpustakaan terbesar pada zamannya.
Lembaga Baitul Hikmah sesungguhnya telah dirintis sejak zaman khalifah Harun ar-Rasyid yang menterjemahkan buku-buku yang berasal dari Yunani ke dalam bahasa Arab di bawah pimpinan Hunain Bin Ishaq ( wafat 873), seorang dokter beragama Kristen Nestorian yang menguasai berbagai bahasa. Dua buah Tempat penelitian Observatorium juga ia bangun di Damaskus dan satunya lagi di Baghdad dekat Baitul Hikmah.
Kepala sejarawan menilai Al-Ma’mun sebagai Kaisar Agustusnya orang Arab ( pemerintahan kaisar Oktavianus Agustus merupakan puncak kebesaran Imperium Romawi tahun ke-14). Dia juga memahami betul bahwa para khalifah adalah pilihan-pilihan Allah dan hamba-hamba yang berguna untuk memajukan negara dan bangsa. Baghdad menjadi pusat semangat ilmiahnya yang khas dan merupakan sumber kejayaan Eropa pada masa berikutnya.
Kejayaan ini tidak terlepas dari kepemimpinan Al Ma’mun yang rasionalis dan memadukan filsafat Yunani dengan Islam. Pernah satu kali seorang lagi datang aliran Khawarij berkata kepadanya, : “Apa peganganmu sebagai khalifah?”. Al-Ma’mun menjawab : ” Al-Qur’an”. Dia bertanya lagi, apa bunyinya ?. Kemudian Al-Ma’mun menyebut firman Allah yang artinya :Â “Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum dan apa yang diturunkan Allah itulah orang-orang kafir (Q.S 5:44)”. Khawarij itu bertanya lagi, : ” Adakah engkau mempunyai ilmu pengetahuan ?”. Ia menjawab : ” Ada yaitu ijmak umat dan aku suka melakukan ijmak tersebut)”. Lalu Khawarij itu berkata : ” Sadaqata (engkau benar), Assalamualaikum ya Amirul Mukminin”.
Al-Ma’mun Dan Syiah
Khaligah Al-Ma’mun juga memberikan kelonggaran gerak bagi kaum Syiah walaupun Daulah Abbasiyah merupakan Sunni. Ini terbukti dari sebuah peristiwa pada tahun 201 H/817 M, tahun yang merupakan titik balik yang sangat mendasar pada jalan pikiran Al-Ma’mun.
Dia mengutus tokoh-tokoh Syiah menuju Madinah untuk mengundang Imam Ali ar-Rida, keturunan Imam Ali Bin Abi Thalib yang merupakan saudara sepupu sekaligus menantu Nabi. Kedatangan Imam ar-Rida di Khurasan disambut dengan penghormatan. Kemudian ia menikahkan Imam ar-Rida dengan putrinya bernama Umm al-Fazl. Secara tak diduga ia mengangkat Imam Ar-Rida sebagai penggantinya menjadi khalifah Daulah Abasiyyah setelah dia meninggal. Keputusannya ini diumumkan ke seluruh wilayah dunia Islam pada saat itu.
Sebagai tanda kesungguhannya, ia menukar lambang resmi Daulah Abbasiyah yang berwarna hitam dengan warna hijau yang merupakan lambang keluarga Alawiyyin. Dengan tindakannya itu akan terjadi pergeseran kekuasaan dari keluarga Daulah Abbasiyah yang Suni kepada keluarga Alawiyin yang Syiah secara sukarela dan damai. Imam Ali ar-Rida lebih dahulu meninggal dunia sebelum Khalifah Al-Ma’mun sehingga pergantian kekuasaan itu tidak terjadi.
Yang menjadi latar belakang kebijaksanaannya itu adalah lebih akrabnya Al-Ma’mun dengan keluarga ibunya daripada bapaknya. Selain itu saat masa muda ia sering melihat keluarga Dinasti Abbasiyah dan keluarga Alawiyyin selalu terjadi permusuhan padahal semuanya sama-sama keturunan Bani Hasyim. Dia ingin mendamaikan kembali Kedua keluarga ini sebagaimana keduanya menggulingkan daulah Bani Umayyah sebelum berdirinya Dinasti Abbasiyah.
Keinginannya untuk digantikan oleh Imam ar-Rida sebagai khalifah menguatkan keyakinan aliran Syiah Dua Belas bahwa Imam Ar-Rida menjadi imam kedelapan dari 12 Imam Syiah. Pada hakekatnya Al-Ma’mun mempunyai maksud baik dalam melaksanakan kebijaksanaan tersebut tetapi fanatisme keluarga yang berkembang sejak lahirnya Syiah tidak hilang dari corak berpikir dan cara berkuasa Syiah pada masa berikutnya. Kaum Syiah tak bisa melupakan perlakuan Bani Umayyah yang tidak memberi peluang kepada mereka untuk bergerak begitu juga perlakuan khalifah Dinasti Abbasiyah sebelum Al-Ma’mun.
Justru inilah yang akhirnya menggagalkan kebijaksanaan Al-Ma’mun untuk menciptakan kedamaian. Secara perlahan-lahan ide-ide yang mulai berkembang dan menguasai seluruh sistem pemerintahan. Kemudian terjadilah ketidaksenangan pihak keluarga Daulah Abbasiyah yang mengakibatkan timbulnya berbagai pemberontakan dan peperangan di kedua belah pihak. Pada waktu itu Al-Ma’mun dilanda kebingungan untuk mengangkat senjata karena dia takut akan terjadi peperangan seperti peperangannya dahulu dengan saudaranya Al-Amin.
Pada tahun 204 H/ 819 M, dia kembali ke Baghdad bersama para pengikutnya. Pada mulanya mereka masih memakai lambang warna hijau dan hal itu tidak menjadi perhatian masyarakat Baghdad. Namun lambat laun ia mengganti warna hijau diubah kembali menjadi warna hitam sebagai lambang Daulah Abbasiyah karena muncul ketidaksenangan keluarga Daulah Abbasiyah.
Al-Ma’mun membenahi ekonomi dan mengembangkan pertanian secara luas dengan teknik yang maju. Dia juga mengembangkan paham Muktazilah, aliran teologi yang rasional. Hal ini terjadi karena kebijaksanaannya untuk menyerap ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani.
Walaupun Pada masa itu terdapat ulama dari Syiah, Khawarij, dan Suni namun berbagai macam diskusi didominasi oleh kaum Muktazilah. Munculnya berbagai macam bid’ah, inilah yang diatasi oleh kaum Muktazilah.
Muktazilah dan Teragedi Minah
Akhirnya Al-Ma’mun menjadikan aliran Muktazilah sebagai mazhab pemerintahan Daulah Abbasiyah. Untuk itu, dia menjalankan tindakan Mihnah yaitu pemeriksaan keyakinan seseorang. Ia khawatir jangan-jangan di kalangan muslimin muncul penafsiran bahwa Al-Qur’an itu kalam Allah.
Pada mulanya dia tidak menjelaskan pendiriannya secara terbuka karena takut akan terjadi perbedaan sengit dengan ulama Sunni. Namun pada tahun 212 H/ 827 M, dia mengumumkan pendiriannya dengan condong paham Muktazilah di kalangan pejabat istana Daulah Abbasiyah.
Tokoh utama mu’tazilah pada waktu itu ialah Ahmad bin Abi Daud dan Sumamah bin al-Asyras, mendorong Al-Ma’mun untuk mengumumkan pendiriannya kepada umat secara resmi. Namun dia masih dicegah oleh Hakim Agung yaitu Yahya bin Aksum. Namun setelah Yahya bin Aksum wafat dan digantikan Ahmad bin Abi Daud sebagai Hakim Agung Daulah Abbasiyah, Al-Ma’mun mengumumkan bahwa pendiriannya secara resmi adalah Muktazilah.
Mihnah pertama-tama dilakukannya di kalangan pejabat kehakiman kemudian ulama, gubernur tetapi pemuka agama lain tidak diganggu. Isi Mihnah itu menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk bukan kalam Allah. Kalau Al-Qur’an itu kalam Allah itu berarti Al-Qur’an itu kadim, sedangkan dia diciptakan dan yang kadim tadi hanyalah Allah. Siapa yang menolak keyakinan ini maka dia dipecat dari jabatannya.
Pelaksanaan Mihnah diserahkannya kepada Gubernur Baghdad yaitu Ishaq bin Ibrahim. Pada mulanya Mihnah hanya berakibat pemecatan bagi yang menentang tetapi lama-kelamaan terjadi tindakan yang sangat keras. Di samping ada yang dipenjara juga ada yang dihukum mati. Hal ini menurutnya penting karena meyakini Al-Qur’an itu kalam Allah dan kadim sudah menjadi syirik dan harus diharapkan kepada mata pedang.
Tercatat Al-Ma’mun melakukan lima kali tindakan Mihnah. Dari sederetan ulama Fiqih yang ditindak akibat menghina terdapat Imam Ahmad bin Hambal yang menentang pendapat dan Muktazilah sehingga ia dibelenggu dan dipenjara. Sebelum dia meninggal dalam usia 48 tahun, Al-Ma’mun menunjuk saudaranya Al-Mu’tasim sebagai penggantinya yang menjadi khalifah ke-8 Daulah Abbasiyah, sebelum dia meninggal dunia ia menulis wasiat yang dibacakan oleh Hakim Agung berisi perintah untuk melanjutkan kebijaksanaan Mihnah tersebut.