Dalam Islam diyakini, bahwa pemaaf merupakan bagian dari sifat Allah sebagaimana di dalam al-Qur’an surah al-Hajj ayat 60, Allah SWT berfirman:
ذٰلِكَ ۚ وَمَنْ عَاقَبَ بِمِثْلِ مَاعُوْقِبَ بِهٖ ثُمَّ بُغِيَ عَلَيْهِ لَيَنْصُرَنَّهُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَعَفُوٌّ غَفُوْرٌ
Artinya: “Demikianlah dan barang siapa membalas seimbang dengan (kezaliman) penganiayaan yang pernah dia derita kemudian dia dizalimi (lagi), pasti Allah akan menolongnya. Sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.” (QS. Al-Hajj [22]: 60).
Bahkan, Nabi Muhammad SAW juga merupakan prototaip Islam yang mengajarkan untuk saling pemaaf. Manifestasi adab Nabi Muhammad SAW salah satunya pemaaf telah direkam dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَ مْرِ ۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
Artinya: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS. Ali Imran [3]: 159).
Karakter utama dari Nabi tidak hanya pemaaf, tetapi juga pribadi belas kasih (rahmah), sikap penuh kelembutan (lutf), bermusyawarah, dan serta tawakkal. Dalam pendekatan historis, ayat ini membicarakan tentang perdebatan sahabat Abu Bakar dan Umar ibn Khattab tentanh tawanan perang Badar.
Abu Bakar menyuarakan pendapat bahwa, mereka sebaiknya dikembalikan kepada keluarganya dengan syarat membayar tebusan. Namun, Umar justru berbeda. Ia berpendapat, sebaiknya mereka dibunuh karena ini merupakan perintah keluarganya. Akhinya, perdebatan ini membuat Nabi kesulitan dalam memutuskan. Hingga akhirnya turunlah ayat itu sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar RA.
Dari historis diatas memberikan informasi bahwa Nabi ketika menerima keputusan Abu Bakar merupakan jalan pemaaf. Kesalahan yang terjadi ketika perang, Nabi anggap sebagai masa lalu diberikan sanksi tanpa memerlukan hukum bunuh. Pada kasus ini, Umar tentu tidak salah dalam memberikan pendapat, karena itu bukanlah pandangan pribadi tanpa alasan.
Menurut Sahal al-Tsauri, ayat ini menjelaskan bagaimana dalam bersikap memaafkan kesalahan. Salah memaknainya sebagai tajawaz an zulaihim, yaitu dengan melupakan masalah yang telah lewat dengan cara memaafkan. Maksud kalimat ini memiliki korespondensial dengan trem sebelumnya. Yaitu, dengan melihat asbab al-nuzul, bahwa Nabi dihadang dengan kebingungan dalam memutuskan kedua pendapat bagaimana menangani kasus tawanan perang.
Ternyata, ayat ini mendukung sekali dengan pandapat Abu Bakar dengan cara bersikap lemah lembut sebagai bentuk rahmat dari Allah, dan kesalahan yang telah diperbuat oleh mereka dengan cara memaafkannya. Ia melanjutkan, apabila rahmat menyertaimu, maka haruslah bersimpati dengan lemah lembut.
Tetapi, jika kamu menyampaikannya dengan tindakan kasar, maka orang di sekelilingmu akan menjauh dan memisahkan diri. Memaafkan dengan cara menghapus dan melupakan perilaku jahat orang lain menjadi salah satu elemen penting dalam pemaafan.
Sedangkan, dalam bi umum al-lafz, ayat ini tidak hanya berlaku kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi juga berlaku bagi semua umat muslim yang wajib mengikuti karakter pemaaf Kanjeng Nabi. Mengkompromikan historis dab keumuman lafaz bisa mengantarkan satu paradigma maqasid.
Sangat jelas, sifat pemaaf merupakan karakter yang dicontohi langsung oleh Nabi Muhammad. Karakter baik pada diri Nabi Muhammad sebenarnya tidak ada hubungan dengan spritual agama. Karakter pemaaf telah dibentuk sebelum datangnya Islam, setelah datang syari’at Islam menambah kokoh karakter Nabi Muhammad.
Berbeda dengan manusia lainnya yang bukan orang pilihan seperti Nabi, karakter pemaaf tidak muncul begitu saja. Diperlukan banyak proses internalisasi dan pembiasaan. Tidak hanya pemaaf, karakter lainnya kemungkinan bisa terbentuk oleh pengaruh faktor-faktor lain yang secara intens berinteraksi dengannya, seperti keluarga, lingkungan sosial, dan agama.
Kesediaan untuk memaafkan bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, salah satu faktor yang mempengaruhi personality traits (karakter pribadi) yang sendiri memiliki dimensi-dimensi seperti agreeableness (kesesuaian), conscientiousness (kesadaran) dan emotional stability (stabilitas emosi). Menurut J. L. Smith, ketiga dimensi personality traits ini memiliki koherensi positif dengan religiusitas.
Memang, tidak bisa dipungkiri, pemaafan berhubungan erat dengan spritual agama. Semakin dipenuhi dengan spritual agama, maka semakin tinggi potensi pemaafan pada dirinya. Dengan demikian, secara tidak langsung religiusitas memiliki potensi untuk memunculkan pemaafan pada seseorang karena pada dasarnya setiap agama mengajarkan cinta dan kasih sayang yang mendorong sikap memaafkan.
Namun demikian, pemahaman ini bisa sebaliknya, bahwa religiusitas juga dapat membuat seseorang melakukan pembalasan. Hal tersebut memungkinkan religiusitas sebagai alasan seseorang untuk tidak memaafkan kesalahan orang lain.
Dalam lingkungan yang spritual religiusitas tinggi akan sangat mudah untuk mempraktekkan pemaafan. Sikap pemaafan dapat dijadikan suatu alternatif penyelesaian konflik dalam kelompok. Misalnya, didalam yurisprudensi Islam, pemaafan menjadi sikap pertimbangan dalam yurisprudensi pidana Islam salah satu mengenai qisas.
Dalam historis pra-Islam, kita tahu bahwa qisas menjadi media praktek untuk menyelesaikan tindakan kriminal. Namun, datangnya Islam memberikan respons terhadap qisas regulasi yang baru, yaitu dengan cara keadilan, kesetaraan, moralitas, dan pertanggung jawaban individu.
Paradigma qisas dalam al-Qur’an menekankan pada prinsip rehabilitatif, yaitu mereformasi moralitas masyarakat, khususnya pelaku tindak pembunuhan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya alternatif hukuman yang ditawarkan al-Qur’an, yaitu membayar diyat, memberi maaf, dan menyelesaikannya dengan perdamaian.
Tentu saja, alternatif hukuman ini bertujuan untuk menyelesaikan konflik dengan mengedepankan toleransi dan menghilangkan rasa dendam. Hukuman qisas bukan semata-mata untuk melakukan social control dengan bunuh dibalas bunuh, tetapi untuk social engineering. Adalah menjaga kelangsungan kehidupan manusia. Pengambilan sikap seperti itu justru bisa minimalisir konflik yang tidak berkesudahan. Wallahu a’lam bisshawaab.
*) Salman Akif Faylasuf. Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.