(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam) |
KULIAHALISLAM.COM – “What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet” merupakan penggalan dialog dalam drama Romeo dan Juliet karya William Shakespeare. Penggalan dialog tersebut kemudian menjadi tidak asing didengar dalam masyarakat Indonesia dengan terjemahan “Apalah arti sebuah nama?” Kalimat tanya tersebut memberi kesan seolah-olah bahwa nama tidak terlalu penting. Namun, sesungguhnya nama adalah sesuatu yang sangat penting sebab menyangkut identitas.
Sebagaimana dikutip oleh Bakhoh Jatmiko, penulis Yahudi Benjamin Rabbi Blech, Elaine Blech menyebutkan pentingnya sebuah nama melalui ungkapan “your name is your blessing”. Ungkapan tersebut menjelaskan filosofi Ibrani bahwa nama mewakili hakikat pemilik nama; nama adalah inti dari jiwa; nama adalah karakter, nasib dan misi yang di emban oleh pemilik nama.
Nama tidak hanya sebatas sebuah label saja, sehingga bisa dengan semau-maunya diganti kapan waktu. Nama bukanlah hal yang dipikirkan oleh mereka yang dimana apalah arti sebuah nama. Bagi mereka pihak yang menolak atau kurang setuju atas pergantian nama, nama harus berperan sebagai identitas yang menyatukan pada bagian masyarakat dan kepentingan tersebut. Tidak hanya indentitas tetapi lebih ke dalam yang menyentuhkan dengan kesadaran kolektifnya atau kebersamaan pada seluruh masyarakat, tentu khususnya pada masyarakat setempat.
Saat ini bagi seseorang, nama atau penamaan sangatlah penting, karena nama adalah doa, nama adalah sebuah harapan. Seseorang yang bernama Budiman tentunya diharapkan menjadi anak yang berbudi luhur oleh kedua orang tuanya. Begitu juga dengan Soleh, yang diharapkan kelak menjadi orang yang soleh. Seperti, dalam dunia bisnis dan perdagangan, nama juga berpengaruh untuk kemajuan suatu usaha. Nama pengusaha adalah merek, bisa dijadikan merek dagang atau merek jasa.
Banyak ahli yang mengatakan bahwa nama bukan hanya sekadar label yang melekat pada individu penyandang nama tersebut. Akan tetapi, nama dapat merujuk berbagai hal termasuk makna ekoleksikal (Lubis, 2016a). Cavallaro (2001) mengatakan bahwa nama adalah suatu produk masyarakat yang dapat mencerminkan masyarakat itu sendiri. Nama mengandung ide abstrak, seperti budaya, masyarakat, nilai, doa, dan harapan. Dalam sebuah nama, sering terdapat maksud tertentu serta terselip makna tersirat yang melatarbelakangi penamaan seseorang. Misalnya, seseorang yang membubuhi nama mereka dengan sebuah marga tertentu dapat diketahui dari mana ia berasal dari konseptual manusia (Lubis, 2016b).
Hal tersebut menunjukkan bahwa nama tidak sekadar menjadi ciri, penanda, label yang bersifat individu, tetapi juga dapat menjadi identitas suatu komunitas masyarakat yang berbudaya. Nama erat kaitannya dengan budaya. Nama dapat menjadi rujukan budaya seseorang (Pujieleksono, 2006). Nama yang melekat pada individu dapat menunjukkan kebudayaan individu tersebut. Nama dapat mencerminkan pengetahuan orang tuanya, asal daerah, harapan dan doa, stratifikasi sosial, agama, serta urutan lahir anak dapat menangkap pesan secara langsung tanpa interpretasi apa pun (Lubis, 2017).
Banyak ahli yang masih memperdebatkan perihal nama. Nama dinilai hanya sebuah referen, tetapi sebagian ahli berpendapat bahwa nama tidak hanya sebuah referen semata yang berfungsi mengartikan sebuah objek. Tidak ada hal khusus yang berkaitan dengan nama. Nama mengartikan objek, dan objek tersebut merupakan arti. Sementara itu, ahli lain menyatakan bahwa nama tidak hanya kata atau frasa yang dipakai untuk membedakan antara berbagai objek dan berpikir dalam tanda-tanda dan elemen dalam komunikasi untuk tanda maupun denotatumnya, (Wibowo & Lubis, 2022).
Allport (1937) mengartikan bahwa nama orang merupakan identitas individu yang menyimpan bukti bahwa nama tersebut berpengaruh dalam kehidupan. Secara fungsional, pemberian nama pada berbagai objek memang berfungsi agar penyebutan yang dilakukan menjadi lebih mudah. Nama memberikan sesuatu nilai, maka seseorang akan lebih mudah untuk menyebutkan benda, orang, tempat yang mengandung pesan, mengabarkan, dan memohon kepada Yang Maha Kuasa (Rahmawati et al., 2022).
Pembahasan
Nama sebagai sebuah elemen bahasa telah lama menjadi perdebatan bagi pengkaji bahasa dan filsuf bahasa. Pertanyaan pokoknya adalah apakah nama-nama diri memiliki makna ataukah hanya sekedar sebagai fitur pembeda entitas yang menggunakannya. John Searle (1958), seorang yang terkemuka dalam disiplin linguistik dan filsafat bahasa asal Amerika menulis dalam sebuah jurnal. Ia mengawali artikelnya dengan mengatakan Do proper name have a sense? (Apakah nama memiliki makna?). Sebuah pertanyaan yang langsung masuk ke dalam pokok persoalannya. Ungkapan tersohor pujangga Inggris, William Shakespeare, what’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet (Apalah arti sebuah nama?).
Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia akan tetap berbau wangi). Meskipun tidak dalam konteks khusus berdialog dengan Searle, tampak memberikan sebuah jawaban atas pertanyaan tersebut. Nama tidaklah memiliki makna. Nama tak berhubungan dengan esensi sesuatu yang dinamai.
Pandangan tersebut sejalan dengan pendapat John Stuart Mills (1983: 74), seorang filsuf asal Inggris yang mengatakan bahwa nama tidak memberi makna apapun kecuali hanya untuk merujuk (to refer) atau menunjuk pada apa atau siapa yang menggunakan nama tersebut. Dia memberi contoh bahwa sebuah nama kota pelabuhan Dartmouth di Inggris, sebuah nama tempat yang posisinya ibarat di mulut kota Dart. Suatu saat jika terjadi pergeseran lokasi sehingga struktur geografi berubah, maka kota tersebut tetap akan menggunakan nama yang sama.
Pandangan yang melihat nama tidak memiliki arti kecuali merujuk pada pengguna nama secara tidak langsung hendak mengatakan nama itu tidak penting. Seperti contoh bahwa rose jikapun diganti dengan yang lain tak mengubah harum bau bunga mawar.
Nama dalam Praktek Budaya
Manusia menjadi bagian dari dunianya saat pertama kali ia dinamai. Nama bukan hanya diberikan untuk membedakan dengan orang lain seperti yang diteorikan dalam ilmu linguistik tapi nama memberikan sebuah eksistensi. Saat seorang bayi pertama kali dinamai, pada saat itulah proses sosialisasi dan inklusi si bayi ke dalam kelompok dan masyarakat yang lebih luas. Menurut Richard Alford (1988; 29) seorang etnolinguis, paling tidak ada lima hal yang terkait dengan penamaan: (1) Apa signifikansi bagi masyarakat saat menamai seorang anak,(2) Kapan penamaan pertama kali dilakukan, (3) Siapa yang berhak memilih nama, (4) Apa preferensi dan makna nama yang digunakan, (5) Apakah penamaan disertai dengan ritual tertentu.
Penelitian etnografinya menunjukkan bahwa sekitar 60% masyarakat memberi nama kepada seorang bayi antara hari kelahiran hingga hari kesembilan setelahnya. Meskipun demikian, terdapat masyarakat yang menunda memberikan nama kepada anak-anak mereka hingga hari ke 100 pasca kelahiran bahkan menunda hingga kurun waktu setahun karena alasan supranatural. Seorang anak yang telah memiliki nama diyakini dapat dengan mudah diganggu oleh roh-roh jahat, sebuah pandangan yang memperlihatkan sebuah konsep bahwa nama bukan sekedar sebagai pembeda individu tetapi merupakan hal yang menyatu dengan diri si pengguna nama.
Hal tersebut bisa dibayangkan pada praktek perdukunan yang memantrai seseorang dengan menyebutkan namanya, hingga orang yang dimaksudkan terkena pengaruh dari sihir. Hubungan antara nama dan diri si pengguna tampak terlihat seperti hubungan foto seseorang dan dirinya. Ada satu hubungan kemelekatan yang bersifat eksistensial bukan sekedar hubungan pembeda dan artifisial.
Seseorang yang memberi nama dalam masyarakat menunjukkan sebuah kuasa, paling tidak terhadap yang dinamai. Keluarga terdekat si anak paling sering merupakan sumber otoritatif pemberi nama. Tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama maupun orang yang dianggap memiliki kemampuan tertentu dan kearifan dalam masyarakat paling sering didaulat untuk menamai. Sebuah suku di Afrika Timur, suku Pawnee dan suku Masai memiliki tradisi unik dalam hal pemberian nama. Si ibu memberi nama kepada si anak sesaat setelah kelahiran. Beberapa bulan kemudian, saat si anak mulai belajar berjalan, si ayah akan memberi nama yang lain. Ketika si anak mulai bertumbuh, si ibu kembali memberi nama yang berbeda, sehingga seorang anak memiliki tiga nama di masa kecil mereka.
Terdapat satu fenomena pemberian nama yang berbeda seiring pertambahan usia dan perubahan status sosial. Perubahan fase dalam kehidupan yang didalamnya diikuti dengan perubahan nama merepresentasikan makna dan identitas yang berbeda-beda. Secara umum, masyarakat membedakan nama kecil (nick name) dan nama diri. Nama kecil biasanya diberikan spontan berdasarkan karakter tertentu seseorang di masa kecil. Sementara itu nama diri biasanya terkait dengan identitas seseorang ketika berurusan dengan urusan formal.
Tidak hanya dalam hal itu saja, pada beberapa kelompok masyarakat, pasca pernikahan, setelah memiliki anak, cucu bahkan ketika setelah meninggal dunia pun terjadi perubahan nama. Perubahan-perubahan tersebut menunjukkan terjadinya perubahan identitas yang disebabkan perubahan cara pandang mengenai diri.
Pada penelitiannya di Bali, Geertz (1964) misalnya menemukan fenomena teknonim dimana sesorang disapa dengan menggunakan nama anaknya, misalnya Bapak si A atau Kakek si A. Seseorang tidak disebut dengan namanya, melainkan dengan nama anak-cucunya. Selain sebagai ekspresi penghormatan, teknonim di Bali yang tersusun atas empat generasi merupakan sebuah cara untuk memberi batas hubungan kekeluargaan. Ritual tidak lagi dilakukan untuk keluarga setelah lapis ke empat karena ada anggapan sudah putus hubungan dengan mereka yang masih hidup.
Fenomena teknonim yang merupakan penghindaran penyebutan nama diri (name avoidance) terkait juga dengan relasi kuasa dalam masyarakat (power assymetry). Rakyat biasa biasanya menghindari menyebut dan memanggil seorang bangsawan dengan nama mereka. Demikian pula orang yang usianya lebih tua tidak boleh dipanggil langsung dengan nama mereka. Fenomena tersebut eksis di banyak kelompok masyarakat. Fenomena tersebut secara sosial dimaksudkan untuk menjaga jarak sosial sehingga hierarki tetap terpelihara.
Secara sosiologis dan pragmatis, nama yang diberikan kepada seseorang berfungsi untuk membedakannya dengan orang lain. Namun tentu saja bukan hanya terbatas pada fungsi untuk membedakan individu, dibalik penamaan sering muncul fungsi lain. Sebut saja misalnya nama yang menggunakan pola kekerabatan (legitimate parenthood-kin group) dapat merepresentasikan sebuah hierarki dan peran-peran sosia budaya tertentu.
Kesimpulan
Dengan demikian, pada akhirnya arti dari nama atau penamaan adalah sesuatu yang netral namun manusialah yang menentukan makna dari nama-nama tersebut. Manusia-manusia memberikan nama kepada sesuatu (manusia, bisnis, lembaga, dsb) berarti memiliki harapan bahwa manusia tersebut harus hidup, proses berjalan dan berkarya manfaat dalam kehidupannya. Manusia-manusia akan hampa kehilangan makna, jika menjalani hidupnya tidak sesuai nama dan perilakunya. Nama itu bagian dari semangat setiap yang melekat dalam diri manusia. Manusia yang baik, kuat, bermanfaat adalah manusia yang terinspirasi dari nama, proses, perbuatan dan karya manfaat yang dikontribusikan dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara.