(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam) |
Hari raya Idul Fitri memiliki nilai sosial yaitu berkumpulnya sanak saudara sambil bersilaturahim terhadap lingkungan sekitar, serta memiliki nilai ekonomis, yaitu membeli baju baru, dan perlengkapan untuk menyambut dan memeriahkan hari raya ini. Perayaan hari raya Idul Fitri yang menjadi tradisi umat Islam dilaksanakan dalam kurun waktu setahun sekali setelah melaksanakan puasa Ramadhan. Akan tetapi untuk menempuh perayaan tersebut, umat Islam terlebih dahulu menjalankan ibadah puasa sesuai rukun dan syarat yang telah ditetapkan dengan penuh keikhlasan maka ia telah terbebas dari tanggungannya serta tidak ada orang lain yang mempunyai alasan untuk menghukumnya.
Perayaan keagamaan memang selalu menjadi moment yang sangat di nanti-nanti oleh umat di masing-masing agama tersebut. Perayaan keagamaan tersebut di sambut sangat antusias oleh seluruh manusia, tidak terkecuali Indonesia. Nuansa penyambutan hari raya besar umat Islam yakni Idul Fitri sangat terasa di Indonesia, dimana pada hari raya ini semua keluarga besar berkumpul dan menjalin silaturahmi kembali, tradisi balik kampung atau mudik sering sekali menjadi kebiasaan keluarga yang jauh kembali ke kampung halaman. Fenomena mudik ini memiliki cerita tersendiri. Tidak hanya mudik, ada satu lagi Fenomena dihari raya ini yaitu membagi-bagikan THR atau Tunjangan Hari Raya, yaitu amplop-amplop yang berisikan uang lalu dibagikan kepada saudara-saudara lainnya.
Hari raya Idul Fitri juga membuat peningkatan ekonomi khususnya di masyarakat yang berjualan di pasar. Fenomena yang terjadi yaitu, membeli baju baru adalah salah satu kebiasaan untuk menyambut Idul Fitri atau yang sering sekali disebut dengan lebaran, tidak hanya membeli baju, di pasar juga banyak menjual kue-kue kering, ketupat dan hal lainnya yang bisa dijadikan makanan untuk tamu yang datang bersilaturahmi pada hari itu.
Asal Mula Idul Fitri
Ada sebuah riwayat yang menceritakan tentang asal mula terjadinya Hari Raya Idul Fitri disyari’atkan pada tahun pertama bulan Hijriyah, namun hari dilaksanakan pada tahun kedua Hijriyah. Pada masa Rasulullah SAW, di sebuah kota yang terletak di Madinah ada dua hari yang didalamnya terdapat kaum-kaum Yasyrib yang menggunakan dua hari tersebut dengan berpesta-pesta dan bersenang-senang semata, yang terkesan lebih berfoya-foya. Kedua hari tersebut dinamakan hari An-Nairuz dan hari Al-Muhrajan.
Ketika hal tersebut menjadi sebuah tradisi dan budaya kaum Yatsrib, sampailah kabar tersebut pada Rasulullah SAW. Sehingga Rasulullah ingin mencari tahu, bahwa apa yang sedang mereka lakukan dengan kedua hari tersebut. Kemudian orang-orang Madinah pun menjawab: “Wahai Rasul pada hari ini kami sedang merayakan pesta untuk kesenangan dan kepuasan kita dan kita akan menjadikan hari ini menjadi sebuah tradisi kita karena hari ini sudah ada sejak zaman kaum Jahiliyah”.
Mendengar hal tersebut Rasulullah kaget dan tersentak hatinya untuk menyuruh mereka berhenti melakukan hal yang tidak bermanfaat. Sehingga kemudian Rasulullah berkata kepada kaum Yatsrib tersebut, kalian harus tahu bahwa sesungguhnya Allah menggantikan kedua hari tersebut dengan hari yang lebih baik dari pada sekedar berpesta-pesta dan berfoya-foya saja yang hanya akan menjadikan kalian umat yang bodoh yang akan menggunakan waktu dan harta kalian dengan Mubazir atau sia-sia. Sungguh Allah SWT telah menggantikan kedua hari tersebut dengan Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha, yang penuh dengan makna dan hikmah-hikmahnya. “Ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata, “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermainmain. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr)”(HR.An Nasai no. 1556 dan Ahmad 3: 178). Jadi, sejarah Idul Fitri tersebut merupakan perubahan dari yang tidak memiliki manfaat yang baik sampai akhirnya menjadi bagian ibadah dari umat Islam yang memiliki keberkahan.
Merayakan Kemenangan
Idul Fitri adalah hari pertama setelah berakhirnya Ramadhan. Hari kemenangan, karena berhasil menaklukan hawa nafsu; hari kembali suci, karena membersihkan diri dan Allah mengampuni dosa-dosa muslim yang berpuasa.
Idul Fitri adalah hari raya kemenangan umat Islam karena telah melakukan ibadah selama bulan suci Ramadhan, kegiatan yang dilakukan selama bulan Ramadhan adalah berpuasa dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Idul Fitri disebut sebagai hari kemenangan umat islam karena dasar kata Idul Fitri itu sendiri adalah kembali ke fitrah, dan dapat dilihat dari kata “minal aidin wal faizin” yang artinya semoga kita adalah orang-orang yang kembali kepada kemenangan.
Hari raya idul fithri merupakan puncak dari seluruh rangkaian proses ibadah selama bulan Ramadhan. Idul Fitri disebut sebut sebagai ‘Hari Kemenangan’, menurut Zainul Alim (2012) hari raya Idul Fitri dan kemerdekaan Indonesia mempunyai falsafah yang sama yaitu simbol kemerdekaan dan hari kemenangan. Mengapa Idul Fitri disebut-sebut sebagai ‘Hari Kemenangan’?. Pertama, dari kata idul fithri itu sendiri yang berarti kembali ke fitrah, yakni ‘asal kejadian’, atau ‘kesucian’, atau ‘agama yang benar’. Maka setiap orang yang merayakan idul fitri dianggap sebagai cara seseorang untuk kembali kepada ajaran yang benar, sehingga dia bisa memperoleh kemenangan. Kedua, dari kata ‘minal ‘aidin wal faizin’ yang berarti ‘semoga kita termasuk orang-orang yang kembali memperoleh kemenangan’. Karena kata minal aidin wal faizin adalah ucapan yang lumrah diucapkan. Menurut para ahli, kata al-faizin diambil dari kata fawz, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an, yang berarti ‘keberuntungan’ atau ‘kemenangan’.
Kemenangan Kemanusiaan
Momen perayaan Idul Fitri patutlah dijadikan kesempatan guna merengkuh kemenangan bagi seluruh umat Islam. Kemenangan itu baru kita rasakan, setelah melaksanakan bulan puasa dengan penuh ketulusan dan mampu mengendalikan hawa nafsu dari berbagai ujian yang datang. Seluruh umat Islam di jagat raya ini melaksanakan perayaan Idul Fitri sebagai hari kemenangan, karena telah menjalani ibadah puasa dengan baik, khusuk dan syahdu.
Makna Idul Fitri secara metamorfosis ibarat suatu kelahiran kembali. Pendeknya, proses pencerahan batin dari segala kungkungan keakuan yang destruktif. Dalam pemikiran Komaruddin Hidayat (2003), Idul Fitri bukanlah pesta anti-klimaks untuk melepaskan nasfu-nafsu setelah sebulan lamanya dikekang dan dikendalikan. Idul Fitri adalah hari wisuda bagi mereka yang telah berhasil mencapai prestasi dalam upaya mengembalikan keseimbangan jiwa dengan memposisikan kekuatan hati nurani yang bening sebagai alat untuk memegang kendali kehidupan.
Hari raya Idul Fitri merupakan momen yang paling ditunggu oleh setiap muslim yang berpuasa. Di saat momen itulah, mereka telah kembali kepada kesucian yang hakiki. ’Id al-Fitri, secara harfiah berarti kembali pada fitrah, kembali pada keadaan semula sebagaimana bayi yang baru lahir. Tidak heran bila Idul Fitri juga disebut sebagai ”Hari Kemenangan”.
Hari kemenangan ini merupakan peristiwa penting dalam sejarah umat Islam. Di sepanjang bulan puasa, umat Islam menyambutnya dengan penuh meriah dan suka cita. Berbagai persiapan dilakukan, agar momen bersejarah ini tidak terlewatkan begitu saja tanpa nilai dan makna yang dapat dipetik.
Solidaritas Kemanusiaan
Perayaan Idul Fitri dengan menampilkan gaya dan modis yang baru bukanlah hakikat kemenangan yang sebenarnya, sehingga yang tampak dari perayaan Idul Fitri itu hanya sekedar bungkusnya saja. Sementara, mutu dan relevansi pada aspek-aspek fundamental kemanusiaan seringkali terabaikan. Akibatnya, perayaan Idul Fitri kehilangan makna dan nilai signifikansinya, yang mencerminkan spirit makna keagamaan, kebangsaan, perwujudan perdamaian, dan ikhtiar tatanan kemanusiaan.
Sebagai umat Islam, kita harus menumbuhkan rasa kepedulian dan persahabatan demi membangun solidaritas kemanusiaan yang utuh dan memberikan jaminan ideal bagi terciptanya nilai-nilai kemanusiaan yang humanis-transformatif. Kepedulian tidak hanya menuntut ketajaman analisis dan solusi, melainkan yang paling urgen adalah tindakan nyata atau aksi. Di samping itu, tidak hanya keberpihakan romantis yang ditonjolkan, tetapi juga tendensi empati-praktis.
Terlepas dari hal itu, yang perlu kita kembangkan di negeri ini, sambil kita merayakan Idul Fitri dan usaha menumbuhkan nilai spiritualitas, ialah jargon ”persahabatan dan kesalehan sosial”. Itulah sebabnya, St Sunardi (1999), menekankan kepada kita agar kebiasaan menjalin persahabatan dengan sesama, tidak sampai terbenam ditelan nafsu kekuasaan, dan sebisa mungkin menjauhkan prasangka menjadi sikap terhadap agama ataupun orang ”yang lain” (the other).
Momen Idul Fitri sesungguhnya memberikan pesan universal kepada kita semua, agar senantiasa mempererat tali persahabatan dan persaudaraan antara sesama tanpa memandang identitas agama. Setiap komunitas keagamaan dituntut agar mengembangkan kasih sayang-welas asih sebagai kesaksian atas ajaran agamanya. Selanjutnya, setiap agama-agama harus menciptakan persahabatan dengan siapa saja selaku misi dan dakwah. Persekutuan ataupun komunitas agama akan ditandai dengan spirit hospitality (keramah-tamahan yang membuka tangan bagi yang lain), bukan tindakan represif yang akan menimbulkan perpecahan.
Perayaan hari raya Idul Fitri juga tidak hanya bermakna peningkatan iman kepada Sang Pencipta, lebih daripada itu, ia mengandung spirit keagamaan untuk membangun solidaritas kemanusiaan kepada sesama. Peningkatan keimanan juga tidak terbatas pada hubungan kita pada Tuhan, melainkan tumbuhnya kesalehan sosial yang teraktualisasi dalam realitas kehidupan. Itulah cara yang dapat dilakukan guna membersihkan hati dan jiwa kita yang terkadang terbuai oleh rayuan modernitas dan sikap hedonis ala Barat yang jelas-jelas bertentangan dengan spirit keimanan umat Islam.
Hari Idul Fitri adalah hari istimewa bagi umat Islam, yang berakar dari semangat kepedulian. Kepedulian harus diimplementasikan melalui solidaritas terhadap yang lemah, miskin, dan terbelakang. Biasanya dengan mengeluarkan sebagian rezeki kita melalui jalan zakat yang bisa diberikan sebelum puncak kemenangan itu berlangsung. Bagi yang mampu, semangat solidaritas kepada sesama harus terus dipupuk dan dikembangkan secara berkelanjutan. Itulah sebabnya, kita harus menghindari perayaan Idul Fitri dengan cara ucapan yang bersifat formalistik. Tidak heran, bila ekspresinya terkadang melenceng dari semangat dasar tersebut, bahkan tidak jarang jadi barang dagangan. Bahkan, ungkapan ”Ucapan Selamat Idul Fitri”, seringkali menjadi formalistis dan ajang eksis. Dengan begitu, kepedulian kepada yang lemah tergantikan oleh naluri pragmatisme hedonis dan kapitalis.
Dengan demikian, kepedulian harus senantiasa ditunjukkan dengan semangat kebersamaan dan solidaritas terhadap penderitaan orang lain dan merefleksikan diri atas berbagai musibah yang menimpa bangsa kita akhir-akhir ini.