Opini

Refleksi Hari Anti Korupsi Sedunia

3 Mins read

Korupsi merupakan penyalahgunaan keuangan instansi dalam berbagai hal. Di Indonesia, korupsi sudah menjadi layaknya sebuah budaya yang mengakar dalam kehidupan para pejabat publik, yang tidak memiliki rasa bersalah sekalipun mereka melakukannya.

Dan ini yang menjadikan salah satu faktor masyarakat Indonesia selalu kekurangan dalam bidang ekonomi, sehingga tidak sedikit dari masyarakat Indonesia yang turun ke jalan untuk menyuarakan haknya.

Indonesia merupakan negara yang memiliki rating tertinggi dalam korupsi, dan faktor ekonomi merupakan hal utama penyebab terjadinya korupsi. Bahkan para calon pejabat berani menghabiskan banyak uang ketika kampanye dana untuk mendapatkan posisi strategis dalam pemerintahan dan memanipulasi untuk bisa melakukan tindakan korupsi.

Sebagai langkah konkrit, IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) yang sudah lahir sejak 61 tahun sudah patut dan sewajarnya ikut mengawal dan menjaga keamanan negara dari segala ancaman, bahkan dalam hal korupsi sekalipun. Bukan hanya tugas KPK tetapi IMM harus tetap konsisten dengan tujuannya dalam menjaga dan ikut mensejahterakan rakyat Indonesia. Dalam hal ini IMM hadir untuk masyarakat dengan visi dan misinya yang selalu sejalan dengan kepentingan masyarakat.

Sebagai organisasi umat dan bangsa, kita harus cerdas serta independen dalam menyikapi permasalahan dari pihak manapun. Aksi nyata yang harus dilakukan IMM yaitu mengajak masyarakat untuk menyadari bahaya akan korupsi. Aksi nyata ini sebagai sarana untuk mengingatkan pemerintah bahwa perjuangan melawan korupsi harus terus menerus dilakukan.

Setiap tanggal 9 Desember, bangsa ini kembali diingatkan pada luka lama yang tak kunjung sembuh: korupsi. Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) menjadi panggung tahunan bagi pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat untuk bersatu melawan praktik korupsi yang telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa. Namun, pertanyaan mendasar yang patut kita renungkan bersama: apakah HAKORDIA benar-benar menjadi momentum perubahan, atau sekadar seremonial yang kehilangan makna di daerah?

Baca...  Jihad Fisik, Jihad Intelektual: Refleksi Sejarah Hari Santri dalam Menghadapi Tantangan Modern

Korupsi di daerah bukan sekadar isu pinggiran. Ia adalah realitas pahit yang setiap hari dirasakan masyarakat, mulai dari pelayanan publik yang lamban, infrastruktur yang mangkrak, hingga anggaran yang bocor di tengah jalan. Dalam banyak kasus, korupsi di daerah bahkan lebih sulit diberantas dibandingkan di tingkat pusat. Hal ini karena jejaring kekuasaan di daerah sering kali lebih tertutup, penuh kompromi, dan minim pengawasan.

Saya teringat kutipan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad, yang pernah berkata, “Korupsi di daerah itu ibarat gurita, tentakelnya menjalar ke mana-mana, sulit diputus, dan sering kali justru dilindungi oleh sistem.” Pernyataan ini bukan sekadar retorika. Beberapa pendapat mengatakan bahwa  pola korupsi di daerah cenderung sistemik, melibatkan banyak aktor, dan sering kali dibungkus dalam praktik-praktik yang dianggap “biasa” oleh birokrasi setempat.

HAKORDIA seharusnya menjadi momentum refleksi dan perbaikan. Namun, yang sering terjadi justru sebaliknya. Di banyak daerah, peringatan HAKORDIA hanya diisi dengan upacara, seminar, atau lomba-lomba bertema anti korupsi. Aparat pemerintah berfoto bersama, membacakan ikrar, lalu kembali ke rutinitas lama.

Tidak ada evaluasi mendalam, tidak ada komitmen nyata untuk memperbaiki sistem yang rusak. Bahkan, dalam beberapa kasus, pejabat yang menjadi “bintang” dalam peringatan HAKORDIA justru tersandung kasus korupsi beberapa bulan kemudian.

Mengapa HAKORDIA gagal menjadi momentum perubahan di daerah? Pertama, karena budaya birokrasi di banyak daerah masih memandang korupsi sebagai “risiko jabatan”, bukan kejahatan luar biasa. Banyak pejabat daerah yang merasa aman selama mereka bisa menjaga harmoni dengan atasan dan kolega. Pengawasan internal lemah, sementara pengawasan eksternal sering kali terkooptasi oleh kepentingan politik lokal.

Kedua, masyarakat di daerah masih cenderung permisif terhadap praktik korupsi. Dalam banyak survei menyimpulkan bahwa masyarakat lebih memilih “damai” dengan aparat daripada melaporkan pungli atau gratifikasi. Ada semacam kelelahan kolektif, di mana masyarakat merasa percuma melawan sistem yang sudah mapan. Padahal, seperti dikatakan oleh Bung Hatta, “Korupsi telah menjadi budaya, dan jika tidak ada perlawanan dari masyarakat, ia akan terus tumbuh subur.”

Baca...  Menertawakan Kesombongan Intelektual

Ketiga, penegakan hukum di daerah masih jauh dari harapan. Banyak kasus korupsi yang mandek di meja penyidik, atau berakhir dengan vonis ringan di pengadilan. Aparat penegak hukum di daerah sering kali terjebak dalam relasi patronase dengan pejabat setempat. Akibatnya, efek jera tidak pernah benar-benar tercipta.

Lalu, apa yang harus dilakukan agar HAKORDIA tidak sekadar menjadi seremonial tahunan? Pertama, pemerintah daerah harus berani melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengelolaan anggaran dan pelayanan publik. Audit internal harus diperkuat, dan hasilnya diumumkan secara transparan kepada publik. Kedua, masyarakat sipil harus diberi ruang lebih luas untuk mengawasi dan melaporkan praktik korupsi. Pemerintah daerah harus membuka kanal-kanal pengaduan yang mudah diakses dan menjamin perlindungan bagi pelapor.

Ketiga, pendidikan anti korupsi harus masuk ke dalam kurikulum sekolah dan pelatihan aparatur sipil negara. Anak-anak dan generasi muda harus dibekali dengan nilai-nilai integritas sejak dini. Keempat, penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan tanpa pandang bulu. Aparat penegak hukum di daerah harus diawasi secara ketat oleh lembaga independen, dan setiap kasus korupsi harus diproses hingga tuntas.

HAKORDIA seharusnya menjadi momentum untuk membangun budaya baru di daerah: budaya integritas, transparansi, dan akuntabilitas. Kita tidak boleh lagi puas dengan seremonial dan slogan-slogan kosong. Peringatan HAKORDIA harus menjadi titik balik, bukan sekadar rutinitas tahunan yang kehilangan makna.

Hasan Al-Banna pernah berkata, “Oleh karena itu, sejak dulu hingga sekarang pemuda merupakan pilar kebangkitan. Dalam setiap kebangkitan, pemuda adalah rahasia kekuatannya. Dalam setiap fitrah, pemuda adalah pengibar panji-panjinya.”

Dari kalimat singkat itu kita menyadari, perjuangan kita dalam memberantas korupsi tidak akan pernah berakhir. Estafet ini akan terus berlanjut selama kekuatan, keberanian, perjuangan, keihklasan, visi dan misi dalam pengorbanan masih terus mengalir dalam urat nadi kita sebagai upaya dalam mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.

4 posts

About author
Ketua PK IMM Ahmad Badawi PC IMM Bekasi Raya 2021 - 2022 Presma BEM FTID Universitas Bani Saleh Bekasi 2022 - 2023
Articles
Related posts
Opini

Manajemen Masjid dalam Kritik Refleksi Isra’ Mikraj

6 Mins read
Peringatan peristiwa Isra’ Mikraj sering kali hanya dikemas sebagai ritual seremonial, padahal esensinya adalah transformasi spiritual melalui perintah salat yang seharusnya berdampak…
Opini

Komunikasi Nonverbal, Budaya Pop, dan Kritik Sosial

6 Mins read
Di Indonesia, protes tidak selalu turun dalam bentuk barisan massa, spanduk raksasa, atau pidato keras di depan gedung pemerintahan. Sering kali, kritik…
Opini

Menertawakan Kesombongan Intelektual

3 Mins read
Kadang saya merasa dunia ini terlalu sibuk berpikir. Semua orang ingin menjelaskan sesuatu, membenarkan sesuatu, bahkan menafsirkan sesuatu. Kita hidup di tengah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Keislaman

Makna Ahlul Bayt dalam Tafsir Syiah dan Sunni

Verified by MonsterInsights