Moderasi beragama (Sumber gambar : Rumahkitab.com) |
KULIAHALISLAM.COM – Selama kurang lebih dua bulan ini berada di tanah air, alhamdulillah Allah izinkan diri ini untuk mengadakan beberapa kunjungan ke beberapa instansi pendidikan dan bersentuhan dengan beberapa program-program dakwah di lapangan.
Di antaranya saya juga mencoba melibatkan diri pada obrolan-obrolan yang menarik dan bernutrisi seputar dunia dakwah hari-hari ini. Boleh dikata, ini adalah salah satu planning saya pulang ke tanah air tercinta.
Sebenarnya saya tertarik untuk beberapa pekan bisa mencecap rasanya bersentuhan secara langsung dengan masyarakat di pelosok; di daerah Papua atau beberapa daerah di Sulawesi misalnya. Apalagi setelah melihat postingan salah satu mahasiswa UIM terkeren yang dulu sempat menjadi kakak kelas saya Ustādzuna al-Kabīr Zakiy Askar, keinginan tersebut semakin memuncak saja.
Bahkan saya sempat mencoba-coba mencari informasi lewat internet dan hampir dapat. Tapi pada akhirnya nihil, selain karena kondisi yang kurang mendukung, ya karena saya tidak punya link dan channel yang banyak soal itu.
Walaupun begitu, setidaknya Allah masih izinkan saya untuk merefleksikan diri dan menimba hikmah dari beberapa daerah dan personal yang saya kunjungi di area Jawa Tengah. Dari beberapa kunjungan tersebut, saya tertarik untuk membagikan beberapa hal yang barangkali bisa diambil manfaatnya disini.
Ada baiknya saya ketengahkan, bahwa instansi dan personal yang saya kunjungi tersebut memiliki fokus dan latar belakang yang beragam, ada yang fokus di bidang pengkaderan para pengajar, ada yang di bidang pengajaran pesantren pada umumnya, ada yang fokus di pesantren masyarakat, TPQ, rumah Qur’an, kajian bapak-bapak, ibu-ibu, remaja, dll. Pun corak dan kultur keagamaannya juga bermacam-macam.
Pertama, saya mulai terlebih dahulu dengan membincangkan fenomena keberagamaan di tengah-tengah masyarakat kita dewasa ini. Yang saya perhatikan, agama bagi sebagian masyarakat kita dianggap sebagai ‘rumah kembali’ dimana segala keluh kesah kehidupan bisa ditumpahkan di dalamnya.
Paradigma semacam ini jamak kita dapati di beberapa orang yang memang lebih suka melakukan pendekatan emotif atas dasar kenyamanan jiwa. “Ora peduli alirane opo, penting masalahku rampung, urip kepenak, lan ngibadah gampang.” Agak pragmatis barangkali, tapi ya terkadang lebih baik seperti itu. Hehe.
Berbeda halnya dengan para santri, pelajar agama maupun para peneliti studi Keislaman pada umumnya yang lebih menitik beratkan kenyamanan beragama mereka pada segala yang lebih ilmiah dan yang lebih dekat kepada kebenaran.
Kepuasan akal akan argumen-argumen keagamaan yang mereka capai pada akhirnya melahirkan kenyamanan beragama, lantas membuat jiwa nyaman karena apa yang diyakini dan dikerjakan ada landasan ilmiahnya dalam syara‘.
Dua karakter yang berbeda dalam melakukan pendekatan beragama ini pada akhirnya memunculkan sikap beragama yang berbeda pula. Bagi para pelajar ilmu agama, segala sesuatu harus ditinjau dari keabsahan argumennya dan interpretasi terkuat yang lahir dari padanya.
Ia diajak berkenalan dengan beragam corak penafsiran akan teks (nash) dan dituntut untuk menyelami persoalan-persoalan yang hanya dibahas di kalangan ulama dan kaum santri saja.
Sehingga ketika seorang santri melihat praktik beragama yang berbeda dari apa yang ia amalkan, ia tak akan terburu-buru untuk melayangkan hukum atau vonis secara serampangan. Ia lihat dulu, diamati, diteliti, dilihat landasan argumentasinya, dan jika memang ada landasan hukumnya walau pendapat yang marjuh sekalipun, ia akan legowo dan mampu menampilkan sikap yang toleran. Tentunya, selalu ada pengecualian pada setiap generalisasi.
Sedangkan praktek beragama masyarakat awam lebih banyak meniru dan mengikuti sosok yang mereka jadikan rujukan, walau tanpa tahu menahu metodologi pengambilan hukumnya bagaimana. Benarlah kata para ulama, mazhab orang awam adalah mazhab yang dianut oleh gurunya.
Selain itu, iklim keilmuan dan kultur sosial dimana masyarakat itu tumbuh juga turut mempengaruhi sikap, ritual, perilaku dan pola hidup masyarakat setempat. Kelebihannya, norma agama dan masyarakat bisa terawat dengan baik secara komunal. Minusnya, kurang adanya kontrol ilmiah dalam beragama.
Dari penuturan singkat di atas, muncul beberapa fenomena sosial yang patut untuk kita cermati bersama. Di antaranya ialah labilitas dalam mengekspresikan agama yang mengakibatkan kegaduhan sosial di tengah-tengah masyarakat. Banyak kita dapati bahasan-bahasan keilmuan Islam yang sebenarnya diperuntukkan bagi para pelajar agama tingkat lanjut, namun dikonsumsi oleh khalayak umum.
Akibatnya ada sebagian orang yang mulai berani menggugat otoritas seorang ulama yang diakui kapasitas keilmuannya, hanya karena ia mendapati perbedaan amaliah yang dikerjakannya, atau karena tulisan atau video provokatif yang ia terima.
Tak jarang terkadang vonis juga ikut dilayangkan dengan segala keterbatasan piranti dan akses keilmuan yang dimiliki, bonus dengan umpatan, cacian, dan makian yang kontra ilmiah.
Sebagian yang lainnya ada yang memperlakukan masalah furū’iyyah (masalah-masalah cabang yang membolehkan adanya perbedaan) seakan-akan ia adalah masalah ushūliyyah (masalah-masalah pokok yang tak boleh berbeda), atau sebaliknya. Pandangan seperti ini pada akhirnya akan memunculkan sikap beragama yang rigid dan jauh dari tujuan agama itu diturunkan.
Pada akhirnya, tak sedikit muncul polarisasi di tengah-tengah masyarakat hanya karena perbedaan sepele semisal masalah qunut-tidak qunut, cadar-tidak bercadar, shaf rapat-tidak rapat, celana cingkrang-tidak cingkrang, berjenggot-tidak berjenggot atau bahkan hanya karena perbedaan pilihan politik semata.
Fenomena kafir-mengkafirkan, munafik-memunafikkan, atau bid’ah-membid’ahkan sedikit banyak kita saksikan tempo hari, dan mungkin sebagiannya masih berlangsung sampai hari ini. Ya, ini adalah fakta sosial di negeri kita yang harus kita terima terlebih dahulu, untuk kemudian sedikit-demi sedikit dibenahi.
Penyebab dari beberapa sampel fenomena di atas, barangkali berbeda antar satu dengan yang lainnya, tergantung diagnosis yang dilakukan.
Sebagiannya karena meniru gaya dzahir panutannya dalam beragama, sebagian yang lain karena bawaan tendensi kelompok atau afiliasi yang diikuti, ada pula karena adanya seseorang dalam menuntut ilmu agama yang setengah-setengah atau belum tuntas, lalu terjun begitu saja di masyarakat
(التسرع في التصدر)
dan akhirnya memberikan dosis yang kurang pas kepada masyarakat.
Dikatakan,
نصف العلم أخطر من الجهل,
“Ilmu yang setengah-setengah itu lebih berbahaya dari kebodohan.” Jika kebodohan itu mudah dikenali, maka ilmu yang setengah-setengah bagi masyarakat awam sulit untuk dideteksi, apalagi kalau sudah dibungkus dengan retorika yang memikat dan menarik.
Kebenaran pun bisa menjadi samar-samar. Sebab itu pula, kita dituntut untuk berguru kepada seorang ulama yang benar-benar memiliki kapasitas keilmuan yang memadai.
Masyarakat kita pada umumnya, tak semua memiliki kedewasaan dalam beragama. Karenanya, menjadi PR bagi kita untuk menyampaikan dan menampilkan agama Islam ini dengan penuh kebijaksanaan. Orang di luar Islam seringnya melihat Islam bukan dari Islamnya, tapi dari para penganutnya.
Dengan mencontohkan cara beragama yang baik dan bijak, secara tidak langsung kita juga ikut serta mendakwahkan agama ini kepada orang-orang di luar Islam. Kita menginginkan antara Islam sebagai dīn (agama) dan muslimīn sebagai pengikutnya berjalan beriringan.
Tak jarang kan, ada orang mendapat hidayah masuk Islam atau bertaubat lantaran terinspirasi dari praktik beragama seseorang. Ada yang bertaubat dan masuk Islam karena akhlak.
Ada yang karena melihat keluwesannya dalam beragama. Ada yang karena merasa haus spiritual lalu menemukan sosok yang mampu membantunya menghadapi kesukaran hidup, dll. Sungguh benar ungkapan yang menuturkan,
لسان الحال أفصح من لسان المقال
“bahasa tubuh (teladan) lebih fasih bertutur daripada bahasa verbal.”
Sebetulnya kebutuhan masyarakat dari agama itu simpel kok. Bisa hidup tentram, beribadah nyaman, dan segala problem hidupnya terjawab dengan merujuk kepada agama.
Bahasan-bahasan ilmu agama yang mendalam dan bercabang-cabang bukanlah konsumsi mereka. Maka terkadang perlu diperhatikan dosis yang sesuai dengan objek masyarakat yang didakwahi (madh’uwūn). Apa yang harus disampaikan, kapan tepatnya, bagaimana caranya.
Di akhir, yang perlu kita sadari bahwa hidup adalah konflik. Mustahil dalam hidup dan kehidupan seseorang lepas dari yang namanya konflik. Pada diri sendiri pun terkadang kita berkonflik (konflik batin misalnya).
Karena itu, yang kita perlu lestarikan ialah seni bagaimana mengelola konflik-konflik yang ada agar menghasilkan keharmonisan bersama, dalam hal ini adalah keharmonisan umat dalam menjalankan agamanya. Dimulai dari cara dakwah yang relevan dan elegan. Semoga Allah sebarkan hidayah-Nya lewat tangan-tangan kita.
Oleh : Ustaz Taufiq Ilham Dwi Yahya
Editor : Adis