Quranicpreneur: Mendidik Jiwa, Tetapi Perlukah Membenarkan Kerja Anak? Fenomena anak-anak yang harus bekerja masih menjadi kenyataan yang mengusik hati di tengah masyarakat modern. Di jalanan kota besar, banyak kita temui anak-anak dibawah umur yang memperjualkan tisu, menenteng dagangan, atau membantu pekerjaan orang dewasa, usia yang seharusnya diisi dengan belajar dan bermain mereka korbankan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Tak jarang, pembenaran muncul: “Dulu Rasulullah juga bekerja sejak kecil.” Sekilas, pernyataan itu terdengar masuk akal. Namun, benarkah konteksnya sama antara masa Rasulullah dan zaman sekarang yang sudah memiliki sistem hukum dan pendidikan yang mapan?
Dalam konsep Quranicpreneur, bekerja bukan semata-mata aktivitas ekonomi, namun sebagai bentuk pengamalan nilai-nilai Qur’ani misalnya amanah, tanggung jawab, dan kejujuran. Sejak kecil Rasulullah memang mulai membantu pamannya berdagang, sekitar umur sembilan hingga dua belas tahun. Namun, kerja beliau terjadi dalam konteks yang sangat berbeda. Rasulullah tidak bekerja karena keterpaksaan atau tekanan ekonomi, melainkan karena keinginan belajar, menumbuhkan kemandirian, dan melatih kejujuran.
Beliau tetap berada dalam bimbingan keluarga, di lingkungan yang aman, dan tidak kehilangan hak untuk tumbuh. Pekerjaan yang dilakukan Rasulullah saat kecil justru menjadi bagian dari proses belajar yang melatih kemandirian dan tanggung jawab sejak dini. Dengan pengawasan yang penuh kasih dari keluarganya, pengalaman itu membentuk kepribadian beliau dalam menghadapi kehidupan. Artinya, kerja Nabi di usia muda lebih tepat dipahami sebagai proses pendidikan karakter, bukan bentuk eksploitasi.
Namun, zaman terus berubah. Kini, dunia memiliki sistem sosial, ekonomi, dan hukum yang jauh lebih kompleks. Negara sudah hadir dengan berbagai peraturan untuk melindungi anak dari pekerjaan yang berisiko dan menghalangi pendidikan. Di Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (2) menegaskan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Selanjutnya, pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 68 menyatakan dengan jelas: “Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.” Hanya ada pengecualian terbatas bagi anak usia 13–15 tahun yang melakukan pekerjaan ringan, dengan izin orang tua dan tanpa mengganggu sekolah. Selain itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa anak yang terpaksa bekerja harus mendapat perlindungan khusus dari pemerintah dan masyarakat.
Dengan begitu, secara hukum, kerja anak bukan lagi perkara sederhana, karene negara telah memposisikan hal itu sebagai isu kemanusiaan dan perlindungan sosial, bukan sekadar soal ekonomi keluarga. Ketika seorang anak harus bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri atau bahkan saudaranya karena kehilangan orang tua, hal itu bukanlah kebanggaan, tetapi sebuah tanda bahwa kita sebagai masyarakat belum hadir sepenuhnya untuk melindunginya.
Dalam pandangan Islam, nilai keadilan dan kasih sayang selalu menjadi prinsip utama dalam bekerja. Bukan berati Islam menolak kerja keras, tetapi melarang keras segala bentuk kezaliman dan eksploitasi. Dalam A-Qur’an surat Ad-Duha: 9–10 Allah SWT berfirman:
فَاَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْۗ (9) وَاَمَّا السَّاۤىِٕلَ فَلَا تَنْهَرْ (10)
“Maka terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang, dan terhadap orang yang meminta-minta janganlah kamu menghardik.”
Kutipan ayat ini mengandung pesan sosial yang sangat kuat. Ayat ini bukan hanya peringatan moral, tetapi juga panggilan tanggung jawab bahwa masyarakat beriman harus menjadi pelindung bagi anak-anak yang kehilangan penopang hidupnya. Eksploitasi terhadap anak, baik dalam bentuk kerja paksa maupun ketidakadilan upah, adalah bentuk nyata dari kezaliman yang sangat dilarang dalam Islam.
Nabi Muhammad juga bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibn Majah). Hadis ini menegaskan bahwa siapa pun yang bekerja termasuk anak berhak atas perlakuan adil, bukan eksploitasi.
Dengan demikian, ketika kita membandingkan kerja anak zaman Rasulullah dan zaman sekarang ini, kita harus melihat perubahan konteksnya secara utuh. Rasulullah hidup di masyarakat pra-industrial yang dimana mereka belum mengenal sistem pendidikan formal dan peraturan perlindungan anak. Bekerja di usia muda kala itu merupakan bagian dari proses sosial yang normal dan mendidik.
Namun, di era modern, bekerja pada usia anak justru dapat menghambat pendidikan dan perkembangan emosional. Maka dari itu, meniru Rasulullah bukan berarti menyalin semua hal secara harfiah, melainkan memahami nilai-nilai di balik tindakannya yakni kejujuran, amanah, dan tanggung jawab.
Quranicpreneur pada hakikatnya bukan sebatas tentang bekerja keras, tapi juga bekerja dengan nilai-nilai islami. Seorang Muslim yang berjiwa Quranicpreneur harus benar-benar paham bahwa kerja sejati adalah ibadah yang membawa manfaat bagi diri sendiri dan juga orang disekitar kita, tanpa menzalimi siapa pun. pada konteks kerja anak, semangat kerja Qur’ani seharusnya diterjemahkan menjadi semangat belajar, semangat menolong sesama, dan semangat tumbuh menjadi manusia yang mandiri bukan semangat mencari nafkah karena terpaksa (eksploitasi).
Zaman modern memang menghadirkan aturan dan batas yang berbeda dari masa Rasulullah. Tapi justru di situlah tantangan kita, bagaimana menjaga agar nilai-nilai Qur’ani tetap hidup dalam sistem yang berubah. Rasulullah mengajarkan kerja sebagai kehormatan, bukan beban. Maka, tugas kita hari ini bukan membiarkan anak-anak bekerja seperti masa lalu, tapi memastikan mereka tumbuh dalam lingkungan yang memberi peluang belajar, beriman, dan berdaya.
Pada akhirnya, bekerja dalam pandangan Qur’ani bukan soal usia, tapi soal niat dan etika. Rasulullah bekerja dengan amanah, bukan karena terpaksa. Anak-anak masa kini pun berhak meneladani sikap beliau bukan dengan berdagang di usia muda, tetapi dengan menanamkan nilai jujur, disiplin, dan tanggung jawab sejak dini. Karena meneladani Rasulullah bukan berarti kembali ke masa lalu, tetapi menghadirkan semangat beliau dalam realitas zaman yang terus berkembang.

