KULIAHALISLAM.COM – Prof. Seyyed Hossein Nasr lahir di Teheran, Iran tahun 1933 M. Ia merupakan salah satu pemikir muslim Syiah yang paling menonjol dalam masa kontemporer. Ia dilahirkan
di Teheran, kota tempat ia memperoleh pendidikan awalnya. Ayahnya, seorang
ulama yang cukup menonjol, mengirimnya belajar kepada sejumlah ulama terkemuka
Iran termasuk kepada Ayatullah Muhammad Husein Tabataba’i, seorang ahli Tafsir
Al-Qur’an dan penulis Tafsir Al Mizan selama 20 tahun.
Sumber Gambar ranskaya.medium.com |
Pendidikan Tinggi Seyyed Hossein Nasr
Setelah menamatkan
pendidikan menengah di Iran, Sayyid Husein Nasr melanjutkan pendidikan di Massachusetts
Institute of Tecnology (MIT), Amerika Serikat dalam bidang sejarah sains
khususnya sains Islam sehingga memperoleh gelar B.sc (Bachelor of Science).
Ia kemudian
melanjutkan pendidikan ke Harvard University dan berkonsentrasi pada
bidang yang sama. Seyyed Hossein Nasrr memperoleh gelar Ph.D pada tahun 1958 di
bawah bimbingan seorang orientalis terkenal bernama Hamilton A.R Gibb, dengan
Disertasi tentang berbagai teori Kosmologi Islam.
Selanjutnya, Nasr
kembali ke Iran dan diangkat menjadi Guru Besar sains dan filsafat Islam pada Universitas
Teheran. Pada tahun 1962 sampai 1965, ia diangkat sebagai Guru Besar tamu di
Harvard University. Dalam periode yang sama, ia dipercayai sebagai
pemegang pertama Agha Khan Chair untuk kajian Islam yang baru saja dibentuk
di American University, Beirut.
Karir Seyyed Hossein Nasr
Setelah selesai
bertugas di Harvard University, ia kembali mengajar di Universitas Tehran
dan kemudian menjadi Dekan Fakultas Sastra dan Seni (1968-1972 M). Pada
waktu yang sama, ia juga memangku jabatan sebagai pembantu Rektor Universitas
Tehran (1970-1971 M). Kemudian diangkat sebagai konselor Arya-Mehr
University of Technology, Tehran sampai ia meninggalkan Iran menjelang
meletusnya Revolusi Islam Iran pada tahun 1979.
Pada masa kekuasaan
Syah Muhammad Reza Pahlevi (1919-1980 M), ia termasuk di antara pendiri Akademi
Filsafat Iran dan diangkat sebagai presiden lembaga ilmiah tersebut selama
periode 1975-1979. Selain itu, ia bersama Ayatullah Murtahada Mutahhari
(1919-1979), Dr. Ali Syari’ati dan beberapa tokoh lain pada akhir tahun 1965
mendirikan Husyaimiah Irsyad, lembaga yang bertujuan mengembangkan
ideologi Islam berdasarkan perspektif Syiah yang kemudian menjadi pusat
kaderisasi pemuda militer revolusioner.
Menjelang ditutupnya Husyaimah
Irsyad oleh rezim Syah Iran pada tahun 1979, Nasr dan Murtahada Mutahhari
keluar dari lembaga ini yang menurut mereka telah dikuasai oleh Dr. Ali Syari’ati
yang dipandangnya keliru menampilkan Islam sebagai agama revolusioner dengan
menghilangkan aspek spiritualitasnya.
Menjelang Revolusi
Iran, Nasr berada di Amerika Serikat. Ia memutuskan untuk tidak kembali ke Iran
dan menetap di Amerika Serikat. Kemudian ia mengajar di beberapa universitas
seperti Temple University, Philadelphia dan akhirnya di George
Washington University, Washington D.C.
Karya-karya Seyyed Hossein Nasr
Selain itu ia juga mengajar
dan menulis banyak buku antara lain Three Sage Moslems (Tiga Muslim yang
Bijak), Ideals and Realities in Islam (Cita-Cita dan Realitas dalam
Islam), An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Suatu Pengantar
Ajaran Kosmologi Islam), Science and Civilization in Islam (Islam dan
Peradaban dalam Islam), Sufi Essays (Esai Tentang Sufi), An Anotated
Bibliography of Islamic Science (Bibliografi Beranotasi Sains Islam), Man
and Nature (Manusia dan Alam), The Spritual Crisis of Modern Man (Krisis
Spritual Manusia Modern), Islam and the Plight of Modern Man (Islam dan
Kegelisahan Manusia Modern),
Islamic Science : An Ilustrared Study (Sains
Islam : Sebuah Studi Bergambar), The Transcendent Theosophy of Sadr ad-Din
as-Shirazi (Teosofi Transenden Sadruddin Syirazi), Islamic Arts and
Sprituality (Seni Islam dan Spritialitas), Need for a Sacred Science (Kebutuhan
Terhadap Sains Kudus), Islamic Life and Thought (Kehidupan dan Pemikiran
Islam), Knowledge and the Sacred (Pengetahuan dan Kekudusan), The
Islamic Philosophy of Science (Filsafat Ilmu Pengetahuan) dan Traditional
Islam in the modern Word (Islam Tradisional di Dunia Modern).
Sebagian buku-bukunya
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Seperti terlihat dari
karya-karya tulisnya, pemikirannya sangat kompleks dan multidimensional. mampu
membahas berbagai topik, mulai dari sains dan filsafat Islam, sufisme dan prenialisme
sampai kepada masalah-masalah yang dihadapi manusia dan peradaban modern.
Menyimak pemikirannya tentang konformitas Islam dengan dunia modern, sebagian
ahli memasukkannya ke dalam kelompok pemikir Neo Modernisme Islam.
Pemikiran Seyyed Hossein Nasr
Ia yakin Islam dengan
karakter universal dan perenial-nya mampu menjawab tantangan dan krisis
dunia modern. Masih dalam kerangka Neo Modernisme Islam, Ia adalah pengkritik
tajam Barat, sementara berusaha menggali dan membangkitkan warisan pemikiran
Islam. Pada saat yang sama, Nasr dengan penuh semangat mengkritik
pemikir-pemikir modernisme muslim seperti Jamaluddin al-Afgani, Muhammad
Abduh, Ahmad Khan atau Sayid Amir Ali.
Menurutnya tokoh-tokoh
ini adalah penyebar westernisme dan sekularisme di dunia Islam. Mereka adalah
orang-orang yang mengecilkan atau bahkan menolak unsur-unsur ajaran dan warisan
pemikiran Islam yang mereka pandang tidak sesuai dengan pemikiran dan
perkembangan modern. Memandang kritikannya terhadap modernisme Islam, Nasr
boleh dikatakan sebagai seorang pemikir Neo Modernis.
Modernisme baru Seyyed Hossein Nasr mengambil bentuk serta menghidupkan kembali Islam tradisional. Dalam
kerangka ini, ia memahami Tradisionalisme Islam sebagai kepenganutan yang teguh
pada tradisi yang suci dan mengandung kebijaksanaan Prenial (abadi).
Lebih terperinci Ia menjelaskan bahwa muslim
tradisional adalah muslim yang menerima Al-Qur’an sepenuhnya sebagai firman
Allah baik dalam isi maupun bentuk, mengakui Al-Kutub as-Sittah (Enam
Kumpulan Kitab Standar), mengandung tasawuf atau tarekat sebagai dimensi batin
dan jantung pematuhan Islam dan selalu berangkat dari realisme sesuai dengan
norma-norma Islam dalam segi politik.
Melihat pemikirannya
tentang tradisionalisme Islam dan keyakinannya mengenai kemampuan Islam
menjawab tantangan dunia modern, Ia bisa juga digolongkan ke dalam pemikiran
Neo Tradisionalis. Dunia modern dalam pengamatannya, ditandai oleh kecemasan
terhadap bahaya perang, krisis ekologi dan polusi udara dan air.
Masalah paling akut
yang dihadapi manusia modern bukan muncul dari situasi Underdevelopment (keterbelakangan),
tetapi justru dari Overdevelopment (Keterlalumajuan). Lebih dari itu,
semua masalah dan krisis peradaban modern berakar pada polusi jiwa manusia yang
muncul begitu manusia Barat mengambil alih peran ketuhanan di muka bumi dengan
menyingkirkan dimensi Ilahi dari kehidupannya.
Manusia modern
mencoba hidup dengan roti semata, membunuh Tuhan dan menyatakan independensinya
dari kehidupan akhirat. Mereka melakukan desakralisasi alam untuk kemudian
mengeksploitasinya secara sewenang-wenang. Ia memandang manusia modern
memperlakukan alam seperti melakukan pelacur, mengambil kepuasan dari alam
tanpa rasa tanggung jawab apapun.
Di tengah krisis
manusia dan peradaban modern Barat, kaum Muslim di berbagai wilayah dunia islam
menurutnya terbagi menjadi dua yaitu yang pertama adalah kelompok mereka yang
terjebak dalam krisis dunia modern karena mengikuti pola Barat cara sembrono
dan kelompok yang kedua adalah mereka yang tetap setia kepada nilai-nilai
tradisional Islam. Kelompok yang terakhir ini masih mengamalkan ibadah dan
ritual agama, berpegang pada hukum Tuhan dan menghormati ulama serta para wali.
Menurutnya, salah
satu sebab kemunduran kehidupan internal kaum muslimin adalah penghancuran
tasawuf dan tarekat Sufi oleh gerakan-gerakan rasionalisme puritan seperti
gerakan Wahabi di Arab Saudi dan Ahlul Hadits di India. Di sini ia berbeda
pandangan dari kalangan sarjana muslim lain yang justru menganggap tasawuf dan
tarekat sebagai penyebab kemunduran kaum muslim.
Nasr berpandangan
amat positif tentang peranan sufisme dalam ajaran Islam. Menurutnya dengan
menolak sufisme dan mengkambing hitamkannya sebagai penyebab kemunduran umat
maka Islam akan tereduksi yang tersisa hanyalah doktrin fikih kaku yang pada
gilirannya juga tidak berdaya menghadapi serangan intelektual Barat.
Bagi Nasr, sufisme
ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh. Sufisme meniupkan semangat ke dalam
struktur Islam baik dalam manifestasi sosial maupun intelektual. Tarekat Sufi
dalam skala besar memainkan pengaruh kuat atas seluruh struktur masyarakat
muslim. Selain itu terdapat kelompok-kelompok sekunder yang berafiliasi dengan
tarekat seperti kelompok petani, perajin dan pemuda. Ia akhirnya berkesimpulan
berbagai isu dalam sejarah Islam tidak bisa dipecahkan tanpa perhitungan
peranan yang dimainkan sufisme.
Dengan pandangan yang
positif terhadap sufisme, tidak heran kalau ia berpendapat bahwa sufisme dapat
menjadi jawaban atas krisis spirituallitas manusia modern khususnya dunia
barat. Menurutnya sufisme dapat mempengaruhi barat melalui tiga upaya yang
pertama yaitu mempraktekkan sufisme secara aktif, kedua menyajikan Islam secara
lebih menarik sehingga orang dapat menemukan praktik-praktek sufisme yang benar
dan yang ketiga adalah memfungsikan sufisme sebagai alat untuk kebangkitan
spiritualisme.
Karena merupakan
tradisi hidup yang kaya dengan Khazanah doktrin metafisis dan kosmologis maka
sufisme dapat menghidupkan kembali banyak aspek kehidupan rohani barat yang
tengah dilanda krisis. Menurutnya pencarian spiritualitas dan mistik bersifat Prenial
dan ini merupakan kewajaran serta kebutuhan alami manusia. Bahkan sufisme
itu sendiri mengandung hikmah dan kebijaksanaan yang berlaku Prenial.
Akan tetapi ia
mengingatkan bahwa Prenialisme sufisme itu harus dijalankan dalam
kerangka syariat Islam (eksoterisme) karena mempraktekkan esoterisme tanpa
eksoterisme ibarat menanam pohon di awang-awang. Ia berkesimpulan hanya dengan
menerima dan menjalankan syariat, seseorang dapat menelusuri jalan tarekat
secara benar sehingga mencapai kebenaran sejati.
Referensi: Ensiklopedia Islam