(Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam) |
KULIAHALISLAM.COM – Saat ini, semua pejabat-pejabat publik dan politisi-politisi yang tergabung dalam kubu koalisi pemilu serentak sedang menanti hasil putusan perkara atas sengketa perselisihan hasil pemungutan suara, dalam kontestasi pemilu serentak 2024. Kemudian pejabat’ publik dan masyarakat sipil membuat prediksi ramalan dan analisa terkait posisi dan keputusan yang dihasilkan nya dam sidang MK RI tersebut. Apakah hakim MK RI menolak seluruh, menerima sebagian, menerima seluruhnya atau dgn catatan perbaikan lainnya. Posisi MK saat ini sangat krusial karena seluruh mata warga masyarakat tertuju ke lembaga MK RI tersebut. Menanti posisi dan putusan hakim MK RI dalam memutuskan perselisihan hasil pemilu dan kondisi kontitusi pilar demokrasi kedepannya. Melalui pandangan Bu Megawati, dalam mengkritisi posisi dan wewenang hakim MK RI sebagai penjaga demokrasi, konstitusi dan ideologi negara kedepannya. Apakah hakim MK RI bertugas secara independen, kritis dan solutif dalam menawarkan gejolak demokrasi kini, atau hanya bekerja secara identitas formalitas dlm memenuhi hasrat kuasa pihak tertentu, menolak sepenuhnya atau menolak dgn catatan kritis untuk perbaikan kondisi demokrasi konstitusi masa kini.
Karena itu, Sukidi PhD (Cendekiawan, Muhammadiyah, Pemikir Kebinekaan), dalam beberapa Media TV Nasional. Kerapkali memberikan pandangan yang radikal, tajam, kritis, cerdas dan edukatif mencerahkan dalam menguraikan gagasan setiap problematika yang terjadi pejabat-pejabat publik di negeri ini. Baik dari tingkat pusat daerah, lembaga tinggi MK RI, perilaku pejabat-pejabat DPR RI, MPR dan politisi-politisi yang berwatak oportunis pragmatis lebih-lebih sewenang-wenang menjalankan kekuasaan. Mudah-mudahan Sukidi PhD yang dikenal sebagai (Pemikir Kebangsaan) ini, senantiasa radikal kritis, tangguh dan bertenaga kuat dalam menyampaikan setiap suara aspirasi, dan gagasan untuk menjawab, mengkritisi dan menggugat nalar perilaku pejabat publik di negeri ini agar politisi tersebut sadar dan kembali ke jalan kebenaran, hidup dalam kebenaran dan menjiwai hayati kebenaran dalam setiap perkataan dan kebijakan strategis untuk pemberdayaan keberpihakan buat seluruh masyarakat.
Kewajiban Politik Presiden/Wapres
Kontestasi pemilu telah usai, putusan perselisihan hasil pemungutan suara telah usai. Yang menjadi tugas dan tanggung jawab seluruh pejabat-pejabat publik dan tokoh-tokoh politisi yang diberi amanah memimpin negara ini kedepannya adalah, agar supaya mampu mewujudkan impian cita-cita yang direncanakan, menjaga dan meningkatkan indeks demokrasi, kebebasan ekspresi berpendapat dan membasmi penyakit korupsi, kolusi penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan yang tirani despotik, serta mampu merealisasikan program-program strategis untuk keberpihakan pemberdayaan masyarakat fakir miskin, lemah, minim akses pendidikan dan kesehatan, serta meningkatkan kehidupan yang layak, dari kondisi tak berdaya jadi berdaya, kondisi rendah literasi jadi kualitas tinggi literasi, kondisi takut bersuara berpendapat jadi bebas merdeka untuk berani berekspresi karya dalam masyarakat. Akhirnya, prasyarat atau langkah-langkah untuk meraih keadaban dan kemajuan tersebut hanya bisa di wujudkan oleh kemauan dan kemampuan (political will) pejabat publik pemerintah yang diberi amanah tanggung jawab dalam negara republik demokratis betul-betul mewujudkan cita-cita yang ingin di capai untuk kemajuan masyarakat dan negara kedepannya. Perlu analisa yang radikal, tajam, kritis dan menggugah akal budi dan hati nurani pejabat’ publik dan politisi negara ini. Untuk memahami dan mendalami kembali hakikat dalam menjalankan amanah tanggung jawab konstitusi, reformasi dan demokrasi. Meskipun, nampaknya pejabat publik dan politisi negara ini, memahami konstitusi reformasi sebatas formalitas simbolik mengugurkan kewajiban, menghipnotis hiburan bagi pihak-pihak menuntut perkara hajat hidup masyarakat umum, menggunakan demokrasi sebatas alat meraih kekuasaan, namun mencampakkan, mengabaikan dalam perilaku menyelenggarakan bernegara.
Saat ini, semua pejabat publik dan politisi berbondong-bondong mengkampanyekan tentang konstitusi, demokrasi hanya prosedural, dan mengkhianati menafikan demokrasi dalam aktivitas bermasyarakat bernegara, bisa kita amati setiap pejabat’ publik yang mendapat amanah kekuasaan, memimpin negara ini, alih-alih berjuang untuk mewujudkan cita-cita visi misi dan kebijakan strategis lainnya untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat, malah merangkul pihak-pihak yang kalah kontestasi bergabung dlm kabinet, hanya karena alasan stabilitas dan kolaborasi. Namun, pada hakikatnya hanya untuk melindungi kepentingan segelintir orang, sekelompok oligarki politik. Menjaga stabilitas penyelenggaraan negara, tetapi tujuan nya untuk mengkooptasi sesama politisi, mengabaikan suara mayoritas yang mendukung saat proses pemilihan pemilu tersebut.
Suara Masyarakat Sipil
Kita sebagai warga masyarakat sipil, untuk senantiasa kritis, cerdas, dan konstruktif dalam menjawab setiap problematika perilaku pejabat publik di negeri ini, yang kerapkali tak punya moral etika, bahkan mengabaikan etika aturan dalam menjalankan roda kekuasaan, sehingga birokrasi dijalankan secara sembrono ugal-ugalan yang menyeret pemerintah dan negara kedalam jurang otoritarian tirani kezaliman.
Narasi gagasan tirani, otoriter, penguasa oligarki dan sebagainya adalah gagasan klise, tetapi pejabat publik di negeri ini tetap menggunakan nya untuk mengelabui dan mengguncang emosional warga sehingga memecah konsentrasi warga dalam proses menyuarakan aspirasi pendapat dan hak-hak dlm bermasyarakat, pejabat publik di negeri ini hanya memikirkan bagaimana mengamankan posisi dan kebijakan strategis untuk kepentingan segelintir kelompok kroni sendiri, mengancam menindas kelompok lain yang berbeda darinya.
Karena itu, selalu hadir dalam ruang-ruang publik untuk mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan bangsa, lebih-lebih terkait kondisi sosial politik perilaku pejabat publik di negeri ini. Selalu memberikan gagasan yang tajam, kritis, cerdas melalui penyampaian yang renyah, radikal dan solutif dalam menanggapi setiap fenomena perilaku pejabat publik di negeri ini, karena pejabat publik kerap kali menjalankan roda kekuasaan pemerintahan secara diktator menindas sewenang-wenang, menabrak segala aturan, dan menindas rendahkan martabat kedaulatan rakyat.
Karena pada akhirnya, perilaku politik pejabat publik tersebut berbuat sesuatu kebijakan memanfaatkan kebijakan pragmatis bantuan sosial, menyalahgunakan kekuasaan secara sewenang-wenang, mengalahkan segala cara, cara-cara licik dan zalim hanya untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan meskipun melewati norma aturan main dan konstitusi negara yang berlaku.
Selain itu, perilaku pejabat publik di negeri ini berbuat sesuatu menjalankan kekuasaan secara sewenang-wenang memanfaatkan tenaga suara rakyat hanya untuk memenuhi hasrat kuasanya, lalu setelah terpilih menjadi anggota legislatif dan eksekutif kemudian suara-suara murni dari kedaulatan rakyat tersebut dicampakkan bahkan diabaikan.
Lalu, memanipulasi suara rakyat dengan sihir bantuan sosial, rayuan politik sesaat, dan membius rakyat dengan pertemuan formalisme untuk menutupi kelakukan bagi-bagi kue kekuasaan antar segelintir pejabat menelantarkan nasib sosial politik seluruh warga masyarakat kedepannya yang dalam kondisi tidak berdaya, terbelakang kualitas ekonomi pendidikan nya dalam kondisi diujung tanduk.
Pada akhirnya, kita sebagai warga negara, lebih-lebih masyarakat sipil kemudian bertanya secara kritis kepada perilaku pejabat publik yang mengembangkan tanggung jawab kekuasaan saat ini.
Mau di bawa kemana arah bangsa ini??
Mau di bawa kemana nasib warga negara ini?
Adakah political will pejabat-pejabat publik mewujudkan impian Indonesia kedepan??
Adakah akal budi dan hati nurani dari pejabat publik di negeri ini mewujudkan nilai-nilai menegakkan derajat martabat seluruh warga negara kedepan??
Semuanya kembali bertanya sambil merefleksi kepada akal fikiran dan hati nurani pejabat publik di negeri ini??
Tragiss
Jika saat ini kondisi demokrasi dibunuh oleh politisi pejabat yang berwatak penjahat, berarti mereka berdiri di atas bangkai-bangkai demokrasi yang susah payah diperjuangkan oleh diri mereka sendiri.
Artinya, tubuh demokrasi Indonesia mengalami compang camping tidak beraturan
Demokrasi hanya sebatas ornamen topeng untuk menutupi perilaku jahat politisi
Wajah demokrasi rapuh
Tubuh demokrasi rubuh
Kaki demokrasi lumpuh
Ohh tragisnya nasibmu demokrasi
Engkau babak belur, jiwamu mati suri
tergilas oleh hukum besi tirani politisi
Demokrasi riwayatmu kini
Engkau terbelenggu, tak berdaya mati
di tangan-tangan bengis para politisi