Di tengah era digital yang berkembang pesat, hubungan antara politik dan media menjadi semakin kompleks. Media bukan hanya menjadi saluran informasi, tetapi juga alat yang dapat membentuk opini publik, memengaruhi persepsi masyarakat, hingga menjadi sarana propaganda politik.
Secara ideal, media berfungsi untuk menyampaikan informasi yang akurat,objektif, dan relevan kepada masyarakat. Dalam konteks politik, media memainkan peran penting dengan melaporkan peristiwa, kebijakan pemerintah, hingga dinamika pemilu.
Namun, di balik peran penting tersebut, bias sering kali menyelinap ke dalam pemberitaan. Hal ini bisa disebabkan oleh afiliasi politik pemilik media atau pengaruh dari kepentingan tertentu.
Sebagai contoh,berita tentang kandidat politik sering kali dipoles untuk menonjolkan sisi positifatau menutupi kekurangan. Ketidakseimbangan seperti ini membuat masyarakat sulit mendapatkan gambaran yang utuh.
Selain sebagai sumber informasi, media juga sering dimanfaatkan sebagai alat propaganda politik. Di era digital, propaganda lebih mudah disebarluaskan melalui platform media sosial. Narasi-narasi tertentu dibuat untuk membangun citra atau menjatuhkan lawan politik, sering kali dengan cara yang manipulatif.
“Media sosial kini menjadi medan pertempuran utama dalam politik,” ujar Dr. Ahmad Fauzi, pakar komunikasi politik. Ia menjelaskan bahwa informasi yang dikemas dalam bentuk propaganda sering kali sulit dibedakan dari fakta. Hal ini membuat masyarakat rentan terjebak dalam manipulasi.
Propaganda sering kali tersembunyi di balik berita yang tampaknya netral. Misalnya, peliputan yang terlalu menonjolkan sisi positif atau negatif suatu pihak, hingga penyebaran informasi palsu atau hoaks. Di era digital, tantangan ini semakin besar karena media sosial memungkinkan penyebaran propaganda secara cepat.
Algoritma media sosial, menurut M. Arifin, seorang peneliti komunikasi digital, sering kali memperkuat bias pengguna dengan hanya menyajikan konten yang sesuai dengan preferensinya. Hal ini menciptakan ruang gema (echo chamber) yang memperkuat polarisasi di masyarakat.
“Ketika masyarakat hanya terpapar informasi yang mendukung keyakinan mereka, ruang diskusi yang sehat semakin sempit. Ini berbahaya bagi demokrasi,”
Tantangan lain yang tak kalah penting adalah disinformasi, yaitu penyebaran informasi palsu yang disengaja untuk menyesatkan. Disinformasi ini sering kali digunakan untuk menciptakan kebingungan atau membentuk opini tertentu. Dampaknya bisa sangat besar, terutama saat momentum politik seperti pemilu.
Data terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 60% masyarakat Indonesia pernah menerima berita politik yang ternyata tidak benar. Fenomena ini menyoroti pentingnya literasi media dalam membekali masyarakat untuk memilah mana informasi yang benar dan mana yang hanya opini atau manipulasi.
Menghadapi tantangan ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak. Berikut beberapa langkah strategis yang bisa diambil:
1.Meningkatkan Literasi Media: Pendidikan literasi media harus menjadi prioritas agar masyarakat dapat lebih kritis terhadap informasi yang mereka terima.
2. Regulasi yang Ketat: Pemerintah perlu mengatur dan mengawasi konten media agar tidak ada penyebaran hoaks atau propaganda yang menyesatkan.
3.Dukungan untuk Media Independen:Media harus menjaga independensi dan komitmen pada jurnalisme yang objektif, tanpa tekanan dari pihak mana pun.
Hubungan antara media dan politik akan terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Meski tantangan seperti propaganda dan disinformasi tidak akan sepenuhnya hilang, kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan media independen dapat menciptakan ekosistem informasi yang lebih sehat.
Dengan demikian, media tidak hanya menjadi alat bagi elite politik, tetapi juga pilar penting dalam menjaga demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas di Indonesia.