Akhir-akhir ini banyak para calon gubernur dan bupati berbondong-bondong sowan kepada para tokoh agamawan dalam berbagai acara semacam : maulidan, pengajian akbar ataupun meminta dukungan dengan embel-embel Islami. Hal disebabkan mayoritas bangsa ini adalah agama Islam yang sangat dijumpai dimana pun berada. Hampir setiap perdesaan sering kita kunjungi beragama Islam. Meskipun ada masyarakat non muslim juga. Apalagi edisi kali ini merupakan aksi pilkada yang selalu kita tunggu-tunggu.
Biasannya para calon menginginkan hal-hal yang dirasa membantu mengumpulkan masa demi kemenangannya. Tetapi tahukah kalian bahwasannya kegiatan tersebut iming-imingan uang ternyata sudah diperingatkan oleh Bawaslu. Sehingga terpaksa para calon diam-diam lagi untuk memastikan kondisinya terjamin aman. Alhasil mereka punya dukungan menarik simpati masyarakat memilihnya. Di Sukoharjo contohnya calon bupatinya masih sama dengan bupati sekarang Etik Suryani dan calon bupatinya baru yakni Mas Sapto.
Beberapa mereka survey didaerah lain dengan iming-imingan janji-janjinya. Percaya tidak percaya hanya merekalah calon bupati dan wakil bupati Sukoharjo satu-satunya di Sukoharjo. Lainnya kita kosong? Lah kenapa jadi begini ya? Karena ada kotak kosong yang dimana pasangan Etik Sapto kemungkinan besar bisa mudah memenangkannya. Apa tidak ada pasangan lain untuk calonnya? Jelas sangat aneh sekali mengingat masyarakat Sukoharjo pastinya berbeda-beda pilihannya.
Dia juga beberapa kali mengunjungi tokoh agamawan yang salah satunya di PKB atau Partai Kebangkitan Bangsa isinya Ulama semua. Pasti ada sisi ketidaksenangan dari warganya dong. Tapi lihat saja nanti siapa mengisi kotak kosong tersebut. Di Tingkat provinsi ada pasangan Luthfi Taj Yasin dan Andika Hendrar. Menariknya ada nama Taj Yasin putra alm KH Maimoen Zubair yang tahun kemarin juga sempat menjadi wakil Gubernur Jawa Tengah.
Dari sinilah pilkada menjadi sebuah trend bagi Ulama bahwa politikus bukan sekadar akademisi bergelar melainkan Ulama juga ikut kontribusi membangun kemajuan partainya agar eksistensi islam ikut terlibat meskipun Sebagian besar tidak mau menganggapnya. Sedangkan akademisi bergelar pun ikut menyuarakan kemeriahaan pilkada untuk memperlihatkan jika pendidikan bergelar harus mampu mengedepankan prinsip kebangsaan. Walaupun mereka memilih membungkam lantaran perbedaan akademisi bergelar kerja diluar kampus dengan kerja didalam kampus berlabel gelar akademisi.
Menarik untuk kaji secara mendalam mengenai peran Ulama dan akademisi di Pilkada kali ini? Simak baik-baik beberapa poin penting yang perlu kita pelajari :
Ulama Berjihad di Politik
Siapa sangka seorang Ulama bisa kiprah di Pilkada tahun ini? Multi persepsi inilah sebenarnya sudah lama terjadi di era 90 an dimana Ulama menjadi bagian penting terhadap dinamika politik Indonesia. Tetapi era Abdurahman Wahid politik menjadi sangat kompleks ketika seorang alumni pesantren, atau Gus putra Kyai ikut berpartisipasi terjun dunia politik. Karena pada saat itu peran Gus Dur sangat luar biasa diranah politik. Iya tidak hanya lihai mengkritik pemerintahan Soeharto tetapi mengajak para Ulama bahwa politik bukan tentang kasta elit akademisi bergelar. Justru santrilah menjadi bagian penting politik yang kelak dia akan menjadi Ulama.
Baru kemudian era Muhamimin Iskandar atau Cak Imin sampai Gus Yusuf sekarang menjabat ketua PKB Wilayah Jawa Tengah eksistensi Ulama di politik sangat krusial bahkan bisa dikatakan mengejutkan. Pertama politik sebagai jihad atau bahasa fikihnya siyasah yang memberikan sudut pandang bahwa kita umat Islam harus paham tentang politik tidak harus masuk bagian partai Islam. Jihad sebagai jalan untuk meluruskan kedzaliman pemerintahan yang terus merajalela. Dan terbukti beberapa negara menggunakan jihad ini meredam kedzaliman, kejahatan yang ditakutkan masyarakat. Negara dimaksud Arab Saudi, Maroko, Brunei Darussalam dan masih banyak negara sistem monarki Islam.
Kedua adalah mengendepankan guru ngaji di mushola, masjid, pondok pesantren, madrasah. Ini merupakan ijtihad Ulama Indonesia yang sebagian besarnya mengangkat martabat guru ngaji seperti guru lainnya atau PNS. Sangat masuk akal kejadian tersebut sebagai jasa yang tak bisa hanya dibayar uang saja melainkan ilmu dan pengetahuan. Prinsip ini sejalan di kemukakan Syekh Az-Zarnuji dalam karyannya berjudul Ta’alim Mutta’alim menekankan lebih mengedepankan ada kepada guru daripada kecerdasan muridnya.
Kitab ini sangat jelas bahwa Al-Ilmu Bil ‘Adab La Binnasab gunakan ilmu dengan adab tidak dengan nasab. Bukan berarti mengesampingkan nasab sebagai prioritas utama. Fokus pada adab yang mempunyai makna dimana pun berada entah anaknya kyai, habaib bila memiliki kedudukan guru maka wajib menghormati. Hal inilah menjadi sebab akibat santri meraih kemanfaatan ilmu dan pengetahuan.
Akademisi terlibat Politik
Akademisi ada dua yakni ia bergelar sarjana, megister namun tidak mengulang di kampus. Kedua yakni bergelar sarjana, megister ataupun doktor, professor yang mengulang di kampus. Secara akademisi yang masih mengajar biasannya mereka memilih melepaskan jabatannya di kampus untuk fokus ke politik. Contohnya kemarin ada Anies Baswedan yang dulunya pernah menjadi Rektor kampus Universitas Paramidana. Iya memilih mengundurkan diri dari kampus. Mahfud MD juga merupakan dosen pengajar. Memilih memundurkan diri dari kampus menjadi calon wakil presiden bersama Ganjar Pranowo.
Ganjar Pranowo juga bergelar akademik tapi tidak abdi di kampus. Memilih masuk terjun politik di partai PDI Perjuangan. Jokowi juga salah satu alumni Universitas Gajah Mada termasuk bagian akademik tapi tidak ngajar di kampus. Dan masih banyak kita temui Dimana pun berada. Tinggal bagaimana kita memilah memilih menyeleksi dengan baik. Bahkan pernah menjabat Walikota dan Gubernur. Sementara Ganjar juga pernah menjadi Gubernur Jawa Tengah. Pilihhan sesuai hati nurani kalian ya. Selamat pesta demokrasi Pilkada.