Pendahuluan
Dalam kehidupan manusia, penyakit atau ketidaksehatan tidak selalu berbentuk fisik saja, tetapi juga berbentuk nonfisik. Gejala-gejala yang timbul sangat beraneka ragam di berbagai usia, baik pada balita, remaja, dewasa, maupun lansia. Keberadaan penyakit nonfisik ini seakan telah menghantui kehidupan mereka.
Dalam hal ini, fokus utamanya adalah kesehatan mental atau mental health. Kesehatan mental sering dikaitkan dengan gejala penyakit nonfisik, namun hal tersebut sangat memengaruhi fisik tubuh seseorang. Kondisi ini mulai dari stres, depresi, hingga rasa cemas berlebihan yang sering diistilahkan sebagai Anxiety Disorder.
Konten-konten yang tersebar luas di media sosial banyak menyinggung kerisauan tentang tingginya persentase masyarakat yang mengalami Anxiety Disorder. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada kalangan usia muda, akan tetapi juga banyak dialami oleh orang dewasa maupun lansia.
Sebuah konten TikTok menyebutkan bahwa kalangan usia remaja saat ini, atau sering kita sebut sebagai Gen Z, mempunyai masalah kesehatan mental dengan persentase 18%.
Sementara itu, kalangan di atasnya, yakni generasi milenial, mempunyai masalah kesehatan mental dengan persentase 13%. Selanjutnya, para orang dewasa atau Gen X memiliki persentase 11% dan kalangan orang tua atau Boomer dengan persentase 6%.
Bahkan, konten tersebut menegaskan fakta lain di Indonesia. Gen Z mengklaim bahwa mereka mengalami masalah kesehatan mental dengan persentase 59%, sementara generasi milenial berada di angka persentase 39% (Raymond Chin, 2023). Angka ini tergolong fantastis jika survei ini telah tervalidasi atau terkonfirmasi kebenarannya.
Secara khusus terkait Anxiety Disorder, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga menyebutkan data yang mengejutkan. Ia menyatakan bahwa 32 juta warga negara Indonesia terkena gangguan mental dan mayoritas adalah Anxiety Disorder (Stefanni, 2024).
Tentu dengan isu tersebut, kita sangat perlu mengkaji permasalahan kesehatan mental, khususnya penyebab dan dampak yang mungkin ditimbulkan oleh Anxiety Disorder. Situs website Siloam Hospitals menjelaskan bahwa Anxiety Disorder merupakan salah satu gangguan mental yang menggiring penderitanya pada perasaan cemas berlebihan.
Jika terjadi terus-menerus, hal ini mampu mengganggu ataupun menghambat aktivitas sehari-hari sehingga patut diwaspadai. Situs ini mengklaim bahwa penyebab pasti Anxiety Disorder belum diketahui. Akan tetapi, terdapat beberapa faktor yang sangat memengaruhi risiko gangguan ini, yaitu faktor genetik, faktor biologis, dan faktor lingkungan (Biromo, 2024).
Selain itu, situs tersebut juga menjelaskan gejala yang dapat dikenali ketika seseorang mengalami gangguan kecemasan. Gejala tersebut antara lain: 1) Mengalami rasa cemas, takut, dan khawatir yang berlebihan serta terkesan tidak wajar; 2) Sulit untuk mengontrol kecemasan tersebut; 3) Merasa gelisah tanpa ada sesuatu yang menjadi sebab pasti; 4) Sulit untuk berpikir dan berkonsentrasi; 5) Mengalami susah tidur dalam waktu yang lama, berhari-hari, bahkan sampai berminggu-minggu; 6) Panik tanpa sebab yang biasanya disertai keringat dingin, jantung berdebar hebat, rasa ingin pingsan, sulit mengontrol diri, bahkan lemas hingga pingsan.
Para akademisi, baik dalam lingkup kedokteran maupun psikologi, terus melakukan berbagai upaya penanganan gangguan kecemasan ini. Di sisi lain, agama Islam pada dasarnya juga telah menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan pada konteks ini.
Sebagai sebuah agama, literatur Islam turut serta dalam pembicaraan Anxiety Disorder, namun dari sudut pandang dan upaya penanganan yang berbeda. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Surah Fussilat Ayat 30:
إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَٰمُوا۟ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَبْشِرُوا۟ بِٱلْجَنَّةِ ٱلَّتِى كُنتُمْ تُوعَدُونَ
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.
Berdasarkan keterangan tersebut, Islam memandang kecemasan sebagai sebuah hal yang wajar. Meskipun demikian, dalam tingkatan medis, kecemasan sering muncul dalam angka yang tinggi yang dimaksud sebagai Anxiety Disorder.
Namun, ketika seorang muslim telah menguatkan keyakinannya kepada Tuhannya dan meneguhkan pendirian atas segala sesuatu yang menimpanya, maka Tuhan menghadirkan jaminan rasa gembira. Allah akan menyingkirkan rasa takut dan sedih di hati mereka.
Oleh karena itu, ketika seorang muslim mengalami kecemasan atau permasalahan gangguan kesehatan mental, seyogianya ia mengembalikan semua persoalan kepada Tuhannya.
Dengan demikian, rasa takut dan cemas tidak lagi menyelimuti hatinya. Selain itu, Islam juga mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa berdoa ketika mengalami rasa cemas dalam segala situasi, sebagaimana doa berikut:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الهَمِّ وَالْحُزْنِ، والعجز والكسل والبُخْلِ والجُبْنِ، وضَلْعِ الدَّيْنِ وغَلَبَةِ الرِّجال
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari kekikiran dan dari kepengecutan, dari terlilit utang dan dikuasai oleh manusia (yaitu orang lain). (Alawy, 2021)
Hal ini didasari keyakinan bahwa Allah sendiri menegaskan Dia tidak akan meninggalkan ataupun membenci makhluk-Nya atas sikap yang timbul pada setiap kehendak-Nya. Penegasan ini termuat dalam Surah Adh-Dhuha ayat 3:
مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ
Artinya: “Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.”
Atas dasar-dasar inilah, esai ini disusun menggunakan metode penelitian kualitatif. Penulis mendukung tulisan ini dengan sumber referensi kepustakaan dan data dari media sosial. Tujuannya adalah memberikan gambaran tentang kajian keislaman yang membahas Anxiety Disorder sebagai opsi solusi.
Penulis menghadirkan tasawuf yang termuat dalam nilai-nilai kajian teks Al-Hikam karya Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari. Hasil yang termuat diharapkan dapat diterapkan sebagaimana mestinya sebagai pengobatan agamis di samping pengobatan medis maupun psikis.
Tinjauan Pustaka
Penelitian terdahulu yang termuat dalam jurnal karya Atika dan Dessy membahas persoalan yang sama. Mereka menemukan sebuah opsi yang dapat dijadikan solusi untuk mengatasi gangguan kecemasan, yaitu dengan menerapkan CBT (Cognitive Behavior Therapy) (Fadillah & Pranungsari, 2023).
Selain itu, penelitian berbeda menemukan opsi lain berupa REBT (Rational Emotive Behavior Therapy). Metode ini diklaim mampu mengurangi potensi terjadinya Anxiety Disorder secara terus-menerus. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa melalui terapi ini, pasien berpotensi membangun kembali pikiran-pikiran rasional dan sikap optimis. Kedua keadaan tersebut mampu mengurangi risiko yang terjadi pada pasien Anxiety Disorder (Srifianti, 2018).
Sementara itu, Anxiety Disorder dalam Islam dapat ditelaah melalui kajian tentang esensi dari sifat Khauf, Halu’, dan Huzn. Meskipun pada dasarnya, istilah anxiety itu sendiri merupakan istilah baru dalam Islam ketika membicarakan rasa cemas (Fauziah et al., 2023).
Analisis
Islam senantiasa mengajarkan pemeluknya untuk bisa mengambil hikmah atau pelajaran dari segala bentuk peristiwa yang menimpanya. Baik itu hal yang baik maupun yang buruk dalam persepsi manusia. Sebagaimana dikatakan oleh Imam As-Sakhawi, “Ambillah hikmah, tak akan merugikanmu, dari mana pun ia lahir” (Fauzi, 2022).
Al-Hikam merupakan sebuah karya seorang sufi besar bernama Syekh Ahmad Ibn Muhammad Ibn Abdul Karim Ibn Abdurrahman Ibn Abdullah Ibn Ahmad Ibn Isa Ibn Husain Ibn Athaillah As-Sakandari. Beliau adalah seorang pengikut Tarekat Syadziliyyah dan merupakan ulama sufi terkemuka di dunia.
Dalam kitab Al-Hikam tersebut, beliau menuliskan beberapa kalimat yang menyinggung tentang kecemasan beserta apa yang seharusnya dilakukan oleh pasien yang mengalaminya. Salah satunya adalah:
مِنْ عَلاَ مَةِ اْلاِعْـتِــمَادِ عَلَى الْعَمَلِ، نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُـودِ الزّ َلَلِ
“Sebagian tanda bahwa seseorang itu bergantung pada kekuatan amalnya dan usahanya yaitu berkurangnya pengharapan atas rahmat dan karunia Allah ketika terjadi padanya suatu kesalahan dan dosa”. (As-Sakandary, 2015, p. 23)
Kecemasan setidaknya timbul akibat banyaknya angan-angan tentang hal yang akan terjadi di waktu mendatang. Ketika angan-angan tersebut berhasil menghantui seseorang, perasaan cemas akan membawanya pada ketakutan bahwa sesuatu tidak sesuai ekspektasi dan harapannya. Poin inilah yang dimaksud dalam kutipan hikmah di atas.
Bergantung pada amal dan usaha semata tidak akan membawa ketenangan dan keberhasilan jika seseorang tidak lagi mengharapkan rahmat dan karunia Allah. Tidak ada baiknya usaha seseorang tanpa didasari rasa pengharapan kepada Tuhan untuk kesuksesan dan kebahagiaannya.
Oleh karena itu, seorang muslim, terutama ketika ingin terhindar dari gangguan kecemasan, seyogianya selalu melibatkan Allah dalam segala bentuk usahanya. Ia harus berdoa untuk kesuksesan dan keberhasilannya. Ketika hal ini mampu dilakukan, perasaan cemas tidak akan menghantui hati seseorang sehingga dirinya dilingkupi dengan ketenangan.
Pada poin selanjutnya, Ibnu Athaillah mengatakan:
لاَ يَــكُنْ تَــأَخُّرُ أَ مَدِ الْعَطَاءِ مَعَ اْلإِلْـحَـاحِ فيِ الدُّعَاءِ مُوْجِـبَاً لِـيَأْسِكَ؛ فَـهُـوَ ضَمِنَ لَـكَ اْلإِجَـابَـةَ فِيمَا يَـخْتَارُهُ لَـكَ لاَ فِيمَا تَـختَارُ لِـنَفْسِكَ؛ وَفيِ الْـوَقْتِ الَّـذِيْ يُرِ يـْدُ لاَ فيِ الْـوَقْتِ الَّذِي تُرِ يدُ
“Janganlah keterlambatan atau tertundanya waktu pemberian Tuhan kepadamu, padahal engkau bersungguh-sungguh dalam berdo’a menyebabkan putus harapan. Sebab Allah telah menjamin dan menerima semua do’a dalam apa yang Dia kehendaki untukmu, bukan menurut kehendakmu dan pada waktu yang ditentukan-Nya bukan pada waktu yang kamu tentukan”. (As-Sakandary, 2015, p. 65)
Juga dalam ungkapan lain:
اِن لَمْ تُحْسِنْ ظَنـَّكَ بِهِ لاَجْلِ حُسنِ وَصْفِهِ فَحَسِّنْ ظَنـَّكَ بهِ لِوُجوُدِ مُعَامَلتِهِ مَعَكَ فَهَلْ عَوَّدَكَ الاَّ حَسَناً اَسدىَ اِليكَ الاَّ مَنَناً
“Jika engkau tidak bisa berbaik sangka (husnuzan) kepada Allah karena sifat-sifat Allah yang baik itu, berbaik sangkalah kepada Allah karena karunia pemberian-Nya kepadamu. Tidakkah selalu Dia memberi nikmat dan karunia-Nya kepadamu.” (As-Sakandary, 2015, p. 94)
Jika poin sebelumnya membicarakan metode awal yang harus dilakukan, maka poin ini adalah langkah akhir yang harus ditempuh ketika mengalami gangguan kecemasan. Sebagaimana diungkap sebelumnya, terdapat beberapa faktor pemicu kecemasan, salah satunya adalah lingkungan.
Secara umum, lingkungan bisa diartikan sebagai tempat tinggal juga tempat bernaung. Lingkungan memiliki potensi tinggi sebagai pemicu terjadinya gangguan kecemasan. Hal ini khususnya terjadi ketika seseorang berada dalam lingkungan yang fanatik akan kesuksesan dan selalu membenturkannya dengan kekayaan.
Akibatnya, semua orang berlomba-lomba mendapatkannya dan pasti melibatkan doa sebagai media penghubung dengan Tuhan. Namun, ketika seseorang merasa lelah karena doanya tak kunjung dikabulkan Allah, perlahan setan akan memicu nafsunya. S
etan akan menggiring hatinya agar berada dalam kegelisahan dan kecemasan. Inilah yang diungkapkan dalam hikmah tersebut. Pada dasarnya, segala doa pasti diterima, dikabulkan, dan dijamin oleh Allah, namun cara pengabulannya merupakan hak prerogatif-Nya. Segala sesuatu yang dikehendaki Allah adalah baik, akan tetapi manusialah yang kadang khilaf dalam menilainya sebagai hal yang buruk.
Oleh sebab itu, poin akhir dalam hikmah tersebut menganjurkan kita untuk selalu berhusnuzan atau berbaik sangka kepada Allah. Kita harus berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang telah dikehendaki Allah pasti menjadi kebaikan, bukan sebaliknya. Cara-cara seperti ini mampu menenangkan jiwa manusia dengan refleksi yang menggerakkan hati menuju kedamaian.
Penutup
Hikmah yang termuat dalam kitab Al-Hikam karya Ibnu Athaillah telah memberikan penawaran bijaksana dalam upaya mengatasi serta menanggulangi gangguan kecemasan. Solusi ini hadir melalui dimensi spiritual dan refleksi diri.
Dengan meningkatkan keyakinan, sikap rida, serta tawakal, seseorang dapat mencapai ketenangan jiwa yang diharapkan. Melalui hal ini pula, manusia akan terlepas dari belenggu-belenggu setan yang selalu menghantui dirinya dalam segala tindakan.
Kebijaksanaan ini bukan hanya untuk mengatasi Anxiety Disorder saja. Lebih dari itu, ajaran ini juga menjadi solusi segala persoalan yang mengganggu ketenangan jiwa. Konsep ini akan selalu relevan untuk diterapkan, baik di masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Daftar Pustaka
Alawy, A. (2021, Mei). Kisah Abu Umamah yang Terlilit Utang dan Doa dari Rasulullah. https://jabar.nu.or.id/doa/kisah-abu-umamah-yang-terlilit-utang-dan-doa-dari-rasulullah-S2CsX
As-Sakandary, I. A. (2015). Kitab Al Hikam: Jalan Kalbu Para Perindu Allah Swt (A. Mustaqim, Trans.). Shahih.
Biromo, A. R. (2024, Mei). Gangguan Kecemasan Anxiety Disorder—Penyebab, Gejala, Jenis, dan Pengobatannya. https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/anxiety-disorder
Fadillah, A. O., & Pranungsari, D. (2023). Penerapan Cognitive Behavior Therapy Untuk Mengatasi Gangguan Cemas Menyeluruh Pada Dewasa Awal. Psycopreneur Journal, 8(1), 1–15.
Fauzi, M. R. (2022, Oktober). Orang yang Berpikir Mengambil Hikmah Atas Segala Sesuatu. https://jabar.nu.or.id/hikmah/orang-yang-berpikir-mengambil-hikmah-atas-segala-sesuatu-TsJeK
Fauziah, A., Zainuddin, A., Mahmud, A., & Mufid, M. A. (2023). Anxiety Disorder Dalam Al-Qur’an (Telaah Lafadz Khauf, Halu’ dan Huzn). Triwikrama : Jurnal Multidisiplin Ilmu Sosial, 01(02), 77–106.
Raymond Chin (Director). (2023, November 17). Gen Z, Generasi Tanpa Masa Depan? [Video recording]. https://www.youtube.com/watch?v=P7vGmz2s8Rw
Srifianti, S. (2018). Pengaruh Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) Terhadap Penurunan Simtom Generalized Anxiety Disorder (GAD). Jurnal Psikologi, 15(2), 92–99.
Stefanni, D. M. (2024, Mei). Menkes Ungkap 32 Juta Warga RI Kena Gangguan Mental, Anxiety-Bipolar. https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7335137/menkes-ungkap-32-juta-warga-ri-kena-gangguan-mental-anxiety-bipolar

