Oleh: Intan Syamikhoh*
KULIAHALISLAM.COM – Sebagaimana yang kita ketahui selama ini, para fuqoha’ yakni ulama’ ahli fikih bersepakat bahwa hadits adalah sumber rujukan kedua setelah Alqur’an dalam Islam. Dulu, Pada zaman Rasulullah, tersebar luasnya hadis sangatlah mudah, sahabat saling mengajarkan kepada sahabat yang lain apa yang ia dengar dari rasulullah tanpa melalui proses jarh wa ta’dil dan sebagainya, karena hadits yang tersampaikan dari sahabat ke sahabat lainnya sumbernya sudah jelas langsung dari rasulullah SAW.
Namun pasca wafat Rasulullah, marak terjadi pemalsuan hadis. Sehingga demi menjaga dan memelihara keotentikan, keaslian dan kepahaman hadis agar tetap selaras dan sejalan dengan tafsir makna Alqur’an dari satu generasi ke generasi yang lain, maka para ulama’ dari golongan sahabat sepakat menyusun ilmu Dirayah dan Riwayah, yang mencakup ilmu rijalul hadis, ilmu jarh wa ta’dil, dan ilmu tarikh ar-ruwah untuk meneliti perawi hadis tentang adil dan dhabitnya perawi, tentang masa hidup perawi, data guru-guru dan murid-murid perawi, apakah semasa atau tidak, dan apakah hadits yang diriwayatkan bisa dipastikan keasliannya serta bisa dijadikan sebagai hujjah atau tidak.
Berbagai penerbitan buku-buku agama, apalagi yang di dalamnya mengutip hadis nabi sudah melalui review dan mendapat izin edar, tetapi ada juga buku agama yang diterbitkan yang di dalamnya juga mengutip hadis tanpa melalui tashih hadits, dan nyatanya hadis yang dikutip tadi adalah hadits palsu.
Di Malaysia, seperti halnya buku novel perempuan nan bercinta karya Faisal Tehrani, karena didalam buku tersebut tertulis 40 hadis, dan terbukti dua hadis diantaranya palsu, juga didalam buku tersebut terdapat unsur mempromosikan ajaran Syi’ah. Jadi soal Kerajaan Malaysia yang mengharamkan buku tersebut melalui KDN (Kementerian Dalam Negeri) adalah suatu hal yang wajar.
Juga beberapa buku yang mengutip hadis palsu dinegara Malaysia diantaranya adalah majalah muslimah (2001), majalah nur (2005), buku Agama dan falsafah (2003), terjemah hayatus sohabah karya syaikh Muhammad Yusuf al-Kandahlawi, buku 13 keajaiban amalan surat-surat pilihan, buku kelebihan amalan bulan rajab sya’ban ramadhan, dan beberapa buku lainnya.
Tersebarnya hadis palsu bermula dari oknum-oknum atasan yang bergairah untuk memotivasi orang lain untuk melakukan kebaikan, sehingga mereka mengutip hadis-hadis yang menganjurkan amalan-amalan yang berpahala tanpa meneliti kesahihan periwayatan hadits tersebut, seperti hadis yang menganjurkan ibadah salat pada siang dan malam asyuro, malam nishfu sya’ban, hadits tentang berakhlak yang baik, taat, zuhud, yang semuanya adalah hadis maudlu’ atau palsu yang sanadnya tidak sambung dengan Rasulullah. Namun untuk hadis berstatus maudlu’ yang menerangkan fadhoil Al-a’mal, boleh diamalkan dengan niat mengharap ridlo Allah semata.
Ketika seseorang ingin mengutip hadis nabi, harus ada usaha untuk meneliti status kebenaran dan kesahihan hadis tersebut, walaupun matannya berisi tentang besarnya pahala suatu amalan, tetap tidak dibenarkan jika hadis tersebut memang bukan dari Rasulullah. Dan haram hukumnya mengatas namakan Rasulullah atas suatu yang bukan dari beliau.
Bahkan dalam kitab shahih muslim Rasulullah SAW. Bersabda: “man kadzaba ‘alayya muta’ammidan falyatabawwa’ maq’adahu min an-nar” “Barang siapa yang berdusta atas diriku dengan sengaja, maka bersiaplah dia menempati tempatnya di neraka”.
Lain halnya dengan seseorang yang membacakan hadis maudlu’ dengan tujuan menjelaskan tentang kepalsuannya, seperti pengajaran materi hadits maudlu’ di beberapa Universitas atau sekolahan, maka para Ulama’ sepakat memperbolehkannya.
Jalan paling aman untuk menghindari penyampaian hadits palsu adalah ketika seseorang hendak menyampaikan suatu yang belum ia yakini kehaditsannya, katakan saja bahwa itu adalah sebuah maqolah. Terlepas apakah itu sebuah hadits sabda Rasulullah atau bukan, ia sudah tidak berdosa. Lebih-lebih ketika ia sudah tau itu bukan hadits namun ia menyampaikan kepada orang lain dan mengatakan itu hadits, maka ia masuk dalam ancaman Rasulullah “falyatabawwa’ maq’adahu min an-nar”.
Mayoritas penceramah selalu merujuk pada kitab-kitab hadits yang ia yakini keshahihan haditsnya, seperti kitab shahih bukhari, shahih muslim.shahih ibnu hibban, dan shahih ibnu khuzaimah.
*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Editor: Adis Setiawan