Tokoh

Pengaruh Pemikiran Al Ghazali: Etika Guru dan Murid dalam Pendidikan

4 Mins read
KULIAHALISLAM.COM – Sudah mafhum bahwa kedudukan Al-Ghazali dan karya-karyanya bagi masyarakat muslim termasuk di Indonesia tidak dapat disangsikan menempati posisi yang sangat penting. 
 
Keistimewaan Al-Ghazali tidak saja terletak pada penguasaannya yang mendalam tentang berbagai aspek ajaran Islam, tetapi juga kemampuannya melahirkan karya-karya tulis yang dapat menyentuh kebutuhan umat Islam tentang ajaran agama yang memadai.
 
Sebelum Al-Ghazali, ada imam-imam besar seperti gurunya, yakni Imamul Haramain, guru dari sang guru, yaitu Al-Qadhi Al-Baqillani, guru Al-Baqillani, Abul Hasan Al-Asy’ari. 
 
Semuanya adalah pemberi petunjuk dan pelita di dalam kegelapan. Akan tetapi, pengaruh mereka hanya terbatas pada kalangan orang-orang pandai saja, dalam hal ini tidak menyentuh kepada seluruh umat Islam secara umum.
 
Sekilas popularitas Ihya’ Ulumuddin
Syahdan. Sebagaimana diketahui bahwa popularitas Al-Ghazali di kalangan masyarakat muslim Indonesia, agaknya sangat tergantung pada popularitas karyanya yang berjudul “Ihya’ Ulumuddin”.
 
Karya terkemuka Al-Ghazali ini telah dianggap oleh kalangan masyarakat muslim Indonesia sebagai karya yang paling penting dan paling mendasar tentang ajaran Islam, sekalipun terdapat sejumlah kritikan yang dialamatkan kepadanya.
 
Di antara kritikan itu adalah ia dianggap sebagai penyebab kemunduran dunia Islam lantaran pemikirannya yang lebih bercorak teosentris dari pada antroposentris. Namun demikian, terlepas dari pro-kontra itu, nampaknya pengaruh pemikiran Al-Ghazali khususnya dalam pendidikan menjadi sangat menarik untuk dibahas.
 
Anda tahu, Kitab “Ihya’ Ulumuddin” adalah yang paling banyak dipelajari ketika mendalami ajaran-ajaran kesufian. Karena pengaruh kuat dari kitab tersebut, maka boleh dikatakan, tidak pernah ada ekses-ekses yang ditimbulkan kaum sufi di pesantren, baik dalam hal pengembangan ajaran-ajarannya maupun dalam amalan-amalannya.
 
Kalau pengaruh ini dikaitkan dengan pemikirannya tentang hal-hal yang lebih spesifik, seperti etika guru dan murid, maka nampaknya sulit menemukan literatur yang secara eksplisit menyebutkan pengaruh Al-Ghazali dalam masalah ini, kecuali dalam beberapa hal.
 
Selebihnya mungkin akan lebih arif kalau kita katakan sebagian praktik etika guru dan murid pada pondok pesantren, mempunyai kesamaan dengan pemikiran Al-Ghazali. Kesamaan itu boleh jadi hasil pengaruh dari pemikiran Al-Ghazali, kesamaan boleh jadi juga merupakan pengaruh pemikiran tokoh-tokoh tertentu selain Al-Ghazali.
 
Cak Nur (Nurcholish Madjid) misalnya menyebutkan, kitab “Ta’lim Al-Muta’allim” karangan Syekh Al-Zarnuji adalah salah satu dari sekian kitab yang sangat mempengaruhi hubungan kiai dan santri. Tidak diragukan lagi bahwa, setiap santri diharapkan memenuhi tuntutan kitab itu dalam sikapnya terhadap kiai.
 
Tak berhenti di situ, kitab ini penting menjadi bacaan di pondok pesantren, bacaan wajib ketika sang santri memulai belajar. Kitab ini diwajibkan di hampir seluruh pesantren di Indonesia. Bahkan kitab ini merupakan semacam “kode etik” bagi santri, baik ketika menuntut ilmu, maupun ketika kelak sudah menjadi “orang” di masyarakat.
 
Etika guru dan murid dalam pendidikan
Kita tahu, bahwa hubungan guru-murid yang intensif pada masuknya Islam pertama kali ke Nusantara bukanlah hal baru, melainkan telah ada dalam pandangan Budha dan Hindu yang berpengaruh hingga kini.
 
Di dalamnya, banyak terkandung unsur-unsur “pra-Hindu” terdahulu. Juga di sini “khas” hubungan guru-murid, bahwa murid mempunyai rasa hormat yang mendalam dan berdasarkan rohaniah terhadap gurunya.
Salah satu etika murid menurut pemikiran Al-Ghazali adalah hendaknya ia menjauh dari keluarga dan kota tempat tinggal. 
 
Dalam tradisi Islam di Indonesia, kegiatan mencari pengetahuan paling jelas tercermin dalam tipe ideal santri yang bertualang, yang pindah dari pesantren ke pesantren dan setiap kali menetap, sampai sang kiai dapat membantu mereka memperoleh pengetahuan dan pandangan yang baru.
 
Lebih jauh dikatakan, memasuki sebuah pesantren sekaligus menandai terlepasnya hubungan hierarkis yang kuat dari keluarga dan desa serta peralihan kepada suatu tatanan sosial yang baru. Yang diperlukan di sini adalah, intensitas seseorang untuk turut serta dalam kehidupan keagamaan dan dalam pelajaran di pesantren.
 
Kiai di pihak lain, mengambil alih peran lanjutan dari orang tuanya. Ia adalah sebagai ayah dan guru, sekaligus pimpinan rohaniah keagamaan serta bertanggung jawab untuk perkembangan kepribadian maupun kesehatan jasmaniah anak didiknya.
 
Etika murid yang lain adalah berkaitan dengan tujuan belajar pendidikan yang ditekuninya. Dalam dunia pesantren, tujuan pendidikan tidak berkiblat kepada sekolah-sekolah lanjutan, dengan ujian akhir dan ijazah sebagai tanda bukti kelayakan sekolah lanjutan ke tingkat sekolah berikutnya.
 
Sebab, tujuan pesantren adalah membentuk kepribadian, memantapkan akhlak dan melengkapinya dengan pengetahuan. Mereka diharapkan setelah kembali ke kampung halamannya menempuh hidupnya sebagai muslim teladan, menyiarkan nilai-nilai dan gambaran kemasyarakatan Islam: pengabdian sosial, ketulusan, kesahajaan, pribadi-pribadi atau sifat-sifat yang dapat dituangkan dalam suatu pengertian utama dari pendidikan yang ideal, yakni “keikhlasan”.
 
Misalnya adalah Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur yang berdiri sejak 1926 adalah, salah satu contoh pesantren yang sangat menekankan pembentukan kepribadian dan pendidikan moral, meski pesantren ini telah memperoleh nama yang istimewa untuk program bahasa asingnya (bahasa Arab dan bahasa Inggris).
 
Pada pesantren modern ini, “suluk” (kelakuan) santri menjadi kata kunci dan di atas segala-galanya, yang lazim diindikatorkan di dalam Raport minimal 8 (delapan). 
 
Sebaik apapun tingkat intelegensia santri dan setinggi apapun nilai akademik yang diperolehnya, jika suluk-nya mendapat nilai kurang dari 8 (delapan), maka ia dikategorikan santri yang tidak dapat dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi. Bahkan, dalam kasus-kasus dan batas-batas tertentu, hukuman terpaksa diberikan dengan sangsi yang paling berat dipulangkan.
 
Sehubungan dengan pembentukan “keikhlasan” pada jiwa santri seperti itu, ternyata juga harus dibarengi dengan keikhlasan guru-guru dalam mengajar. Di beberapa pondok pesantren, guru tidak mendapatkan bayaran (upah maupun gaji). Mereka menyebutnya dengan istilah “mengabdi”, bukan “bekerja” atau “menghonor” pada pesantren.
 
Dengan demikian, motivasi mengajar di pesantren tidak untuk mendapatkan upah atau bayaran. Sekalipun ada “timbal baliknya” dari pesantren, maka itu tidaklah memadai dan hanya sekedar kehidupan sehari-hari mereka yang sangat terbatas. Inilah sesungguhnya yang dikehendaki oleh Al-Ghazali.
 
Dalam konteks ini, Kiai Imam Zarkasyi (w. 1985), Pimpinan Pondok Modern Gontor menempatkan “keikhlasan” pada urutan pertama dalam “Panca Jiwa” pondoknya. Setelah itu baru kesederhanaan, persaudaraan, menolong diri sendiri, dan kebebasan.
 
Kitab-kitab dasar yang harus dipelajari
Berkaitan dengan materi pendidikan di pesantren sekalipun Ilmu agama (akhirat) menjadi “stressing” pengajaran di pesantren, namun di beberapa pesantren, ilmu-ilmu umum dan ketrampilan juga mendapat perhatian khusus.
 
Spektrum naskah agama, yang harus dibaca atau dipelajari oleh seorang santri mencakup yaitu Sintaksis Arab (nahwu dan sarraf), Hukum Islam (fiqh dan ushul fiqh), Hadits, Tafsir Al-Qur’an, Teologi Islam (tauhid), tasawuf, tarikh (sejarah) dan retorik (balaghah).
 
Menurut M. Dawam Rahardjo, tidak bisa diragukan lagi bahwa apa yang diajarkan di pesantren-pesantren, betapapun masih aslinya, bukanlah hal-hal yang sifatnya semata-mata ukhrawi melainkan pula sifatnya duniawi.
 
Di Pondok Modern Gontor misalnya, pengajaran ilmu-ilmu umum ini jelas sekali menjadi kurikulum pondok, seperti Ilmu Bumi, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Nabat (tumbuh-tumbuhan), Ilmu Ukur, Al-Jabar, Sejarah, Ilmu Hayat, dan lain sebagainya.
 
Dalam pengajaran Ilmu Bumi dan kosmografi, pengajarannya bersifat menguraikan dari gambaran pokok yang bulat yang menunjukkan kesatuan kedudukan (geografis) dan kesatuan sistem, kemudian diuraikan kedudukan dan fungsi masing-masing. Jalan seperti ini sering diceritakan oleh kiai sebagai jalan yang ditempuh Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun. 
Wallahu a’lam bisshawaab.
 
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.
25 posts

About author
Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.
Articles
Related posts
KeislamanTokoh

Gus Ulil: Al Ghazali dan Dosis Ilmu Yang Harus Kita Pelajari (3) Ilmu dan Ilmuwan

5 Mins read
Di dunia barat, ilmu dan ilmuwan adalah dua sisi yang berbeda dan tidak berkelindan, di mana etika ilmu dan etika ilmuwan bercerai….
ArtikelPendidikanTokoh

2045: Generasi Cemas Era Post-Truth?

6 Mins read
Indonesia adalah negeri yang kaya, baik dari segi alam maupun budaya. Dengan segala kekayaan yang dimiliki, tidak heran jika pemerintah mengusung visi…
KeislamanTokoh

Gus Ulil: Al Ghazali dan Dosis Ilmu Yang Harus Kita Pelajari (2) Ilmu Yang Berfaedah

3 Mins read
Pada hakikatnya tidak ada cela atau “kecelaan” pada ilmu itu sendiri. Pengetahuan yang sesuai dengan realitasnya, termasuk misalnya ilmu sihir sebagai ilmu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Berita

Bawaslu Adakan Sosialisasi dan Launching Pemetaan Pemilihan 2024

Verified by MonsterInsights