Penulis: Afidatun Nisauzaroh*
Konsep ontologi Tuhan telah menjadi titik fokus penting dalam sejarah filsafat dan teologi Islam. Dalam konteks ini ada dua tokoh penting yang patut diperhartikan yakni Suhrawardi dan Mulla Sadra, kedua filsuf ini hidup pada masa yang berbeda tetapi karya mereka berdampak signifikan pada pemahaman tentan sifat Tuhan dan hubungannya dengan alam semesta.
Nama lengkap Suhrawardi adalah Shihab Ad-Din Yahya ibn Amirak Abu Al-Futuh Al-Suhrawardiy. Dia menerima gelar Syekh Al-Isyraq dan Al-Maqtul, gelar pertama karena dianggap pelopor pertama Israqiyyah, atau filsafat pencerahan, meskipun diberi gelar Al-Maqtul, murid-muridnya tidak setuju. Mereka lebih memilih gelar Abu Syahid karena beberapa laporan mengatakan dia dibunuh karena pemikirannya yang unik.
Ia lahir di sebuah desa dekat kota Zanjani di Iran Utara, tanggal dan tahun kelahirannya tidak diketahui. Menurut beberapa pengamat Suhrawardi, al-Syahruzi mengidentifikasi dirinya lahir pada tahun 545 H/1166 M. atau 550 H/1170 M. Henry Corbin menyatakan bahwa ia lahir pada tahun 54 H/1155 M, lain lagi menurut SH. Menurutnya, tahun kelahiran Nasr adalah 549 H/1153, menurut Irfan Abdul Hamid Fatah, dari ketiga pendapat tersebut di atas, Henry Corbin yang paling benar.
Sedangkan nama lengkap Mulla Sadra adalah Sadr Al-Din Muhammad Ibrahim Yahya Qawami Shirazi (1571-1636), Mulla Sadra pada hakikatnya dapat dikatakan sebagai filosof Islam yang paling penting setelah Ibnu Sina. Filsuf ini juga disebut Al-Muta’allihin karena pendekatannya terhadap filsafat, teologi, dan intuisi mistis, dia merekomendasikan metode filosofi radikal yang melampaui dikotomi sederhana antara model data melalui pemikiran rasional-diskursif dan model data yang lebih intuitif, puitis, dan non-sugestif.
Hal ini membuat Mulla Sadra terkenal sebagai pemikir yang mampu merevolusi doktrin eksistensial metafisika Islam. Sayyed Hossein Nasr dan Henry Corbin menyebutnya “Sekolah Isfahan”. Baik Suhrawardi maupun Mulla Sadra hidup dalam konteks intelektual yang dipengaruhi oleh pemikiran Yunani klasik seperi Plato dan Aristoteles serta tradisi Islam yang kaya dan beragam.
Mereka juga dipengaruhi oleh filsafat dan mistisisme Persia awal, serta ajaran Islam dan pemikiran teologis yang berkembang dalam tradisi Syiah dengan latar belakang yang kompleks ini, Suhrawatdi dan Mulla Sadra mengembangkan cara berfikir mereka tentang ontologi Tuhan.
Pemikiran mereka mencerminkan kombinsi warisan spiritual klasik dan pengaruh Islam yang mendalam, memberikan kontribusi orisinal dan berharga untuk memahami hubungan antara Tuhan, alam semesta, dan pengalaman manusia.
Ontologi dalam Filsafat Iluminasi Suhrawardi
Suhrawardi adalah seorang tokoh filsafat sufi yang memahami filsafat Platonisme, Paripatisme, Neoplatonisme, Kebijaksanaan Persia, Aliran Agama dan Hermeneutika. Suhrawardi dikenal dengan filsafat Isyraqiyahnya sebagai alternatif yang lahir secara ontologis maupun epistemologis terutama tentang kelemahan dalam berfikir kedepan, kelemahan filsafat illuminasi menurut Suhrawardi.
Epistemologi adalah penalaran silogisme yang rasional dan masuk akal tidak dapat memuat keseluruhan realitas keberadaan dan pada saat tertentu tidak dapat dijelaskan atau untuk mendefinisikan apa yang dia tahu untuk menjadi seorang pria adalam makhluk yang berfikir dan merupakan ciptaan Tuhan.
Kemampuan ini juga menarik kondisi orang yang lebih baik, Tuhan menciptakan manusia dengan karakteristik hal istimewa yang tidak dimiliki makhluk lain yaitu kekuatan berfikir, namun ada sesuatu karakteristik manusia yaitu: intuisi, kekuatan batin, yang Suhrawardi satukan untuk menghasilkan pikiran dengan kekuatan berfikir pencerahan Hikmah al-Isyraq.
Suhrawardi mengembangkan teori emanasi menjadi sebuah teori illuminasi, ia berpendapat dengan teori emanasi dapat menghasilkan cahaya yang berbeda disebut lampu di bawah. Selain itu dalam konsep Suhrawardi tentang cahaya kualifikasi cahaya vertikal adalah kualifikasi cahaya secara horizontal, inti dari filosofi illuminasi itu immaterial dan tidak dapat didefinisikan.
Namun menurutnya, cahaya itu immaterial dan tidak dapat didefinisikan, jadi sebaliknya juga terjadi pada makhluk karena derajat kesempurnaan realitas ini terdiri dari derajat wujud yang dengan hanya merupakan bentuk cahaya yang terlemah hingga terkuat..
Mulla Sadra mengkritik pemikiran filosofis Islam dalam pendekatannya dari berbagai ide filosofis. Dasar pemikirannya adalah berdasarkan ajaran Alqur’an dan Al Sunnah, Filsafat Paripatetik, Iluminatif, Sunni dan Syiah kalam dan irfani, dibuat oleh Mulla Sadra secara keseluruan yang kemudian disebut Al-hikamah Al-Muta’aliyah.
Ada tiga jalan yang terbuka dalam Mulla Sadra yaitu manusia memperoleh pengetahuan wahyu, akal dan penglihatan batin atau pencerahan. Suhrawardi pernah mengusulkan kombinasi berfikir diskursif, merepresentasikan pengetahuan yang bergerak dan terealisasi adalah sufi metafisika.
Suhrawardi adalah filosog ideal yang menggabungkan pemikiran analitis dan intuitif ilmu yang dicapai. Mulla Sadra kemudian menggunakan metode Suhrawardi bahkan melangkah lebih jauh dengan merumuskan kesatuan wahyu, eksposisi dan metafisika atau pemahaman pengetahuan.
Ontologi dalam Filsafat Transenden Teosofi Mulla Sadra
Esensi wuhud as-alah al-wujud, yaitu prinsip bahwa setiap makhluk kontingen terdiri dari dua negara, yaitu eksistensi dan esensi. Menurut Mulla Sadra, keadaan yang paling dalam dari kedua keadaan itu pada dasarnya adalah keberadaan esensi tidak lain adalah penampilan, prinsip ini merupakan fundamental dari deep ontologi filsafat Al-Hikamah Al-Muta’aliyah dan merupakan yang paling mendasar yang dibuat oleh Sadra.
Prinsip filosofis lainnya dengan mempertimbangkan semua prinsip filsafat berikut ini didasarkan pada prinsip Mulla Sadra. Menurut Mulla Sadra itu hanya terjadi karena antara wujud dan mahiyah perbedaannya hanya pada ruang lingkup pemikiran, sedangkan diluarnya saja ada satu realitas, yaitu estad prinsip berikut yang dikemukakan oleh Mulla Sadra adalah : skala bentuk.
Skala bentuk adalah deskripsi bentuk individu tetapi dengan tingkatan yang berbeda berkualitas menyebabkan bahwa makhluk memiliki dua karakteris sekaligus, yaitu kesunyian dan keberagaman yang dalam ungkapan Mulla Sadra disebut kebhinekaan dalam kesatuan dan selibat dalam keberagaman al-kasrah fi-ain al-wah dan wa-alwah dahfi-ain.
Mulla Sadra menjelaskan ide ini menggunakan persamaan cahaya, seperti yang dilakukan Suhrawardi menjelaskan realitas kuiditas. Baginya keberadaan adalah seperti tingkat sinar matahari yang merupakan wujud Tuhan kealam material, sebagaimana ia memancarkan dan muncul warna cermin pada saat yang sama lampunya adalah itu sendiri. Tidak ada perbedaan diantara mereka kecuali kepadatan.
Suhrawardi dan Mulla Sadra adalah dua tokoh besar dalam sejarah pemikiran Islam, keduanya memberikan kontribusi penting bagi pemahaman ontologis tentang Tuhan. Meskipun keduanya memiliki cara pandang yang berbeda, namun keduanya berupaya memahami keberadaan Tuhan melalui pemikiran filosofis dan spiritul Suhrawardi (1154-1191M) adalah seorang filosof Iran yang terkenal dengan gagasannya tentang pencerahan, menurut Suhrawardi Tuhan adalah sumber segala cahaya dan kebijaksanaan. Dia berkata bahwa Tuhan adalah keberadaan yang sempurna dan abadi dan segala sesuatu yang dapat didasarkan pada keberadaannya, menurut Suhrawardi pemahaman tentang Tuhan dapat dicapai melalui pengalaman spiritual dan intuisi serta pengetahuan rasional.
*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.