Moderasi beragama (Sumber gambar : rumahkitab.com) |
KULIAHALISLAM.COM – Kita tentu senang ada artis yang bicara serius, tidak sekadar ngobrolin fashion, kuliner, pamer rumah, pamer kekayaan, dan sebagainya.
Seperti mbak Cinta Laura. Pidatonya di acara Malam Peluncuran Moderasi Beragama yang diadakan pada Rabu, 22 September 2021 sampai dipuji Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas. Pujian Menag ini cukup dramatis yang menjadikan topik ini viral di media sosial karena beliau mengatakan, “Saya ingin menangis dengarnya, tetapi saya malu ada istri saya tadi,” ucapnya.
Apa sih yang disampaikan Cinta Laura dalam pidato tersebut? Apa yang membuat Menag ingin menangis?
Salah satu kutipan Mbak Cinta Laura begini, “Dia (Descartes) mengatakan, manusia adalah makhluk yang finite atau terbatas, sedangkan Tuhan adalah sosok yang infinite atau tidak terbatas. Oleh karena itu, bagaimana kita sebagai makhluk yang terbatas merasa mempunyai kemampuan untuk mengerti sesuatu yang jauh di luar kapasitas kita?
Inilah salah satu akar dari masalah kita miliki dalam masyarakat Indonesia sekarang. Karena pemahaman yang terbatas dan tidak kritis, orang-orang terjebak dalam cara berpikir di mana mereka telah memanusiakan Tuhan.
Merasa memiliki hak dalam mendikte kemauan Tuhan, merasa tahu pikiran Tuhan, dan merasa berhak bertindak atas nama Tuhan. Inilah yang akhirnya sering kali berubah menjadi sifat radikal.”
Gus Yaqut (Menag) mengatakan, pidato Cinta Laura itu sangatlah luar biasa dan begitu dalam maknanya hingga bahkan membuatnya ingin menangis.
Pernyataan Cinta Laura atau yang dikutipnya dari Rene Descartes ini termasuk varian “theological relativism”. Kita pun sebenarnya sering mendengar pernyataan senada bahwa Tuhan itu mutlak sementara manusia itu relatif. Jadi yang relatif nggak akan mungkin bisa memahami yang mutlak.
Aliran Relativisme
Makanya jangan saling menyalahkan dan jangan jadi radikal. Jangan pula bertindak mengatasnamakan Tuhan karena kita tidak tahu maunya Tuhan itu bagaimana. Intinya ingin membuat orang beragama tidak terlalu meyakini kebenaran agamanya sendiri sehingga—dianggap tidak menjadi radikal.
Kalau merujuk pada aliran relativisme atau postmodernisme, aliran ini tergolong—yang disebut Prof. Al-Attas, aliran al-Indiyyah (indi=menurut saya). Mereka selalu bersikap subjektif karena menolak objektivitas kebenaran. Kebenaran menurut mereka tergantung masing-masing orang.
Makanya, jangan nge-klaim agama atau pemahaman agamanya sendiri yang paling benar. Kalau berdebat biasanya mengeluarkan jurus, “Ya, itu kan menurut kamu, pendapat saya beda.” Mereka enggan membicarakan kebenaran hakiki. Sikap ini jelas tidak Islami dan bertentangan dengan kebenaran Islam.
Jauh sebelum Rene Descartes (1596-1650), aliran ini sebenarnya sudah muncul di jaman Yunani Kuno, dipopulerkan oleh kaum Sofis (Sufasthoiyyah). Xenophanes (+/- 550 th SM) mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang telah akan akan mencapai kebenaran yang pasti mengenai para dewa.
Protagoras, Sofis terbesar Yunani mengatakan, “Mengenai para dewa, saya tidak tahu apakah mereka itu ada atau tidak dan bagaimana bentuk mereka. Sebab, terlalu banyak faktor yang menghalangi ilmu pengetahuan, seperti ketidakjelasan permasalahan dan singkatnya hidup manusia.”
Giorgias malah mengatakan, “Tidak ada sesuatu pun yg maujud (di luar sana). JIka tidak ada yang maujud, ia tentunya tidak terjangkau. Jika tidak terjangkau, ia tentunya tidak bisa dikomunikasikan.” Sofisme menurut Prof. Wan Daud, dengan segala bentuknya masih terus menebarkan pengaruhnya hingga hari ini.
Paham ini di Eropa bahkan telah mempengaruhi pihak gereja. Gereja Inggris pernah memecat seorang anggotanya karena menulis sebuah buku yang di dalamnya menyatakan, “Tidak ada apapun di luar sana. Dan jika pun ada, kita tidak bisa mengetahuinya.” Anehnya, pemecatan ini diprotes 65 orang anggota lain karena dianggap gereja tidak menghargai perbedaan pendapat.
Memang pengalaman orang Eropa (Barat) dalam beragama atau mengenal Tuhan ya seperti itu. Tapi berbeda dengan Islam. Dari awal Islam diturunkan senantiasa menekankan pada keyakinan akan kebenaran. Memang manusia itu relatif. Tapi Tuhan yang mutlak itu telah menurunkan wahyu-Nya dengan jelas dan rinci tentang keyakinan kita kepada Tuhan kita yaitu Allah.
Bahkan Tuhan kitapun memperkenalkan dirinya dengan nama Allah, berbeda dengan agama lain yang tuhannya diberi nama oleh manusia. Selain dalam kitab Suci Alquran, penjelasan Nabi SAW pun memperkuat pengetahuan kita tentang Tuhan (Allah).
Maka, pernyataan Cinta Laura yang telah membuat Gus Yaqut hampir menangis itu perlu diluruskan. Tidaklah keyakinan dan eksklusivisme beragama itu mengarah pada radikalisme. Itu hanya klaim sepihak kaum relativis. Justru sikap relativisme itulah yang radikal karena memaksakan kehendaknya dengan kekerasan yang terstruktur dan lebih merusak.
Contohnya, ketika AS menganggap ada negara timur tengah tidak toleran maka diserbu, dibom, dan dibumihanguskan, negerinya dikuasai, lalu ditaruh pemerintahan boneka di sana. Berapa banyak nyawa melayang dan diri di siksa di negeri-negeri yang Barat mengintervensinya. Berarti, paham ini sebenarnya sangat berbahaya. Mengenai hal ini bisa dibaca buku Tren Pluralisme Agama, karangan Dr. Anis Malik Thoha.
Jadi, kembali saja kepada ajaran agama. Dalam Islam sudah diatur dengan jelas masalah ini. Soal aqidah, lakum dinukum waliyadin. Soal muamalah, mari kita bekerja sama dalam persamaan dan saling menghargai perbedaan. Jangan memaksa menyamakan dan menyatukan semua agama (transcendent unity of religions) atau menafikan semua agama untuk membuat “agama” baru (global theology).
Oleh : Dr. Budi Handrianto