Omnipotence paradox (Sumber gambar : kompasiana.com) |
KULIAHALISLAM.COM – Paradoks itu tidak diciptakan Tuhan tapi diciptakan oleh logika manusia. Salah satu atribut wajib bagi Tuhan (karenanya diberi atribut Tuhan) adalah “Maha Besar”. Lalu sebelum logika (omnipotence paradox) itu dibuat, mengapa logika manusia mengandai-andai terlebih dahulu ada sesuatu yang lebih besar dari Tuhan ? Padahal itu sudah menyalahi konsep ketuhanan.
Jadi kesimpulannya, itu cuma permainan logika yang menyalahi logika ketuhanan, maka logika seperti itu tidak sah menurut konsep ketuhanan karena sebelum logika seperti itu dibuat konsep ketuhanan telah dibunuh terlebih dahulu.
Ini sama dengan ibarat membuat permainan logika, bisakah seorang raja mengangkat seseorang yang lebih berkuasa dari dirinya yang bisa menurunkannya ? Sedangkan tak ada orang lain dinegaranya yang memiliki kekuasaan lebih tinggi dari dirinya.
Orang-orang yang tidak percaya, sering mempermasalahkan bukti keberadaan Tuhan. Tetapi salahnya adalah model pembuktian yang mereka minta dianggap harus sederajat dengan model pembuktian obyek-obyek sains.
Masalahnya keberadaan Tuhan itu unik—tersendiri—punya ciri khas yang berbeda dalam artian tidak sama, tidak bisa sederajat dengan pembuktian beragam obyek yang biasa diamati serta dianalisis sains.
Karena pembuktian Tuhan itu berlevel, level indrawi, level akal, dan level kalbu. Artinya dalam diri manusia, Tuhan menaruh peralatan penangkap-Nya yang tidak satu jenis. Masalahnya adalah, tidak semua orang yang bisa mengoptimalkannya.
Pada level indrawi itu, ada level bukti empiris langsung yang bisa dilihat umum bagi yang melihat, misalnya, beragam mukjizat besar yang menyertai eksistensi para Nabi. Orang-orang di masa lalu bisa melihat langsung tindakan Tuhan secara indrawi melalui hal-hal yang mustahil dilakukan manusia. Tapi apakah bukti “paling obyektif” masa silam menurut ukuran prinsip empiris tersebut menjamin orang menjadi beriman, ternyata tidak.
Pada bukti akal manusia dapat melihat bukti tak langsung, misalnya, dengan mengamati adanya sistem dalam semesta lingkungan tempat manusia hidup. Atau struktur mekanis tubuh manusia yang secara logika mustahil di desain energi partikel elementer tanpa ada pikiran sang desainer dibaliknya dan banyak tanda lain di alam semesta. Dan argumen rasional yang lebih terperinci, misalnya, melalui dalil Thomas Aquinas atau para teolog lain, ini disebut “bukti logic”.
Sedangkan bukti secara kalbu (batiniah) hanya dialami oleh individu-individu yang temendekatkan diri pada-Nya dan merasakan kehadiran-Nya melalui olah mata batin. Merasakan pergumulan dengan-Nya, merasakan do’a yang didengar-Nya.
Atau memperoleh petunjuk lewat mimpi atau mengalami kejadian unik tertentu di dunia nyata khususnya yang bersifat mistis, dan ini level yang tidak tersentuh para filsuf dan saintis yang mencari pemahaman terhadap Tuhan hanya melalui teori dikepala, dan ini tidak dialami semua orang secara umum.
Kemudian orang masih berdalih,”konsep Tuhan itu banyak”,”ada sekian ribu agama yg bicara Tuhan” “mana yang benar ?” katanya.
Ini sebenarnya ibarat murid dalam ujian yang disodori pilihan jawaban a,b,c, atau tentu mustahil mencontreng semua karena yang benar cuma satu.
Nah itu ujian tersendiri bagi seluruh peralatan berpikir yang ada dalam diri manusia, mana yang layak disebut Tuhan ?
Oleh : Irwan Wiharja