Saya ingin mengajak anda-anda sekalian untuk mengembangkan Islam kultural di Indonesia yang kaya ini. Kenapa? Karena minimal ada dua keistimewaan Islam kultural ini. Pertama, dengan senang dan bebas kita merayakan keIslaman kita sambil merayakan kekayaan kebudayaan kita.
Kita tahu, bahwa sejak kerajaan Majapahit, lalu muncul kerajaan-kerajaan Islam, lalu disepakatilah NKRI dan Pancasila. Sebagian besar Ulama Indonesia menyebut Pancasila itu sudah “sesuai dengan syariat Islam”, bahkan kini disebut lagi “Huwas syari’atu Aynuha”. Pancasila menjadi syariat itu sendiri, karena isinya berisi pokok-pokok syariat agama.
Karena itu, Pancasila mengikat perjanjian dan kesepakatan seluruh kaum Muslim Indonesia. Dari Pancasila kita mengembangkan ukhuwwah basyariyah, ukhuwwah wathaniyyah, dan tentu saja ukhuwwah Islamiyyah/Imaniyyah. Bagaimana mungkin kita bisa menjalankan agama dengan nikmat dan bebas jika tidak menjaga dan mencintai negeri ini (ukhuwwah wathaniyyah dan basyariyyah).
Syahdan, sejak tahun 1950-an Islam Indonesia terus mengalami perkembangan dan dinamikanya yang positif. Siapa yang telah berjasa besar mengembangkan model Islam, dakwah Islam, wajah Islam dan kajian keIslaman Indonesia dalam 60 tahun terakhir? Jawaban yang riil adalah NU, Muhammadiyah, dan ribuan pesantren di Negeri ini.
Masyarakat dari lembaga tersebut memahami, mengembangkan, dan mempraktikkan Islam Indonesia secara kreatif dari masa ke masa. Itu faktual. Tak perlu pakai ideologi ini atau ideologi itu. Cukup Islam dalam kultur Indonesia.
Kedua, gerakan Islam ideologis yang ada saat ini, telah menghabiskan energi dan tersedot kepada tujuan-tujuan politik. Maka, ilmu pengetahuan, sains dan studi Islam tidak berkembang, jika tidak disebut mati. Dalam banyak hal, Islam ideologis yang tekstual juga melumpuhkan nalar dan kritisisme.
Perdebatan ilmiah hampir tidak ada. Yang ada adalah doktrin dan indoktrinasi. Yang penting adalah taklid buta kepada tokoh-tokoh gerakan. Nah, Islam kultural, karena ada aspek kultur, aspek saeculum atau yang sekuler (maksudnya menjadikan hal-hal yang bersifat duniawi bagian dari agama), maka Islam model ini kreatif berjibaku dengan persoalan-persoalan keagamaan, kebudayaan dan kemanusiaan.
Dari Islam kultural di Timur Tengah, Asia Tengah dan Asia Tenggara, munculah para sarjana, ilmuwan dan cendekiawan Muslim yang kreatif merumuskan keIslaman dan kehidupan yang kompleks. Di Indonesia sendiri, kemudian muncul diskursus keIslaman yang merangsang gairah keilmuan seperti istilah-istilah “Keislaman, kemodernan dan keIndonesiaan”, “Pribumisasi Islam”, “Islam rasional”, “Islam transformatif”, “Neo-Modernisme Islam”, “Post-Tradisionalisme Islam”, “Islam Berkemajuan” dan lain-lain.
Dalam tanah Islam kultural yang subur, tumbuhlah ilmu-ilmu sosial Islam, humaniora Islam, bersamaan dengan sains, matematika, fisika dan logika. Dalam tanah yang disirami oleh darah karena konflik, kebencian, permusuhan, dan perang, apakah mungkin ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang? Wallahu a’lam bisshawaab.
Terimakasih karena setiap tulisannya selalu menyegarkan kembali otak-otak mati 😉