KeislamanSejarah

Nu’man Ibn Hayyun dan Penafsiran Alegoris Bahtera Nuh dalam Tradisi Ismailiyyah

3 Mins read

Kisah Nabi Nuh merupakan salah satu narasi paling terkenal dalam tradisi keagamaan. Umumnya, kisah ini dipahami secara literal: Nabi Nuh membangun sebuah kapal raksasa untuk menyelamatkan orang-orang beriman dari banjir besar.

Kapal adalah kapal, banjir adalah banjir, dan keselamatan adalah keselamatan fisik dari air bah. Namun, tidak semua tradisi tafsir berhenti pada makna lahiriah tersebut. Bagi sebagian kelompok keagamaan, kisah ini mengandung lapisan makna spiritual yang lebih dalam.

Salah satu tokoh yang menawarkan pembacaan alternatif adalah Nu‘mān ibn Ḥayyūn, ulama besar Syī‘ah Ismā‘īliyyah pada era Fāṭimiyyah. Melalui karyanya Asās al-Ta’wīl, ia menampilkan penafsiran alegoris yang menjadikan Bahtera Nuh sebagai simbol keselamatan spiritual dan otoritas Imam.

Nu‘mān ibn Ḥayyūn: Ulama, Hakim, dan Ideolog Fāṭimiyyah

Nu‘mān ibn Ḥayyūn lahir di kawasan Maghrib, tepatnya di Qairawān—salah satu pusat intelektual terkemuka pada masa itu. Meskipun tanggal kelahirannya tidak diketahui secara pasti, ia hidup pada masa kejayaan Daulah Fāṭimiyyah dan menjadi salah satu ulama paling berpengaruh. Pendidikan awalnya diperoleh dari ayahnya sendiri, kemudian ia mendalami berbagai disiplin ilmu di majelis-majelis ilmiah Qairawān.

Reputasinya membuat ia diangkat sebagai Qādī al-Quḍāt (Hakim Agung) dan melayani empat khalifah Fāṭimiyyah dari al-Mahdī hingga al-Mu‘izz li Dīn Allāh. Posisi ini memberinya otoritas ilmiah dan politik. Sebagai ulama sentral dalam pemerintahan Fāṭimiyyah yang Syī‘ah Ismā‘īliyyah, karya-karyanya tidak hanya bersifat keagamaan, tetapi juga menjadi fondasi ideologis bagi legitimasi kekuasaan. Penafsirannya diarahkan untuk meneguhkan doktrin Imamah—bahwa keselamatan spiritual hanya dapat dicapai melalui bimbingan Imam yang sah.

Kunci Penafsiran: Kapal sebagai Simbol Dakwah dan Keselamatan

Dalam Asās al-Ta’wīl, Nu‘mān menafsirkan ayat-ayat tentang perintah Allah kepada Nuh untuk membangun kapal, terutama dalam Surah Hūd. Berbeda dari tafsir mayoritas Sunni yang memahami ayat-ayat tersebut secara literal, Nu‘mān menggunakan pendekatan ta’wīl, yaitu penyingkapan makna batin di balik teks.

Baca...  Gus Ulil Ngaji Ihya' Ulumuddin: Mengobati Sifat Rakus dan Tamak Kepada Dunia

Menurutnya, kapal Nuh bukan sekadar objek kayu besar, melainkan simbol Dakwah Kebenaran (Da‘wah al-Ḥaqq). Kapal berfungsi sebagai “wadah” yang menyelamatkan manusia dari tenggelam dalam kesesatan. Dalam perspektif Ismā‘īliyyah, manusia tidak hanya terancam oleh air secara fisik, melainkan oleh kebodohan spiritual, penyimpangan pemahaman, dan keterputusan dari Imam.

Air bah dalam kisah ini ditakwilkan sebagai lautan ilmu: ilmu yang benar menyelamatkan, tetapi ilmu yang salah menenggelamkan. Naik ke atas kapal berarti mengikuti dakwah dan bimbingan Imam Ma‘ṣūm, sementara menolaknya berarti tenggelam dalam kekufuran dan kesesatan. Dengan demikian, tafsir ini membawa pesan ideologis yang kuat: keselamatan rohani hanya diperoleh melalui Imam yang memiliki otoritas ilahi.

Struktur Kapal sebagai Representasi Teologi Ismā‘īliyyah

Nu‘mān tidak berhenti pada alegori global semata. Ia mendetailkan struktur kapal dan menghubungkannya dengan sistem keagamaan Ismā‘īliyyah. Bahan-bahan pembangun kapal—kayu, besi, akal, dan manusia—dianggap melambangkan harmoni antara unsur material dan spiritual. Kapal yang berlayar dengan tujuh unsur ditakwilkan sebagai simbol hirarki dakwah, di mana nabi, wasi (imam), dan para pendampingnya menjalankan peran masing-masing.

Dua belas papan kayu kapal menjadi simbol dua belas lāḥiq, yakni pengikut spiritual yang menjadi penyokong utama Imam. Empat tali utama kapal merepresentasikan empat prinsip syariat, sementara dua belas tali tambahan menggambarkan struktur dakwah tingkat lanjut. Bahkan angin yang menggerakkan kapal ditafsirkan sebagai lambang wahyu yang menjadi pendorong dakwah dan perjalanan spiritual manusia.

Dalam pandangan Nu‘mān, tidak ada unsur kisah Al-Qur’an yang hadir tanpa makna batin. Setiap bagian kapal mencerminkan kesatuan antara syariat (ẓāhir) dan hakikat (bāṭin).

Hermeneutika Kebatinan dalam Tafsir Nu‘mān ibn Ḥayyūn

Penafsiran Nu‘mān mencerminkan karakter khas hermeneutika Ismā‘īliyyah: simbolik, filosofis, berani, dan sangat bergantung pada ta’wīl. Pendekatan ini bertolak dari keyakinan bahwa Al-Qur’an memiliki lapisan-lapisan makna; makna lahiriah hanyalah pintu menuju makna batin yang lebih mendalam. Akal (ra’yu) digunakan sebagai instrumen utama untuk mengungkap makna tersebut, meskipun ia tetap mengutip hadis dan riwayat untuk memperkuat argumennya.

Baca...  Gus Ulil Ngaji Ihya’ Ulumuddin: Mencela dan Membenci Sifat-sifat Kikir

Kisah para nabi dipandang bukan sebagai sejarah beku, tetapi sebagai alegori perjalanan rohani manusia. Nabi Nuh menjadi representasi Imam sebagai pemegang otoritas spiritual; bahtera menjadi simbol dakwah; banjir menjadi simbol ujian intelektual dan moral. Melalui pendekatan ini, Al-Qur’an dimaknai sebagai teks hidup yang relevan sepanjang masa.

Fungsi Ideologis Tafsir dalam Konteks Fāṭimiyyah

Pada masa Fāṭimiyyah, Asās al-Ta’wīl berfungsi sebagai legitimasi ideologis dan politik. Penafsiran alegoris tentang Bahtera Nuh mempertegas klaim bahwa Imam Fāṭimiyyah adalah satu-satunya figur yang dapat membawa umat menuju keselamatan rohani. Dalam konteks polemik antara Sunni dan Syī‘ah, tafsir ini memperkuat posisi spiritual dan teologis pemerintahan Fāṭimiyyah.

Nu‘mān berhasil menggabungkan tiga dimensi sekaligus: teologi (doktrin Imamah), filsafat (simbolisme dan alegori), dan politik (legitimasi kekuasaan). Tidak mengherankan jika karyanya menjadi fondasi penting dalam tradisi penafsiran Ismā‘īliyyah.

Penutup

Asās al-Ta’wīl merupakan contoh istimewa dari kekayaan hermeneutika Islam. Melalui karyanya, Nu‘mān ibn Ḥayyūn menunjukkan bahwa kisah-kisah Al-Qur’an memiliki dimensi makna yang jauh melampaui apa yang tampak secara literal. Bahtera Nuh, dalam pandangannya, bukan sekadar kapal yang menyelamatkan tubuh dari air bah, tetapi simbol dakwah yang menyelamatkan jiwa.

Ia menegaskan bahwa keselamatan sejati dicapai melalui ilmu, bimbingan spiritual, dan hubungan dengan Imam. Dengan pendekatan simbolik yang penuh kedalaman, Nu‘mān meninggalkan warisan tafsir yang terus memengaruhi pemikiran Ismā‘īliyyah hingga hari ini. Karyanya mengingatkan bahwa Al-Qur’an selalu menyediakan ruang bagi pencarian makna yang lebih dalam—perjalanan tanpa akhir di atas “bahtera” ilmu dan spiritualitas.

Related posts
Keislaman

Benarkah Ibadiyah Takfiri? Mengungkap Wajah Moderat Khawarij dalam Kitab Tafsir Hamyan Al-Zad

4 Mins read
Jika Khawarij dikenal sebagai kelompok paling ekstrem, bagaimana mungkin salah satu cabangnya justru menjadi suatu kelompok yang moderat dan intelektual? Nama Khawarij…
KeislamanPendidikan

Asal Usul Roh Menurut Islam

4 Mins read
Kuliahalislam.Mempelajari asal usul Roh ada kaitannya dengan masalah kekadiman atau kebaharuan Roh. Berdasarkan pendapat Plato, ahli filsafat Yunani mengatakan bahwa Roh itu…
Keislaman

Lima Pilar Rasionalisme Muktazilah: Telaah Penafsiran Qadi ‘Abd al-Jabbar dalam Tanzih al-Qur’an ‘an al-Mata‘in

4 Mins read
Muktazilah salah satu aliran teologi Islam yang menempati posisi penting dalam sejarah intelektual Islam. Aliran ini dikenal kental nuansa doktrin teologis dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Keislaman

Makna Ahlul Bayt dalam Tafsir Syiah dan Sunni

Verified by MonsterInsights