Non-Muslim Juga Bisa Masuk Surga?
Baru-baru ini muncul sebuah artikel yang ditulis oleh Muhammad Bukhori Muslim, saya membaca tulisan tersebut dari laman website IBTimes, tulisan itu berjudul, “Non-Muslim Juga Bisa Masuk Surga!“.
Dengan tanda seru di akhir kalimat, menandakan penekanan kepada orang-orang yang tidak setuju dengan argumen tersebut untuk membacanya.
Sebenarnya narasi seperti itu bukan hal baru yang pernah saya baca, sebelumnya juga pernah ada kalimat-kalimat senada seperti itu. Sebagaimana nama penulis artikel tersebut, sudah begitu familiar dalam telinga umat Islam, Muhammad Bukhori Muslim, sangat luar biasa.
Pengabungan dari Nama Rasulullah Muhammad dan ahli Hadis terkemuka, Imam Bukhari dan Imam Muslim. Namun saya yakin dengan seyakin-yakinnya bawa Nabi Muhammad, Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak akan berpikir kalau Non-Muslim juga bisa masuk surga.
Argumen dalam tulisan tersebut dibuka dengan narasi, “Bahwa pandangan dan pemikiran dalam Islam tidaklah seragam. Pandangan dan pemikiran dalam Islam sifatnya beragam dan warna-warni. Dan kesemua itu diridhoi dan direstui oleh Tuhan.”
“Di samping ulama-ulama yang mengatakan bahwa umat Yahudi dan Nasrani tidak akan selamat, ada juga ulama-ulama dan cendekiawan muslim yang memiliki pandangan lain.” Penulis ingin mengatakan bahwa seolah-olah memang terjadi ikhtilaf ulama dalam hal ini.
Lalu penulis memberikan dalil, yang mana dalil ini memang kerap menjadi langganan para pemikir liberal, yaitu QS. Al Baqarah ayat 62. Allah mengatakan:
“Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabiun, siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan berbuat baik, maka mereka akan mendapatkan ganjaran dari Allah dan mereka tidak perlu sedih dan khawatir.”
Lalu ditafsirkanlah ayat tersebut dengan serampangan, bahwa menurutnya, “Dengan beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan melakukan amal kebajikan, entah itu dari orang yang beriman, dari kalangan Yahudi, Nasrani, ataupun Shabiun, akan diberikan ganjaran oleh Allah berupa surga.”
“Syaratnya adalah tiga hal tersebut: beriman kepada Allah, beriman kepada hari akhir, dan berbuat baik. Cukup dengan melakukan ketiga itu hal itu maka sudah cukup untuk akan diganjar surga.”
Lalu penulis mengutip pendapat Abdul Muqsith Ghazali, seorang dosen UIN Jakarta. Pendapat Muhamad Ali, Mun’im Sirry, Abdul Aziz Sachedina, dan Fazlur Rahman. Yang semua dari orang-orang tadi mengatakan bahwa menurut mereka “Non-muslim bisa masuk Surga“.
Jujur mohon maaf, dengan keterbatasan pengetahuan kami, tidak ada satupun orang-orang itu yang kami kenal sebagai ulama, minimalnya yang kami kenal sebagai sosok ahli tafsir.
Mungkin teman-teman ada yang tahu, nanti silahkan komentar. Kalau ada yang mengenal mereka sebagai seorang ulama atau mufasir.
Sedangkan ulama yang kami kenal, seperti halnya Al Imam Ibnu Katsir, penulis kitab tafsir Ibnu Katsir, Ibnu Abbas seorang yang didoakan oleh Rasulullah kelak menjadi mufasir (ahli tafsir), Aidh Al Qarni penulis tafsir Al Muyassar, Ulama tafsir kontemporer Indonesia Buya Hamka, dan Prof. Quraish Shihab dengan kitab tafsirnya Al Misbah, dan beberapa Mufasir lain.
Tafsir Ibnu Katsir
Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir, menafsirkan QS Al Baqarah ayat 62. Menukil riwayat yang menyebutkan bahwa suatu ketika Salman Al Farisi bertanya kepada Rasulullah SAW tentang nasib teman-temannya yang seagama di masa lalu.
Salman mengatakan kepada Nabi SAW bahwa teman-temannya itu juga menunaikan ibadah sesuai syariat agama terdahulu dan mengimani bahwa kelak, Nabi Muhammad SAW akan diutus menjadi seorang Nabi.
Tetapi, Rasulullah SAW menjawab bahwa teman-teman Salman RA termasuk ahli Neraka. Jawaban tersebut sangat berat diterima oleh Salman hingga turunlah surah Al-Baqarah ayat 62.
Ibnu Katsir melanjutkan penjelasannya bahwa yang dimaksud Yahudi pada ayat tersebut ialah mereka yang berpegang pada kitab Taurat dan Sunnah Nabi Musa AS. Hingga sebelum datangnya syariat Nabi Isa AS.
Begitu pula kaum Nasrani ialah mereka yang berpegang pada kitabnya dan menjalankan syariat Nabi Isa AS. hingga datangnya Nabi Muhammad SAW. Lalu setelah Islam datang, maka hanya Islam lah yang diterima di sisih Allah.
Tafsir Al Muyassar
Sesungguhnya orang-orang mukmin dari kalangan umat ini, yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mengamalkan syariat-Nya, dan orang-orang yang datang sebelum di utusnya Muhammad dari umat-umat terdahulu.
Orang-orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yaitu kaum yang berpegang kepada fitrah mereka, tiada agama bagi mereka yang mereka anut, bila mereka semuanya beriman kepada Allah dengan benar dan ikhlas, beriman kepada hari kebangkitan dan hari pembalasan, melakukan amalan yang di ridhai oleh Allah, maka pahala mereka di berikan kepada mereka di sisi Rabb mereka.
Tidak ada ketakutan atas mereka dalam menghadapi perkara-perkara akhirat di masa mendatang, tidak ada kesedihan atas mereka atas perkara-perkara dunia yang luput dari mereka.
Adapun setelah di utusnya Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul kepada seluruh manusia, maka Allah tidak menerima agama dari siapa pun selain agama yang dibawa oleh Muhammad, yaitu Islam.
Tafsir Al Azhar
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman.” (Dalam ayat 62). Yang dimaksud dengan orang beriman di sini ialah orang yang memeluk Agama Islam, yang telah menyatakan percaya kepada Nabi Muhammad SAW dan akan tetaplah menjadi pengikutnya sampai hari kiamat.
“Dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabi’in,” yaitu tiga golongan beragama yang percaya juga kepada Tuhan tetapi telah dikenal dengan nama-nama yang demikian: “barangsiapa yang beriman kepada Allah.”
Yaitu yang mengaku adanya Allah Yang Maha Esa, dengan sebenar-benar pengakuan, mengikut perintah-perintahnya dan menghentikan larangan-Nya dan Kemudian dan beramal yang saleh.”
Artinya Buya Hamka sendiri ingin mengatakan jika orang-orang Yahudi, Nasrani dan Shabi’in ini beriman kepada Allah tentulah mereka mengikuti kitab-kitab mereka yang dalam kitab tersebut akhirnya memberikan arahan untuk beriman kepada Nabi terakhir yaitu Muhammad SAW.
Lalu mereka dengan sendirinya menerima kebenaran Islam. “Orang-orang yang telah Kami beri Kitab (Taurat dan Injil) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Sesungguhnya sebagian mereka pasti menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui(nya).” (QS Al-Baqarah 146) (Hamka, tafsir Al Azhar juz 1)
Tafsir Al Misbah
Persyaratan beriman kepada Allah dan hari kemudian, seperti bunyi ayat di atas, bukan berarti hanya kedua rukun itu yang dituntut dari mereka, tetapi keduanya adalah istilah yang biasa digunakan oleh Alquran dan Sunnah untuk makna iman yang benar dan mencakup semua rukunnya.
Memang akan sangat panjang bila semua objek keimanan disebut satu demi satu. Rasul Muhammad SAW dalam percakapan sehari-hari, sering hanya menyebut keimanan kepada Allah dan hari Kemudian.
Misalnya sabda beliau: “Siapa yang berimana kepada Allah dan hari Kemudian, maka hendaklah dia menghormati tamunya,” di tempat lain beliau bersabda, “Siapa yang berimana kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah mengucapkan kata-kata yang baik atau diam” dan masih banyak yang serupa.
Ada sebagian orang yang perhatiannya tertuju kepada penciptaan toleransi antar umat beragama yang berpendapat bahwa ayat ini dapat menjadi pijakan untuk menyatakan bahwa penganut agama-agama yang disebut oleh ayat ini, selama beriman kepada Tuhan dan hari kemudian, maka mereka semua akan memperoleh keselamatan, tidak akan diliputi oleh rasa takut di akhirat kelak, dan tidak pula akan bersedih.
Pendapat semacam ini nyaris menjadikan semua agama sama, padahal agama-agama itu pada hakikatnya berbeda-beda dalam akidah serta ibadah yang diajarkannya. Bagaimana mungkin Yahudi dan Nasrani dipersamakan, padahal keduanya saling mempersalahkan.
Bagaimana mungkin yang ini dan itu dinyatakan tidak akan diliputi rasa takut atau sedih, sedang yang ini menurut itu dan atas nama Tuhan yang disembah adalah penghuni surga dan yang itu penghuni neraka? Yang ini tidak sedih dan takut, dan yang itu, bukan saja takut tetapi disiksa dengan aneka siksa. (Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah juz 1)
Surga Itu Luas
Muhammad Bukhori Muslim, dalam paragraf akhir tulisannya mengutip pendapat M. Quraish Shihab yang mengatakan, “Kita bersaudara, tidak perlu saling tegang. Surga itu luas, sehingga tidak perlu memonopoli surga hanya untuk diri sendiri.”
Hal itu lumrah dan memang harus dilakukan, karena sedari awal narasi yang ia bangun tidak sedikitpun mengutip perkataan mufasir.
Maka diakhiri paragraf tersebut sepatunya ada perkataan pakar tafsir Indonesia M. Quraish Shihab agar seolah-olah tulisannya mendapat legitimasi dari sang mufasir tersebut. Padahal kita tahu bersama bahwa Quraish Shihab tidak berpendapat demikian. (Bisa dibaca dalam Tafsir Al Misbah juz 1).
Kiranya cukup apik jika kami memberi kesimpulan pada penutup artikel ini. Namun kami sadari pengetahuan kami kurang cukup (belum diakui) jika kami beropini memberikan jawaban akan pertanyaan pada judul diatas, “Non-muslim juga Bisa Masuk Surga?” Maka izinkan kami mengutip pendapat guru kami Prof. Quraish Shihab dalam tafsirnya, beliau berkata :
Bahwa surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah memang harus diakui. Tetapi hak tersebut tidak menjadikan semua penganut agama sama dihadapan-Nya. Bahwa hidup rukun dan damai antar pemeluk agama adalah sesuatu yang mudah dan merupakan tuntunan agama, tetapi cara untuk mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran agama.
Caranya adalah hidup damai dan menyerahkan kepada-Nya semata untuk memutuskan di hari kemudian kelak, agama siapa yang direstui-Nya dan agama siapa pula yang keliru, kemudian menyerahkan pula kepada-Nya penentuan akhir, siapa yang dianugerahi kedamaian dan surga dan siapa pula yang akan takut dan bersedih.
Nasihat Untuk Pribadi
Akhir kata izinkan kami menasihati diri kami pribadi dan kaum muslimin, bahwasanya Alquran adalah kitab suci yang pasti benar dan wajib diimani kebenarannya, “Itu kitab tiada terdapat keraguan di dalamnya sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:2).
Yang darinya (Alquran), Allah memberikan kabar gembira dan peringatan, “Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Alqur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memberi peringatan kepada ummul Qura (penduduk Mekkah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. Segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka.” (QS. Asy-Syura:7).
“Dan demikianlah Kami menurunkan Alquran dalam bahasa Arab, dan Kami telah menerangkan dengan berulang kali di dalamnya sebagian ancaman, agar mereka bertaqwa atau (agar) Alquran itu menimbulkan pengajaran bagi mereka.” (QS. Taha:113).
Lalu bagaimana jika kita tidak bisa (belum bisa) memahaminya? Karena Alquran mengandung begitu banyak makna yang tersembunyi?, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (QS An Nahl:43).
Bertanya kepada siapa? “Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS. Fathir: 28).
Lalu bagaimana para ulama, para mufasir memahami Alquran surat Al Baqarah ayat 62 tersebut?
Mengutip pendapat Ibnu Abbas (seorang yang didoakan Nabi agar menjadi ahli Tafsir) ayat ini dijawab dengan ayat lain dalam surah ‘Ali Imran ayat 85 yakni:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”
Ayat ini merupakan pemberitahuan bahwa tak akan diterima segala amal perbuatan kecuali mereka menjalankan syariat Nabi Muhammad SAW. Adapun kaum sebelum masa itu, asalkan mereka berpegang pada rasul dizamannya maka mereka berada pada jalan keselamatan.
Oleh : Naufal Abdul Afif (Alumni Pondok Modern Muhammadiyah Darul Arqam Patean Kendal)