Nabi Muhammad dalam pandangan orientalis barat (Sumber gambar: pixabay.com) |
KULIAHALISLAM.COM – Pandangan orientalis Barat terhadap sosok Nabi Muhammad SAW paling tidak terbagi dua. Yaitu pandangan negatif dan pandangan netral. Kalaupun kita temukan pandangan positif yang berupa pujian sebenarnya harus dimaknai adanya maksud di balik puja-puji itu. Ada udang di balik batu.
Pujian Orientalis Kepada Nabi Muhammad SAW
Kalaupun bukan untuk mengambil hati kaum muslimin, paling tidak membuat empati untuk memulai dialog Islam-Kristen. Misal, George Bernard Shaw mengatakan dalam de Karcht van den Islam, “Seperti Napoleon, sayapun lebih suka akan ajaran Muhammad.
Saya yakin bahwa seluruh empirium Inggris akan menganut ajarannya sebelum abad ini berakhir. Pribadi Muhammad sangat agung. Saya kagumi dia dan saya menganut dia dalam pandangan hidupnya” (M. Hashem, Kekaguman Dunia Terhadap Islam, 1983). Komentar itu jelas terlalu berlebihan mengingat Shaw tidak menganut ajaran Nabi Muhammad SAW.
Lamartine pun memuji Nabi Muhammad SAW dengan penuh kata-kata indah. “Philosopher, orator, apostle, legislator, warrior, conqueror of ideas, restorer of rational dogmas, of a cult without images, the founder of twenty terrestrial empires and of one spiritual empire. That is Muhammad. As regard all standards by which human greatness may be measured, we may well ask, it there any man greater than he ?”
(Filosuf, orator, rasul, pembuat undang-undang, pejuang, penakluk ide-ide, pembangun dogma rasional dari suatu agama tanpa berhala, pendiri dua puluh empirium dunia dalam satu empirium spiritual. Itulah dia Muhammad. Merupakan segala standar untuk mengukur kebesaran manusia. Kita boleh bertanya, adakah orang yang lebih besar daripada dia?) (Lamartine, Histories de la Turquoises, 1854).
Pandangan Negatif Orientalis Barat Kepada Nabi Muhammad SAW
Pandangan negatif Barat terhadap Nabi Muhammad SAW sudah terjadi sejak awal persinggungan Islam–Kristen terjadi. Peter, seorang pendeta dari Maimuna menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi palsu.
John of Damascus (m. 750 M) menyatakan bahwa Muhammad mengajarkan anti-Kristus, penipu, licik, memiliki hobi perang dan nafsu seksual tak tersalurkan (Daniel J. Sahas, John of Damascus on Islam: The Heresy of The Ishmaelites, 1972).
Lalu Pastur Bede dari Inggris (m. 735 M) menyebut Muhammad sebagai a wild man of desert, kasar, suka perang, biadab, buta huruf, miskin, dan tamak kekuasaan. Nabi Muhammad disebut dengan Mahound, atau Mahon, Mahomet, atau Machamet yang dalam bahasa Prancis berarti berhala (Ahmad Muhammad Jamal, Membuka Tabir Upaya Orientalis Memalsukan Islam, 1991). Komentar tidak sedap terhadap Nabi Muhammad SAW terus dilontarkan tokoh-tokoh Barat abad pertengahan.
Ketika memasuki era renaisans, pandangan negatif terhadap Nabi Muhammad SAW makin kasar. Sebut saja Marlowes Tamburline yang menuduh Alquran sebagai karya setan.
Martin Luther menanggap Muhammad sebagai orang jahat dan mengutuknya sebagai anak setan. Voltaire mengatakan Muhammad adalah ekstrimis dan pendusta yang hebat. Dalam karyanya Essai Surles Moers dan Mahomet Voltaire menganggap keberhasilan Muhammad karena didorong faktor ambisi, bukan faktor agama.
Pandangan negatif orientalis Barat selalu berkisar pada masalah pribadi Nabi Muhammad SAW seperti nafsu seks, haus perang dan kekuasaan, penyontekan Alquran dari tradisi Yahudi dan Nasrani, penyakit epilepsi, ahli syair dan tukang sihir. Komentarnya ada yang ilmiah, dalam arti didukung dengan sumber rujukan yang “dipelintir” dan ada pula yang tidak ilmiah yang hanya sekedar mencaci maki.
Di antara pandangan negatif yang dikategorikan ilmiah menurut Buaben adalah Sir William Muir dalam karyanya The Life of Muhammad from Original Source dan David Samuel Margoliouth terutama dalam bukunya Muhammad and the Rise of Islam.
Dengan menggunakan kritik hadis yang diambil dari sumber klasik, Muir berpendapat bahwa semua cerita yang menggambarkan kejelekan Muhammad adalah benar dan yang menunjukkan kebaikannya adalah salah.
Buaben menilai Muir terlalu berlebihan dalam menekankan kepalsuan kenabian Muhammad, pemalsuan wahyu untuk membenarkan perbuatan bejat, kekejaman seksualitas dan tindakan tidak bermoral lainnya (Jabal Muhammad Buaben, Image of The Prophet Muhammad in West, 1997).
Sedangkan Margoliouth dengan menggunakan sumber-sumber klasik seperti at-Thabari, Ahmad bin Hanbal dan Ibn Hajar mengangkat masalah Muhammad yang terkena penyakit epilepsi, Alquran adalah ciptaan Muhammad, Muhammad seorang penipu yang cerdik memanipulasi pengikutnya sampai pada tingkat berzina dan penindasan terhadap Yahudi dan Nasrani.
Muir dan Margoliouth serta kebanyakan orientalis abad ke-20 seperti Canon Edwar Sell, Michael Cook, Henri Lammenes, Richard Bell, dan Patricia Crone menganalisis sosok Muhammad dengan pendekatan abad pertengahan yang cenderung negative image.
Pandangan Netral Orientalis Barat Terhadap Nabi Muhammad SAW
Sementara itu, beberapa orientalis seperti Maxime Rodinson, Norman Daniel dan Montgomery Watt berusaha melepaskan diri dari prasangka pendahulunya dalam menganalisis sirah Muhammad.
Watt mengkritik pendekatan propaganda perang abad pertengahan. Watt mengganti metode konfrontasi dengan dialog. Watt ingin mencoba lebih “bersahabat” dan berempati, setidaknya dibanding Muir dan Margoliouth. Namun Buaben masih mengkritik Watt bahwa seperti halnya Muir dan Margoliouth, Watt pun masih loyal terhadap pendahulunya di abad pertengahan (Muhidin Mulalic, Cara Barat Memandang Muhammad, Islamia Vol. III/No. 2)
Pandangan netral orientalis yang mencoba “membela” Nabi Muhammad SAW dilakukan di antaranya oleh Will Durant, Thomas Carlyle, Loria Valeri, Edward Gibbon, Stanly Lane-Pole, Thomas W. Arnold dan lainnya.
Will Durant memuji-muji Nabi Muhammad SAW dalam buku The Story of Civilization, “Jika kita mengukur kebesaran dengan pengaruh, dia seorang raksasa sejarah. Dia berjuang meningkatkan tahap ruhaniah dan moral suatu bangsa yang tenggelam dalam kebiadaban karena panas dan kegersangan gurun. Dia berhasil lebih sempurna dari pembaharu manapun, belum pernah ada orang yang begitu berhasil dalam mewujudkan mimpi-mimpinya seperti dia.”
Thomas Carlyle dalam On Heroes and Hero Worship menulis, “Dia datang seperti sepercik sinar dari langit, jatuh ke padang pasar yang tandus, kemudian meledakkan butir-butir debu menjadi mesiu yang membakar angkasa sejak Delhi hingga Granada.”
Bahkan Michael H. Hart menempatkan Muhammad sebagai urutan pertama orang yang paling berpengaruh dalam sejarah. Katanya, “My choice of Muhammad to lead the lis of the world’s most influential persons may surprise some reader and maybe questioned by others. But he has only man in history who was supremely successful on both religion and secular levels.”
(Jatuhnya pilihan saya pada Nabi Muhammad untuk memimpin di tempat teratas dalam daftar pribadi-pribadi yang paling berpengaruh di dunia ini mungkin mengejutkan beberapa pembaca dan mungkin pula dipertanyakan oleh yang lainnya. Namun dia memang satu-satunya orang dalam sejarah yang telah berhasil secara unggul dan agung, baik dalam bidang keagamaan maupun bidang keduniawian) (Michael H. Hart, The 100: A Ranking of The Most Influential person in History, 1918).
Bisa jadi umat Islam bangga nabinya menempati urutan No. 1. Namun tanpa disadari, kita juga mengakui sahabat-sahabat Nabi, tokoh dan ilmuwan Islam yang hebat itu tidak ada yang masuk dalam daftar, kecuali Umar bin Khattab di urutan ke-50, persis di bawah Rene Descartes.
Sungguh tidak salah firman Allah SWT, wa lan tardha ankal yahuudu wa lan nashara hatta tattabi’a millatahum. Tidak akan rela Yahudi dan Nasrani kepadamu hingga kalian mengikuti ajaran mereka. (QS al-Baqarah: 182)
Oleh: Dr. Budi Handrianto